Intelektual
Profetik, Muslim Negarawan
Oleh: Nurul Hidayati*
Beberapa hari lalu saat hendak ke
Selo, Boyolali, saya di jalan bersalip-salipan dengan dua orang mahasiswi yang
merupakan anggota organisasi pergerakan mahasiswa ekstrakampus.
Saya tahu mereka adalah anggota
organisasi pergerakan mahasiswa saat membaca tulisan di bagian belakang jaket
yang dipakai salah satu dari mereka. Bagian belakang jaket itu bertuliskan
“Muslim Negarawan” yang ditulis dengan huruf kapital.
Kemudian, saya berpikir tentang
kawan-kawan di organisasi yang saya ikuti yang sering mencantumkan tulisan
“Intelektual Profetik” di bagian belakang jaket. Jika dikaitkan, kedua
organisasi itu saling berhubungan.
Bagi mahasiswa yang kenal dengan
dunia pergerakan mahasiswa, kedua istilah di atas bukanlah kalimat yang aneh
dan sering didengar. Istilah “Intelektual Profetik” dan “Muslim Negarawan” memang
dua istilah terpisah yang menjadi jargon dua organisasi pergerakan mahasiswa
dan organisasi kader.
Siapa tidak kenal Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim (KAMMI). Dua organisasi
ini hidup di kampus, baik secara terang-terangan maupun bersembunyi di balik
kegiatan kampus. Dua istilah itu adalah jargon yang baru berkembang beberapa
tahun terakhir. IMM dengan “Intelektual Progresif” dan KAMMI dengan “Muslim
Negarawan”
Di sini saya tidak akan membicarakan
dua istilah itu satu per satu secara mendalam, melainkan bagaimana dua istilah
itu membentuk pribadi mahasiswa yang nantinya turun juga sebagai warga Negara
pada umumnya.
Dalam dunia pendidikan, mahasiswa
adalah sekelompok pelajar eksklusif yang duduk di kursi universitas. Keberadaan
mahasiswa di universitas seharusnya terhubung langsung dengan masyarakat untuk
menciptakan pemikiran kritis solutif sehingga ilmu mereka tidak hanya
bermanfaat bagi mereka, melainkan juga bagi masyarakat.
Akan tetapi, yang terjadi sekarang
adalah mahasiswa disuguhi dengan berbagai iming-iming sehingga mahasiswa hanya
memusatkan pikiran pada dunia kampus. Mereka dihidupi kampus dengan nyaman dan
dituntut untuk memiliki nilai tinggi dan cepat lulus sehingga kadang sebagian
mahasiswa menjadi pribadi yang apatis.
Selain itu, tentunya mahasiswa
dihadapkan pada persaingan mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Di sinilah
terjadi kesalahan yang dilakukan kebanyakan kampus sekarang. Tidak jarang
kampus hanya jadi pencetak pekerja professional bukan pencipta inovasi.
Terlepas dari dunia kampus dan
kembali pada dua istilah di atas, serta mengesampingkan bagaimana persaingan
antara dua oganisasi pergerakan mahasiswa, IMM dan KAMMI, intelektual profetik
dimaknai sebagai cendekiawan yang mampu memberikan contoh dan atau innovator
serta memberikan teladan berdasarkan sifat-sifat kenabian.
Dengan berdasarkan pada sifat-sifat
kenabian yang tentunya memiliki pemahaman yang mendalam ihwal agama, seorang
cendekiawan akan selalu memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam agama
maupun masyarakat.
Bila ia menjadi pemimpin, ia akan
disegani rakyat maupun pesaing. Ia akan mampu menjadi pengayom siapa pun. Ini
tidak hanya berlaku pada pemimpin dalam ranah politik, namun juga pada ranah
masyarakat yang lebih luas.
Konsep intelektual profetik
memunculkan banyak spekulasi tentang apa yang akan terjadi dengan si pelaku
konsep ini. Pada konsep ini, seorang pelaku yang benar-benar memainkan perannya
dalam kehidupan nyata serta dihayati tanpa pura-pura akan mampu menempatkan
diri dalam berbagai aspek tanpa memandang mana yang penting dan mana yang
tidak.
Ia sadar bahwa sekecil apapun
masalah bila tidak ditangani dengan cepat akan menjadi masalah yang besar. Seperti
halnya luka kecil yang dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya penyembuhan,
lama-kelamaan akan bertambah parah.
Spekulasi terkuat adalah ia menjadi
seorang cendekiawan dan pribadi seperti dua sisi mata uang yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Dua sisi mata uang bukan berarti ia memiliki
perbedaan yang tidak bisa disamakan, namun perbedaan itu dijadikan sebagai
unsur pelengkap dan berfungsi ganda.
Dengan kata lain ia menjadi pribadi
yang fleksibel sehingga mampu hidup dalam dua wadah atau lebih yang berbeda di
masyarakat. Spekulasi lain, dengan pemahaman yang mendalam perihal agama,
seseorang yang mampu mengaplikasikan konsep intelektual profetik dapat menjadi
pemikir jalan tengah antara agama dan ilmu-ilmu modern.
Ilmu-ilmu modern ini disebut Syed
Naquib Al Atas sebagai ilmu sekuler (pemisahan ilmu pengetahuan dengan agama).
Terkait hal ini Fazlur Rahman mengemukakan konsep neo-modernisasi, Al Atas
dengan islamisasi ilmu, demikian juga dengan Wan Mohd. Nor Wan Daud.
Serta masih banyak lagi penggagas
pemikiran Islam yang mencoba menyatukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan
berdasarkan Al-Qur’an dan hadis diabad XX lalu. Juga ada Kuntowijoyo yang
terkenal dengan konsep pengilmuan Islam.
Di balik konsep-konsep yang
dicetuskan oleh para cendekiawan itu tidak terlepas dari keberadaan masyarakat
Islam pada zamannya. Abad XX bisa disebut sebagai awal kesadaran kembali para
cendekiawan muslim terhadap dominasi Barat di Negara Islam (Negara berpenduduk
mayoritas muslim).
Negara Islam terjebak dalam dunia
dualisme ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Menurut Haidar
Bagir dan Zainal Abidin dalam kata pengantar buku karya Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, akibat
dualisme ini menyebabkan pengabaian salah satu ilmu.
Spekulasi lainnya, seorang
intelektual profetik bisa menjadi politikus. Menurut M. Dawam Rahardjo dalam
buku karya Denny J.A, Gerakan Mahasiswa
dan Politik Kaum Muda Era 80-an, peranan profetik generasi muda adalah
bagaimana menciptakan sebuah birokrasi yang lebih human dan berorientasi kepada
rakyat kecil. Ungkapan Dawam Rahardjo secara spesifik memang tidak menyebutkan
peran pemahaman agama dalam menciptakan generasi yang humanis.
Akan tetapi, seseorang yang memiliki
pemahaman agama yang mendalam pasti tidak diragukan lagi akhlak yang dibentuk
pengetahuannya. Sebab, dalam agama selalu mengajarkan umatnya untuk bersikap
baik kepada semua makhluk.
Dari sinilah muncul istilah muslim
negarawan. Yaitu seorang muslim yang tampil dalam dunia politik dengan tidak
meninggalkan ajaran agama yang sebagai pijakan dalam mengambil setiap
keputusan.
Ketika membicarakan muslim negarawan
maka teringat pada tokoh yang pernah menjadi menteri penerangan saat Indonesia
menerapkan system parlementer. Dia adalah pemimpin partai Masyumi, Mohammad
Natsir.
Natsir adalah sosok menteri yang
selalu berpegang teguh pada ajaran Islam ketika menjalankan tugasnya. Bahkan,
selepas menjadi pejabat Negara ia tetap menjadi pribadi yang agamis, sederhana,
dan bersahaja. Ia adalah seorang ulama yang cakap dalam bidang politik.
Pemikiran-pemikiran Natsir terkenal
dan sangat berpengaruh bagi pergerakan Islam di Indonesia dan Negara-negara
semenanjung Melayu seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Di Malaysia,
pemikiran-pemikiran Natsir memengaruhi arah gerak Partai Islam se-Malaysia
(PAS), bahkan dikaji dalam pertemuan-pertemuan. Salah satu tokoh PAS yang
terkenal dab terpengaruh pemikiran Natsir adalah Anwar Ibrahim.
Berangkat dari konsep intelektual
profetik dan muslim negarawan, mari berkaca pada kandidat-kandidat calon
pemimpin kita yang dipilih pada 9 April lalu. Adakah kandidat yang mampu
meneladani sikap Natsir dalam menjalankan tugas di parlemen nanti?
Adakah kandidat yang sikap hidupnya
sederhana dan selalu berpijak pada ajaran agama? Serta, pertanyaan utama,
adakah kandidat dari kalangan terdidik yang bisa menerapkan kedua konsep tersebut?
Bila ada, akan sangat pantas memimpin Negara ini yang ini bisa dikatakan mulai
kehilangan akal sehat.
Seorang intelektual yang cerdas dan
pemahaman agamanya mendalam akan sangat terbuka pikirannya terhadap budaya
baru. Ia akan memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk diterapkan.
Jadi, menurut saya, silahkan jika mahasiswa mau kembali berideologi seperti
sebelum ada depolitisasi kampus saat orde baru. Jangan jadikan kampus sebagai
arena untuk berkampanye guna memenangkan salah satu partai politik. Jadilah
generasi profetik.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan
ilmu Sejarah
Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Kepala
Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah
Ki
Bagus Hadikusumo
Memaknai Intelektual
Oleh: Adhitya Yoga. Pratama*
Setelah membaca mimbar mahasiswa edisi Selasa
(15/04/2014) yang berjudul “Intelektual
Profetik, Muslim Negarawan” menjadi ketertarikan tersendiri bagi saya untuk
mengkritisi opini tersebut. Bagaimana tidak tertarik coba? Kajian tentang
sejarah dan perkembangan intelektual yang begitu pesat serta perdebatan
mengenai posisi, peran, fungsi dan tujuan intelektual sampai detik ini tidak
pernah selesai untuk diperbincangkan.
Hal yang menjadi ketertarikan saya
untuk mengkritisi opini tersebut salah satunya adalah pencantuman nyanyian
dogmatik atau pseudo-populis dari salah satu organ gerakan mahasiswa yang
berkembang pesat di kampus. Disebutkan IMM yang berjargon “Intelektual Profetik” dan KAMMI yang berjargon “Muslim Negarawan” didalam opini
tersebut. Pertanyaannya apakah jargon-jargon yang mulia itu mampu memberikan
stimulus bagi para anggotanya (baca: individu) dalam melakukan kegiatan
intelektual. Atau justru terjebak dalam romantisisme sejarah gerakan mahasiswa
yang dulu berhasil menggusur status quo.
Kemudian yang menjadi kejanggalan
dibenak saya adalah korelasi antara intelektual profetik, muslim negarawan dan
suksesi kepemimpinan nasional (PILEG 2014) yang bagi saya kurang relevan ketika
mempersoalkan peranan intelektual.
Karena pada dasarnya intelektual
adalah individu dengan peran publik tertentu dalam masyarakat yang tidak dapat
direduksi begitu saja menjadi nir wajah, anggota kelas yang hanya berkompeten
dalam bidangnya saja. Fakta utama intelektual adalah individu yang dikarunia
bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan,
pandangan, sikap, filosofis dan pendapatnya kepada publik. (Edward W. Said; Peran Intelektual: 2014).
Kaum intelektual bukan bukan hanya
tinggal di puncak menara gading. Tetapi juga terlibat dalam pergumulan sosial
yang total dalam membangun pencerahan peradaban dan kebudayaan umat manusia.
Setelah terkoreksi apa yang menjadi
kelemahan penulis dalam memaparkan apa itu sebenarnya intelektual. Mari kita
telaah secara bertahap. Julien Benda dalam karya termashyurnya The Treason Of The Intellectuals
menyebutkan bahwa intelektual ada dalam ruang lingkup yang universal tidak
terikat baik oleh batasan Negara maupun identitas etnik. Jelas sekali,
jangankan mengunggulkan satu golongan atau kelompok tertentu dalam lingkup
mahasiswa dengan ortodoksi dan dogmatik yang romantik. Hal yang semacam itu
justru menjadikan seseorang mudah terkooptasi dengan kepentingan tertentu dan koorporasi.
Lokus luas saja yang berskala nasional yaitu bangsa dan tradisi sebisa mungkin
untuk dikesampingkan ketika menjalankan fungsi sebagai intelektual.
Yang menurut Edward W. Said figur
intelektual yang dimaksudnya adalah seseorang yang berbicara tentang kebenaran
kepada penguasa, yang tanpa tedeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan
individu pemberang. Bagi intelektual tak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk
di kritik. Dan mengkritiknya adalah tugas intelektual.
Peran sosial yang penuh pergumulan
itu bahkan diambil dengan resiko abadi, yakni harus berhadapan dengan tembok
kekuasaan yang dzalim. Lihatlah perjuangan Socrates, sebagai salah seorang
bapak kaum filosof dan menjadi rujukan klasik dalam dunia pemikiran
intelektual, terlibat langsung dalam mendidik rakyat.
Socrates bahkan harus berakhir
dengan kematian yang tragis sebagai pilihan dari sikap intelektualnya dalam
mempertahankan kebenaran dari tirani kekuasaan.
Kemudian daripada itu konsekuensi
logis dari mereka-mereka yang disebut sebagai intelektual adalah mereka yang
menjalankan kegiatan intelektual. Tujuan dari kegiatan intelektual sendiri
adalah bagaimana meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia seluas-luasnya.
Dalam lingkup mahasiswa kegiatan intelektual yang harus dijalankan adalah
kegiatan-kegiatan yang mencirikan masyarakat ilmu (baca: kampus), dimana iklim
akademis berkembang pesat dengan kajian-kajian akademis yang analitik dengan
mempersembahkan investigasi rasional dan timbangan moral. Inti dari kegiatan
intelektual adalah kegiatan-kegiatan yang menyadarkann bagi penguasa yang lupa
terhadap persoalan-persoalan bangsa.
Konteks organisasi gerakan mahasiswa adalah
seperti yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer “didiklah penguasa dengan perlawanan dan didiklah rakyat dengan
organisasi”. Jika organisasi-organisasi kemahasiswaan dalam kegiatannya
berbudaya intelektualis. Maka tak bisa dipungkiri peranan intelektual tercapai.
Dan
seiring perkembangan zaman yang pesat, politik ada dimana-mana. Hal yang
semacam ini mengharuskan intelektual menempatkan diri sejajar dengan kelompok
yang lemah dan tak terwakili. Terlepas dari adanya suksesi kepemimpinan
nasional yang semrawut penuh dengan kecurangan-kecurangan disana-sini dengan
hadirnya pemimpin-pemimpin yang kurang lebih 80-90% tidak ada bedanya dengan
pemimpin tahun lalu yang duduk di Senayan.
Sedangkan
Ali Syaria’ti, Sosiolog Iran, menyatakan bahwa pemihakan yang paling cocok bagi
seorang intelektual adalah kepada pihak yang tertindas dan lemah. Dalam
ungkapannya seorang Rawsyan Fikr
adalah lapisan intelektual yang tercerahkan dan tidak picik mengenyampingkan
nasib yang terpinggirkan.
Pada
dasarnya intelektual adalah kaum-kaum yang resah, kaum yang tidak mencipta
konsensus dan kedamaian melainkan mereka yang selalu kedatangannya ditandai
oleh sikap yang kritis dan memiliki cita rasa yang berbeda untuk tidak dapat
menerima rumus-rumus yang sederhana atau sesuatu yang tanpa bergejolak dan
akomodatif pada kekuasaan dengan tidak melakukan sesuatu yang di inginkan bagi
penguasa.
Maka pekerjaan intelektual yang
mulia segera harus di jalankan yaitu bagaimana mempertahankan Negara dengan
kewaspadaaan untuk tidak membiarkan keadilan dan kebenaran yang diselewengkan
atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Mungkin
begitu.
*Penulis
adalah Mahasiswa UMS
Jurusan
Pendidikan Kewarganegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar