Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Kekuasaan yang korup menjadi tototanan setiap hari realita
kehidupan politik. Kekuasaan yang berbasis pada kepentingan individu dan intrik
politik individu menjadikan tontonan murah bagi rakyat. Entah apa yang
dipikirkan oleh mereka yang ingin berkuasa dengan basis yang seperti itu.
Keuntungan pribadi pasti jawabannya. Tetapi bukan hanya itu pembedahan yang
akan kita bahas disini. Melainkan mencari solusi alternatif bagaimana
seharusnya rakyat melawan semua tontonan itu. Dan tumpuan kita pada pembedahan
ada pada diri mahasiswa, salah satu kaum intelektual yang sampai saat ini masih
bisa diperhitungkan dalam konstelasi politik yang terjadi.
Dalam essay
politik Mochtar Pabottingi yang berjudul intelektual dan kekuasaan
(Forum, 7 Januari 1993) menjelaskan dengan sangat rinci, jika negara dalam
artian kekuasaan yang dihuni oleh elite-elite korup dan rakyat dalam artian
basis massa masih sama-sama kuat. Kekuasaan lebih membutuhkan kaum intelektual
dalam proses pelanggengan kekuasaan. Para intelektual yang mempunyai peran
sebagai kaum peng-konsep yang berdiri diatas analisis ideologis dan kritis
menjadikan mereka-mereka yang berdiri diatas kekuasaan berfikir keras untuk
bagaimana mempertahankan apa yang diinginkan oleh yang empunya. Dan kekuasaan
adalah pengalih sikap (conventer), pengalih bentuk (transformer),
dan penyedia peluang (facilitator) menjalankan tugasnya dengan baik
untuk mengelabui rakyat sebagai basis massa yang memiliki banyak tuntutan.
Maka dari itu
ketika melihat fenomena yang semacam itu. Dan selalu kita beranggapan bahwa
hampir rata-rata kaum intelektual sudah tidak murni dalam menjalankan fungsinya
sebagai intelektualis. Sedangkan kalau kita menilik lagi bahwasaanya ilmu dan
pengetahuan adalah bebas nilai. Apa yang akan dilakukan oleh mahasiswa sebagai
salah satu golongan intelektual yang berkesadaran tinggi dalam melihat
problematika sosial yang terjadi. Cukupkah kita hanya tersenyum puas dan bangga
karena mereka-mereka kaum intelektual yang berselingkuh mempunyai latar
belakang sama dengan kita (mahasiswa). Atau justru kita muak dengan segala
sesuatu yang menyebabkan kita tidak dipercaya lagi dengan masyarakat, karena
dengan ulah beberapa orang saja, mahasiswa secara keseluruhan mendapatkan
imbasnya.
Setiap
perselingkuhan pasti tidak enak. Begitulah yang terjadi di pandangan masyarakat
kita hari ini. Terlebih jika yang berselingkuh sudah memiliki sesuatu yang
dimiliki. Semisal suami yang selingkuh dengan perempuan lain, padahal sebelumnya
sudah mempunyai isteri. Pasti stereotip yang terjadi adalah kemuakan-kemuakan
masyarakat terhadap tindakan tersebut. Sama halnya dengan kaum intelektual yang
berselingkuh dengan kekuasaan korup. Pertaruhan prinsip sebagai intelektual
yang memiliki sikap dan sifat intelektual menjadi harga diri yang harus dibayar
mahal. Sungguh mengerikan.
Proses yang selama
perjalanan kaum intelektual dipertaruhkan untuk selalu memikirkan hal-hal yang
merujuk pada keprihatinan sosial. Pembentukan mental yang panjang demi sikap
idealis dan non-kompromis terhadap ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan, dan
kebiadaban menguap begitu saja jika yang terjadi adalah perselingkuhan. Dan
pelacuran intelektual pun menjadi sigmatisasi yang berkelanjutan terhadap
mereka yang berkecimpung langsung.
Harapan masih
terbuka lebar dalam memandang nasib kaum intelektual jika proses produksi kaum
intelektual diperhatikan. Ya, wadah itu masih menyediakan ruang-ruang bagi
mereka yang ingin berkecimpung dengan dunia keilmuan. Pertanyaan selanjutnya
apakah wadah tersebut dalam melakukan proses produksi masih berjalan sesuai
dengan esensi atau tidak. Bisa kita lihat kampus kita hari ini. Bagaimanakah
iklim akademisnya. Dinamis atau justru stagnan. Penuh perkembangan atau justru
masih tetap saja dengan mengedepankan budaya akademik yang feodalistik dan
patrimonial. Pendidikan yang diajarkan pun sesuai dengan realitas atau
anti-realitas menjadi penentuan indikator selanjutnya dalam merumuskan proses
produksi kaum intelektual.
Pendidikan adalah
proses manusia dalam memahami kondisi sosial. Pendidikan adalah alat untuk
mengembangkan akal budi manusia menuju proses yang berkesadaran penuh.
Pendidikan mengajarkan manusia pada hal-hal yang rasionalistik dengan
menggunakan hukum logika yang tepat. Pendidikan adalah alat untuk manusia
menjadi tahu akan dirinya sendiri, seperti ungkapan yang masyur man arofa
nafsahu faqad arofa robbahu (kenalilah dirimu maka kelak akan kau kenali
Tuhanmu). Sekali lagi pendidikan adalah alat yang penting untuk membuat manusia
menghargai sesama manusia (humanisasi) bukan robotisasi. Dan mahasiswa
adalah bagian dari yang haus akan esensi pendidikan itu. Dan kampus adalah
ladangnya ideologi adalah tempat yang tepat bagi mahasiswa.
Tetapi yang
terjadi pada akhir-akhir ini adalah justru pergeseran itu sendiri. Baik dalam
diri mahasiswa sebagai individu yang berjalan sendiri. Dan kampus sebagai wadah
atau salah satu unsur pendidikan. Pergeseran itu bisa kita rasakan dari
fenomena sosial yang ada. Pola perilaku budaya mahasiswa yang tidak menunjukkan
kaum intelektual. Terlebih dengan budaya asing yang menjadi salah satu
faktornya membuat sulit harapan akan proses produksi kaum intelektual.
Pembacaan dangkal yang dilakukan oleh mahasiswa hari ini adalah hasilnya.
Jangankan untuk memikirkan permasalahan negeri ini. Memikirkan wadahnya dalam
menunjang kebutuhannya saja jauh dari impian. Generasi yang takut bersetru dan
minim imajinasi adalah hasil-hasil selanjutnya dari itu semua.
Hanya pada
mahasiswa sendiri kita berharap, sebagai subjek yang berdiri sendiri dengan
kemandirian berfikir yang dilakukan. Proses ijtihad pemikiran terhadap
mahasiswa akan timbul. Kepekaan diri mahasiswa akan terbentuk dengan kuat.
Harapan itupun akan terbuka lebar. Minimalisasi pelacuran intelektual akan
terjadi. Jika mahasiswa sebagai pelaku yang berproses menjalankan peran,
fungsi, serta tujuannya dengan baik. Dan yang terpenting bagi mahasiswa sendiri
adalah penyatuan suara iman, suara ilmu, dan suara waktu itu dijadikan sebagai
landasan maka sekali lagi mahasiswa untuk sumbangsih terhadap negeri bisa terwujud
dalam membuat perubahan yang radikal. Mungkin begitu.
*mahasiswa
aktif UMS
FKIP Pendidikan
Kewarganegaraan Semester 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar