Jumat, 25 April 2014

POLEMIK MIMBAR MAHASISWA SOLOPOS

Intelektual Profetik, Muslim Negarawan
Oleh: Nurul Hidayati*
            Beberapa hari lalu saat hendak ke Selo, Boyolali, saya di jalan bersalip-salipan dengan dua orang mahasiswi yang merupakan anggota organisasi pergerakan mahasiswa ekstrakampus.
            Saya tahu mereka adalah anggota organisasi pergerakan mahasiswa saat membaca tulisan di bagian belakang jaket yang dipakai salah satu dari mereka. Bagian belakang jaket itu bertuliskan “Muslim Negarawan” yang ditulis dengan huruf kapital.
            Kemudian, saya berpikir tentang kawan-kawan di organisasi yang saya ikuti yang sering mencantumkan tulisan “Intelektual Profetik” di bagian belakang jaket. Jika dikaitkan, kedua organisasi itu saling berhubungan.
            Bagi mahasiswa yang kenal dengan dunia pergerakan mahasiswa, kedua istilah di atas bukanlah kalimat yang aneh dan sering didengar. Istilah “Intelektual Profetik” dan “Muslim Negarawan” memang dua istilah terpisah yang menjadi jargon dua organisasi pergerakan mahasiswa dan organisasi kader.
            Siapa tidak kenal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim (KAMMI). Dua organisasi ini hidup di kampus, baik secara terang-terangan maupun bersembunyi di balik kegiatan kampus. Dua istilah itu adalah jargon yang baru berkembang beberapa tahun terakhir. IMM dengan “Intelektual Progresif” dan KAMMI dengan “Muslim Negarawan”
            Di sini saya tidak akan membicarakan dua istilah itu satu per satu secara mendalam, melainkan bagaimana dua istilah itu membentuk pribadi mahasiswa yang nantinya turun juga sebagai warga Negara pada umumnya.
            Dalam dunia pendidikan, mahasiswa adalah sekelompok pelajar eksklusif yang duduk di kursi universitas. Keberadaan mahasiswa di universitas seharusnya terhubung langsung dengan masyarakat untuk menciptakan pemikiran kritis solutif sehingga ilmu mereka tidak hanya bermanfaat bagi mereka, melainkan juga bagi masyarakat.
            Akan tetapi, yang terjadi sekarang adalah mahasiswa disuguhi dengan berbagai iming-iming sehingga mahasiswa hanya memusatkan pikiran pada dunia kampus. Mereka dihidupi kampus dengan nyaman dan dituntut untuk memiliki nilai tinggi dan cepat lulus sehingga kadang sebagian mahasiswa menjadi pribadi yang apatis.
            Selain itu, tentunya mahasiswa dihadapkan pada persaingan mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Di sinilah terjadi kesalahan yang dilakukan kebanyakan kampus sekarang. Tidak jarang kampus hanya jadi pencetak pekerja professional bukan pencipta inovasi.
            Terlepas dari dunia kampus dan kembali pada dua istilah di atas, serta mengesampingkan bagaimana persaingan antara dua oganisasi pergerakan mahasiswa, IMM dan KAMMI, intelektual profetik dimaknai sebagai cendekiawan yang mampu memberikan contoh dan atau innovator serta memberikan teladan berdasarkan sifat-sifat kenabian.
            Dengan berdasarkan pada sifat-sifat kenabian yang tentunya memiliki pemahaman yang mendalam ihwal agama, seorang cendekiawan akan selalu memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam agama maupun masyarakat.
            Bila ia menjadi pemimpin, ia akan disegani rakyat maupun pesaing. Ia akan mampu menjadi pengayom siapa pun. Ini tidak hanya berlaku pada pemimpin dalam ranah politik, namun juga pada ranah masyarakat yang lebih luas.
            Konsep intelektual profetik memunculkan banyak spekulasi tentang apa yang akan terjadi dengan si pelaku konsep ini. Pada konsep ini, seorang pelaku yang benar-benar memainkan perannya dalam kehidupan nyata serta dihayati tanpa pura-pura akan mampu menempatkan diri dalam berbagai aspek tanpa memandang mana yang penting dan mana yang tidak.
            Ia sadar bahwa sekecil apapun masalah bila tidak ditangani dengan cepat akan menjadi masalah yang besar. Seperti halnya luka kecil yang dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya penyembuhan, lama-kelamaan akan bertambah parah.
            Spekulasi terkuat adalah ia menjadi seorang cendekiawan dan pribadi seperti dua sisi mata uang yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dua sisi mata uang bukan berarti ia memiliki perbedaan yang tidak bisa disamakan, namun perbedaan itu dijadikan sebagai unsur pelengkap dan berfungsi ganda.
            Dengan kata lain ia menjadi pribadi yang fleksibel sehingga mampu hidup dalam dua wadah atau lebih yang berbeda di masyarakat. Spekulasi lain, dengan pemahaman yang mendalam perihal agama, seseorang yang mampu mengaplikasikan konsep intelektual profetik dapat menjadi pemikir jalan tengah antara agama dan ilmu-ilmu modern.
            Ilmu-ilmu modern ini disebut Syed Naquib Al Atas sebagai ilmu sekuler (pemisahan ilmu pengetahuan dengan agama). Terkait hal ini Fazlur Rahman mengemukakan konsep neo-modernisasi, Al Atas dengan islamisasi ilmu, demikian juga dengan Wan Mohd. Nor Wan Daud.
            Serta masih banyak lagi penggagas pemikiran Islam yang mencoba menyatukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan Al-Qur’an dan hadis diabad XX lalu. Juga ada Kuntowijoyo yang terkenal dengan konsep pengilmuan Islam.
            Di balik konsep-konsep yang dicetuskan oleh para cendekiawan itu tidak terlepas dari keberadaan masyarakat Islam pada zamannya. Abad XX bisa disebut sebagai awal kesadaran kembali para cendekiawan muslim terhadap dominasi Barat di Negara Islam (Negara berpenduduk mayoritas muslim).
            Negara Islam terjebak dalam dunia dualisme ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Menurut Haidar Bagir dan Zainal Abidin dalam kata pengantar buku karya Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, akibat dualisme ini menyebabkan pengabaian salah satu ilmu.
            Spekulasi lainnya, seorang intelektual profetik bisa menjadi politikus. Menurut M. Dawam Rahardjo dalam buku karya Denny J.A, Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an, peranan profetik generasi muda adalah bagaimana menciptakan sebuah birokrasi yang lebih human dan berorientasi kepada rakyat kecil. Ungkapan Dawam Rahardjo secara spesifik memang tidak menyebutkan peran pemahaman agama dalam menciptakan generasi yang humanis.
            Akan tetapi, seseorang yang memiliki pemahaman agama yang mendalam pasti tidak diragukan lagi akhlak yang dibentuk pengetahuannya. Sebab, dalam agama selalu mengajarkan umatnya untuk bersikap baik kepada semua makhluk.
            Dari sinilah muncul istilah muslim negarawan. Yaitu seorang muslim yang tampil dalam dunia politik dengan tidak meninggalkan ajaran agama yang sebagai pijakan dalam mengambil setiap keputusan.
            Ketika membicarakan muslim negarawan maka teringat pada tokoh yang pernah menjadi menteri penerangan saat Indonesia menerapkan system parlementer. Dia adalah pemimpin partai Masyumi, Mohammad Natsir.
            Natsir adalah sosok menteri yang selalu berpegang teguh pada ajaran Islam ketika menjalankan tugasnya. Bahkan, selepas menjadi pejabat Negara ia tetap menjadi pribadi yang agamis, sederhana, dan bersahaja. Ia adalah seorang ulama yang cakap dalam bidang politik.
            Pemikiran-pemikiran Natsir terkenal dan sangat berpengaruh bagi pergerakan Islam di Indonesia dan Negara-negara semenanjung Melayu seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Di Malaysia, pemikiran-pemikiran Natsir memengaruhi arah gerak Partai Islam se-Malaysia (PAS), bahkan dikaji dalam pertemuan-pertemuan. Salah satu tokoh PAS yang terkenal dab terpengaruh pemikiran Natsir adalah Anwar Ibrahim.
            Berangkat dari konsep intelektual profetik dan muslim negarawan, mari berkaca pada kandidat-kandidat calon pemimpin kita yang dipilih pada 9 April lalu. Adakah kandidat yang mampu meneladani sikap Natsir dalam menjalankan tugas di parlemen nanti?
            Adakah kandidat yang sikap hidupnya sederhana dan selalu berpijak pada ajaran agama? Serta, pertanyaan utama, adakah kandidat dari kalangan terdidik yang bisa menerapkan kedua konsep tersebut? Bila ada, akan sangat pantas memimpin Negara ini yang ini bisa dikatakan mulai kehilangan akal sehat.
            Seorang intelektual yang cerdas dan pemahaman agamanya mendalam akan sangat terbuka pikirannya terhadap budaya baru. Ia akan memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk diterapkan. Jadi, menurut saya, silahkan jika mahasiswa mau kembali berideologi seperti sebelum ada depolitisasi kampus saat orde baru. Jangan jadikan kampus sebagai arena untuk berkampanye guna memenangkan salah satu partai politik. Jadilah generasi profetik.

            *Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu Sejarah
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Kepala Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Ki Bagus Hadikusumo



Memaknai Intelektual
Oleh: Adhitya Yoga. Pratama*
             Setelah membaca mimbar mahasiswa edisi Selasa (15/04/2014) yang berjudul “Intelektual Profetik, Muslim Negarawan” menjadi ketertarikan tersendiri bagi saya untuk mengkritisi opini tersebut. Bagaimana tidak tertarik coba? Kajian tentang sejarah dan perkembangan intelektual yang begitu pesat serta perdebatan mengenai posisi, peran, fungsi dan tujuan intelektual sampai detik ini tidak pernah selesai untuk diperbincangkan.
            Hal yang menjadi ketertarikan saya untuk mengkritisi opini tersebut salah satunya adalah pencantuman nyanyian dogmatik atau pseudo-populis dari salah satu organ gerakan mahasiswa yang berkembang pesat di kampus. Disebutkan IMM yang berjargon “Intelektual Profetik” dan KAMMI yang berjargon “Muslim Negarawan” didalam opini tersebut. Pertanyaannya apakah jargon-jargon yang mulia itu mampu memberikan stimulus bagi para anggotanya (baca: individu) dalam melakukan kegiatan intelektual. Atau justru terjebak dalam romantisisme sejarah gerakan mahasiswa yang dulu berhasil menggusur status quo.
            Kemudian yang menjadi kejanggalan dibenak saya adalah korelasi antara intelektual profetik, muslim negarawan dan suksesi kepemimpinan nasional (PILEG 2014) yang bagi saya kurang relevan ketika mempersoalkan peranan intelektual.
            Karena pada dasarnya intelektual adalah individu dengan peran publik tertentu dalam masyarakat yang tidak dapat direduksi begitu saja menjadi nir wajah, anggota kelas yang hanya berkompeten dalam bidangnya saja. Fakta utama intelektual adalah individu yang dikarunia bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofis dan pendapatnya kepada publik. (Edward W. Said; Peran Intelektual: 2014).
            Kaum intelektual bukan bukan hanya tinggal di puncak menara gading. Tetapi juga terlibat dalam pergumulan sosial yang total dalam membangun pencerahan peradaban dan kebudayaan umat manusia.
            Setelah terkoreksi apa yang menjadi kelemahan penulis dalam memaparkan apa itu sebenarnya intelektual. Mari kita telaah secara bertahap. Julien Benda dalam karya termashyurnya The Treason Of The Intellectuals menyebutkan bahwa intelektual ada dalam ruang lingkup yang universal tidak terikat baik oleh batasan Negara maupun identitas etnik. Jelas sekali, jangankan mengunggulkan satu golongan atau kelompok tertentu dalam lingkup mahasiswa dengan ortodoksi dan dogmatik yang romantik. Hal yang semacam itu justru menjadikan seseorang mudah terkooptasi dengan kepentingan tertentu dan koorporasi. Lokus luas saja yang berskala nasional yaitu bangsa dan tradisi sebisa mungkin untuk dikesampingkan ketika menjalankan fungsi sebagai intelektual.
            Yang menurut Edward W. Said figur intelektual yang dimaksudnya adalah seseorang yang berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, yang tanpa tedeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan individu pemberang. Bagi intelektual tak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk di kritik. Dan mengkritiknya adalah tugas intelektual.
            Peran sosial yang penuh pergumulan itu bahkan diambil dengan resiko abadi, yakni harus berhadapan dengan tembok kekuasaan yang dzalim. Lihatlah perjuangan Socrates, sebagai salah seorang bapak kaum filosof dan menjadi rujukan klasik dalam dunia pemikiran intelektual, terlibat langsung dalam mendidik rakyat.
            Socrates bahkan harus berakhir dengan kematian yang tragis sebagai pilihan dari sikap intelektualnya dalam mempertahankan kebenaran dari tirani kekuasaan.
            Kemudian daripada itu konsekuensi logis dari mereka-mereka yang disebut sebagai intelektual adalah mereka yang menjalankan kegiatan intelektual. Tujuan dari kegiatan intelektual sendiri adalah bagaimana meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia seluas-luasnya. Dalam lingkup mahasiswa kegiatan intelektual yang harus dijalankan adalah kegiatan-kegiatan yang mencirikan masyarakat ilmu (baca: kampus), dimana iklim akademis berkembang pesat dengan kajian-kajian akademis yang analitik dengan mempersembahkan investigasi rasional dan timbangan moral. Inti dari kegiatan intelektual adalah kegiatan-kegiatan yang menyadarkann bagi penguasa yang lupa terhadap persoalan-persoalan bangsa.
 Konteks organisasi gerakan mahasiswa adalah seperti yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer “didiklah penguasa dengan perlawanan dan didiklah rakyat dengan organisasi”. Jika organisasi-organisasi kemahasiswaan dalam kegiatannya berbudaya intelektualis. Maka tak bisa dipungkiri peranan intelektual tercapai.
Dan seiring perkembangan zaman yang pesat, politik ada dimana-mana. Hal yang semacam ini mengharuskan intelektual menempatkan diri sejajar dengan kelompok yang lemah dan tak terwakili. Terlepas dari adanya suksesi kepemimpinan nasional yang semrawut penuh dengan kecurangan-kecurangan disana-sini dengan hadirnya pemimpin-pemimpin yang kurang lebih 80-90% tidak ada bedanya dengan pemimpin tahun lalu yang duduk di Senayan.
Sedangkan Ali Syaria’ti, Sosiolog Iran, menyatakan bahwa pemihakan yang paling cocok bagi seorang intelektual adalah kepada pihak yang tertindas dan lemah. Dalam ungkapannya seorang Rawsyan Fikr adalah lapisan intelektual yang tercerahkan dan tidak picik mengenyampingkan nasib yang terpinggirkan.
Pada dasarnya intelektual adalah kaum-kaum yang resah, kaum yang tidak mencipta konsensus dan kedamaian melainkan mereka yang selalu kedatangannya ditandai oleh sikap yang kritis dan memiliki cita rasa yang berbeda untuk tidak dapat menerima rumus-rumus yang sederhana atau sesuatu yang tanpa bergejolak dan akomodatif pada kekuasaan dengan tidak melakukan sesuatu yang di inginkan bagi penguasa.
            Maka pekerjaan intelektual yang mulia segera harus di jalankan yaitu bagaimana mempertahankan Negara dengan kewaspadaaan untuk tidak membiarkan keadilan dan kebenaran yang diselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Mungkin begitu.  
*Penulis adalah Mahasiswa UMS
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan

            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar