Senin, 21 April 2014

Sekali Lagi Mahasiswa



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
          Kekuasaan yang korup menjadi tototanan setiap hari realita kehidupan politik. Kekuasaan yang berbasis pada kepentingan individu dan intrik politik individu menjadikan tontonan murah bagi rakyat. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka yang ingin berkuasa dengan basis yang seperti itu. Keuntungan pribadi pasti jawabannya. Tetapi bukan hanya itu pembedahan yang akan kita bahas disini. Melainkan mencari solusi alternatif bagaimana seharusnya rakyat melawan semua tontonan itu. Dan tumpuan kita pada pembedahan ada pada diri mahasiswa, salah satu kaum intelektual yang sampai saat ini masih bisa diperhitungkan dalam konstelasi politik yang terjadi.
            Dalam essay politik Mochtar Pabottingi yang berjudul intelektual dan kekuasaan (Forum, 7 Januari 1993) menjelaskan dengan sangat rinci, jika negara dalam artian kekuasaan yang dihuni oleh elite-elite korup dan rakyat dalam artian basis massa masih sama-sama kuat. Kekuasaan lebih membutuhkan kaum intelektual dalam proses pelanggengan kekuasaan. Para intelektual yang mempunyai peran sebagai kaum peng-konsep yang berdiri diatas analisis ideologis dan kritis menjadikan mereka-mereka yang berdiri diatas kekuasaan berfikir keras untuk bagaimana mempertahankan apa yang diinginkan oleh yang empunya. Dan kekuasaan adalah pengalih sikap (conventer), pengalih bentuk (transformer), dan penyedia peluang (facilitator) menjalankan tugasnya dengan baik untuk mengelabui rakyat sebagai basis massa yang memiliki banyak tuntutan.
            Maka dari itu ketika melihat fenomena yang semacam itu. Dan selalu kita beranggapan bahwa hampir rata-rata kaum intelektual sudah tidak murni dalam menjalankan fungsinya sebagai intelektualis. Sedangkan kalau kita menilik lagi bahwasaanya ilmu dan pengetahuan adalah bebas nilai. Apa yang akan dilakukan oleh mahasiswa sebagai salah satu golongan intelektual yang berkesadaran tinggi dalam melihat problematika sosial yang terjadi. Cukupkah kita hanya tersenyum puas dan bangga karena mereka-mereka kaum intelektual yang berselingkuh mempunyai latar belakang sama dengan kita (mahasiswa). Atau justru kita muak dengan segala sesuatu yang menyebabkan kita tidak dipercaya lagi dengan masyarakat, karena dengan ulah beberapa orang saja, mahasiswa secara keseluruhan mendapatkan imbasnya.
            Setiap perselingkuhan pasti tidak enak. Begitulah yang terjadi di pandangan masyarakat kita hari ini. Terlebih jika yang berselingkuh sudah memiliki sesuatu yang dimiliki. Semisal suami yang selingkuh dengan perempuan lain, padahal sebelumnya sudah mempunyai isteri. Pasti stereotip yang terjadi adalah kemuakan-kemuakan masyarakat terhadap tindakan tersebut. Sama halnya dengan kaum intelektual yang berselingkuh dengan kekuasaan korup. Pertaruhan prinsip sebagai intelektual yang memiliki sikap dan sifat intelektual menjadi harga diri yang harus dibayar mahal. Sungguh mengerikan.
            Proses yang selama perjalanan kaum intelektual dipertaruhkan untuk selalu memikirkan hal-hal yang merujuk pada keprihatinan sosial. Pembentukan mental yang panjang demi sikap idealis dan non-kompromis terhadap ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan, dan kebiadaban menguap begitu saja jika yang terjadi adalah perselingkuhan. Dan pelacuran intelektual pun menjadi sigmatisasi yang berkelanjutan terhadap mereka yang berkecimpung langsung.
            Harapan masih terbuka lebar dalam memandang nasib kaum intelektual jika proses produksi kaum intelektual diperhatikan. Ya, wadah itu masih menyediakan ruang-ruang bagi mereka yang ingin berkecimpung dengan dunia keilmuan. Pertanyaan selanjutnya apakah wadah tersebut dalam melakukan proses produksi masih berjalan sesuai dengan esensi atau tidak. Bisa kita lihat kampus kita hari ini. Bagaimanakah iklim akademisnya. Dinamis atau justru stagnan. Penuh perkembangan atau justru masih tetap saja dengan mengedepankan budaya akademik yang feodalistik dan patrimonial. Pendidikan yang diajarkan pun sesuai dengan realitas atau anti-realitas menjadi penentuan indikator selanjutnya dalam merumuskan proses produksi kaum intelektual.
            Pendidikan adalah proses manusia dalam memahami kondisi sosial. Pendidikan adalah alat untuk mengembangkan akal budi manusia menuju proses yang berkesadaran penuh. Pendidikan mengajarkan manusia pada hal-hal yang rasionalistik dengan menggunakan hukum logika yang tepat. Pendidikan adalah alat untuk manusia menjadi tahu akan dirinya sendiri, seperti ungkapan yang masyur man arofa nafsahu faqad arofa robbahu (kenalilah dirimu maka kelak akan kau kenali Tuhanmu). Sekali lagi pendidikan adalah alat yang penting untuk membuat manusia menghargai sesama manusia (humanisasi) bukan robotisasi. Dan mahasiswa adalah bagian dari yang haus akan esensi pendidikan itu. Dan kampus adalah ladangnya ideologi adalah tempat yang tepat bagi mahasiswa.
            Tetapi yang terjadi pada akhir-akhir ini adalah justru pergeseran itu sendiri. Baik dalam diri mahasiswa sebagai individu yang berjalan sendiri. Dan kampus sebagai wadah atau salah satu unsur pendidikan. Pergeseran itu bisa kita rasakan dari fenomena sosial yang ada. Pola perilaku budaya mahasiswa yang tidak menunjukkan kaum intelektual. Terlebih dengan budaya asing yang menjadi salah satu faktornya membuat sulit harapan akan proses produksi kaum intelektual. Pembacaan dangkal yang dilakukan oleh mahasiswa hari ini adalah hasilnya. Jangankan untuk memikirkan permasalahan negeri ini. Memikirkan wadahnya dalam menunjang kebutuhannya saja jauh dari impian. Generasi yang takut bersetru dan minim imajinasi adalah hasil-hasil selanjutnya dari itu semua.
            Hanya pada mahasiswa sendiri kita berharap, sebagai subjek yang berdiri sendiri dengan kemandirian berfikir yang dilakukan. Proses ijtihad pemikiran terhadap mahasiswa akan timbul. Kepekaan diri mahasiswa akan terbentuk dengan kuat. Harapan itupun akan terbuka lebar. Minimalisasi pelacuran intelektual akan terjadi. Jika mahasiswa sebagai pelaku yang berproses menjalankan peran, fungsi, serta tujuannya dengan baik. Dan yang terpenting bagi mahasiswa sendiri adalah penyatuan suara iman, suara ilmu, dan suara waktu itu dijadikan sebagai landasan maka sekali lagi mahasiswa untuk sumbangsih terhadap negeri bisa terwujud dalam membuat perubahan yang radikal. Mungkin begitu.
*mahasiswa aktif UMS
FKIP Pendidikan Kewarganegaraan Semester 6
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar