Selasa, 29 April 2014

Surat Untuk Birokrat Kampus


Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Apa yang kau pikirkan ketika pertama kali mendengarkan karya ilmiah? Pasti kau akan menjelaskan bahwa karya ilmiah adalah sesuatu yang di karyakan oleh orang lain, atas dasar perbenturan antara kreativitas pikiran dan kondisi sosial seseorang yang diilmiahkan secara objektif, rasional dan logis. Dan kau pasti akan menjawab bahwa karya ilmiah itu bentuknya bermacam-macam dan banyak jenisnya. Biasa pasti kau menyebutkan bahwa tulisan di surat kabar, hasil penelitian, skripsi, thesis dan disertasi yang terpublikasikan adalah jenis-jenis karya ilmiah.
            Tetapi coba kau tanyakan pada birokrat kampus dengan pertanyaan yang serupa. Apa yang kau dengar, pasti akan membuatmu geli sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak? Sikap birokrat kampus yang tidak menunjukkan warga masyarakat ilmu (baca: kampus), tanpa landasan falsafati yang jelas dan berpandangan yang sempit akan kau dengar. Ya, pengalaman itu saya dapatkan ketika tulisan saya dimuat di surat kabar Solopos, bagian Mimbar Mahasiswa. Alangkah mengejutkan saya ketika sikap birokrat tersebut tidak mengapresiasi serius karya ilmiah saya yang terpublikasi di surat kabar lokal terkenal di kota Solo tersebut.
            Dan jawaban yang terlontar dari birokrat tersebut dan sempat saya dengarkan adalah “Tulisan apa, dimana, dan kapan” sembari saya menjelaskan secara rinci, beliau justru enggan lama-lama dengan saya. Maka secara spontan ia meninggalkan saya tanpa ada jawaban yang memuaskan bagi saya. Padahal niatan saya adalah untuk membuktikan kepada kampus bahwa tulisan saya termuat. Karena salah satu indikator akreditasi universitas adalah seberapa banyak karya ilmiah mahasiswa yang terpublikasikan.
            Hal ini menjadi bukti baru bahwa peran birokrat kampus kita hari ini tidak berjalan dengan baik. Tidak pernah membaca karya-karya mahasiswa yang termuat di surat kabar dan mengapresiasi karya tersebut adalah bukti nyata bahwa birokrat jauh dari peranannya, justru yang terjadi adalah tindak diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pembedaan yang sempit karya ilmiah mahasiswa oleh birokrat kampus. Padahal setelah saya kroscek kembali, ternyata birokrat kampus tersebut adalah birokrat yang menangani terkait karya ilmiah mahasiswa. Sungguh ironis. Disaat salah satu karya ilmiah mahasiswanya termuat di surat kabar, justru yang terjadi adalah pengabaian dan memandang sebelah mata tulisan di surat kabar. Lantas selama ini apa yang dipikirkan oleh birokrat kampus itu tentang karya ilmiah mahasiswa?
            Ternyata apa yang menjadi dugaan aktivis mahasiswa selama ini memang benar. Karya ilmiah yang dipahami oleh birokrat kampus hanyalah sebatas Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Kita tahu bahwa program kreativitas ini adalah program yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang bertujuan untuk mengembangkan daya nalar mahasiswa untuk mengkreasikan gagasannya. Berbagai macam PKM ditawarkan oleh DIKTI kepada mahasiswa yang berminat pada pengembangan kreativitas dengan bekerja sama dengan bidang kemahasiswaan. PKM yang dimaksudkan itu adalah PKM Penelitian (PKM-P), PKM Penerapan Teknologi (PKM-PT), PKM Kewirausahaan (PKM-K), PKM Pengabdian Masyarakat (PKM-PM), PKM Penulisan Artikel Ilmiah (PKM-PAI) dan PKM Gagasan Tertulis (PKM-GT).
            Dan yang menjadi keheranan bagi saya adalah program yang seperti ini di jadikan sebagai tujuan oleh birokrat kampus untuk menekan mahasiswa agar selalu mengikuti PKM ini kalau perlu hingga ke tingkat nasional. Sehingga yang terjadi adalah memandang sebelah mata karya ilmiah mahasiswa yang lain.
            Padahal kalau kita menilik kembali apa yang diperbuat oleh Soe Hok Gie. Maka akan kita ketahui bahwa ternyata karya ilmiah mahasiswa itu tidak hanya sebatas PKM, melainkan tulisan-tulisan yang berbentuk pendapat atau opini juga termasuk dalam karya ilmiah mahasiswa. Bahkan tingkat mempengaruhi terhadap kahalayak ramai justru lebih efektif dan minim birokrasi tulisan-tulisan yang berada di surat kabar.
            Soe Hok Gie merupakan tokoh muda yang menonjol karena berbagai pemikiran, kritikan dan tulisannya di berbagai media pada jamannya. Gie (panggilan akrab) adalah pemuda brillian, humanis, penuh integritas, jujur, berani dan gandrung naik gunung. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif dibeberapa media massa seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya tulisnya atau sepertiga dari seluruh karyanya selama rentang waktu tiga tahun orde baru sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
            Koran Kompas menjadi salah satu koran yang mengabadikan tulisan-tulisan Soe Hok Gie. Tahun 1967, tulisan perjalanan Soe Hok Gie berjudul Menaklukkan Gunung Slamet dimuat koran Kompas edisi 14, 15, 16 dan 18 September 2011. Ketika koran Kompas mulai menguasasi angka penjualan surat kabar secara nasional pada tahun 1969, tulisan-tulisan Soe Hok Gie juga semakin banyak dimuat di koran Kompas. Soe Hok Gie Kerap menulis kritik-kritik kepada pemerintah dan kampusnya (UI), misalnya tulisan Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang pada Juli 1969 dan Pelacuran Intelektual. Tulisan Soe Hok Gie yang berjudul Generasi yang Lahir setelah tahun empat lima dimuat di koran Kompas edisi 15 Agustus 1969. Pada hari itu, Soe Hok Gie juga pergi ke kantor Kompas untuk mengambil honor tulisannya namun ternyata keuangan Kompas sedang terganggu.
Akademisasi Birokrat Kampus
            Melihat gejala birokrat yang kurang greget dalam menjalankan aktivitas akademik. Walaupun gelar banyak terpampang dibelakang nama birokrat. Dimana yang seharusnya semakin tinggi gelar kesarjanaan, semakin tinggi pula tanggung jawab intelektualnya. Sekarang jauh dari harapan, semakin tinggi gelar kesarjanaan bukan menjadikan suatu beban akan tugas dan tanggung jawab intelektual melainkan menyepelekan dan menggampangkan adalah suatu gambaran sarjanawan sekarang. Akhirnya semakin banyak mereka-mereka yang bergelar sarjana tinggi justru sempit dalam memandang persoalan. Seperti kasus tentang karya ilmiah mahasiswa ini. Ketika hal yang semacam itu saja belum terselesaikan. Jangankan memandang dunia politik yang penuh dengan intrik, manuver dan strategi. Memandang dunia kampus saja masih sempit dan kurang wawasan.
            Maka dari itu saya mengusulkan kepada birokrat kampus untuk di akademisi ulang. Dengan catatan melibatkan mahasiswa sebagai superstruktur intelektualitas. Secara langsung kita sebagai mahasiswa dapat ikut menguji seberapa layak birokrat kampus mengatur sistem pendidikan tinggi di kampus sembari itu tetap menganalisis persoalan akademis yang masih belum selesai. Dengan menggunakan standar kapasitas intelektual yang ketat. Dan jika tidak layak dalam pengujian intelektualitas, maka sah untuk menjalankan pengadilan intelektual, dimana birokrat kampus yang bersangkutan diadili secara adil dan terbuka diruang publik, seperti layaknya akademisi yang melakukan plagiarisme. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa FKIP Pendidikan Kewarganegaraan
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar