Risalah Mapala
Oleh: Abdur Rohman*
Pada
1953, setelah selesainya revolusi dan negeri ini berhasil meraih kemerdekaan,
ada beberapa mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pendidikan di Universitas
Indonesia (UI) di Bogor ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap
negeri ini yang diwujudkan dengan mencintai alam.
Salah
satu mahasiswa itu bernama Awibowo. Bersama beberapa kawannya, dia ingin
mendirikan perkumpulan yang punya kegiatan-kegiatan di alam bebas. Saat itu
mereka berkumpul dan berdiskusi menentukan istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan
perkumpulan itu.
Ada
usulan untuk memakai istilah ”penggemar alam” atau ”penyuka alam”. Tapi, pada
saat itu, Awibowo mengusulkan istilah ”pencinta alam”. Bagi dia, cinta lebih
dalam maknanya daripada gemar atau suka. Gemar atau suka mengandung makna
eksploitasi belaka.
Cinta
mengandung makna mengabdi. Akhirnya, istilah ”pencinta alam” diterima.
Kemudian, mereka menamai perkumpulan mereka itu dengan sebutan Perkumpulan
Pencinta Alam (PPA).
Setelah
terbentuk, PPA benar-benar mengisi kemerdekaan dengan didasari mencintai negeri
dan semangat nasionalisme yang tinggi. Perkumpulan ini mengadakan beberapa
kegiatan seperti ceramah-ceramah, penerbitan majalah, pertunjukan film tentang
lingkungan alam, wisata alam, dan sebagainya.
Saat
itu, PPA mampu menjadi wadah bagi pencinta alam untuk mengisi kemerdekaan dan
mengabdi kepada negeri. Namun, sayangnya, karena situasi politik dan pengaruh
komunis begitu kuat, pada akhir 1950-an, PPA tak terdengar lagi namanya.
Kemudian tahun 1964, tepatnya pada 19 Agustus, mahasiswa-mahasiswa Fakultas
Sastra UI mendirikan Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi (IPAM) di Gunung
Pangranggo.
Anggota
IPAM hanya beberapa orang mahasiswa Jurusan Arkeologi. Sayangnya, kelompok ini
hanya berumur beberapa bulan. Kemudian muncul ide untuk mendirikan organisasi
pencinta alam khusus bagi para mahasiswa sastra. Ide itu muncul dari pemikiran
Soe Hok Gie pada 8 November 1964.
Akhirnya,
pada 12 Desember 1964, berdirilah kelompok pencinta alam Sastra UI. Salah satu
anggotanya, Udin, mengususlkan agar dinamai Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam
(Impala). Namun, pada akhirnya, nama yang diterima adalah Mapala
Prajnaparamitha. Nama ini usulan Moendardjito.
Selain
singkatan dari mahasiswa pencinta alam, kata ”mapala” juga berarti berbuah atau
hasil, dan Prajnaparamitha adalah Dewi Ilmu Pengetahuan. Mapala Prajnaparamitha
inilah yang akhirnya berubah nama menjadi Mapala Universitas Indonesia (Mapala
UI) hingga saat ini.
Alam
dan Buku
Berbicara
tentang pencinta alam tak melulu tentang mendaki gunung, menyusuri gua,
menjelajahi hutan, panjat tebing, dan kegiatan alam bebas lainnya. Dari nama
awal, yakni Mapala Prajnaparamitha, mengesankan bahwa kegiatan mapala haruslah
berkontemplasi dalam dunia buku.
Mapala
UI sudah membuktikan bahwa pencinta alam haruslah bergerak dalam dunia buku.
Mereka pernah menerbitkan buku berjudul Di Bawah Panji Kehormatan. Buku itu
berisi artikel-artikel perjalanan Mapala UI yang pernah dimuat di Kompas,
Majalah Mutiara, Majalah Gadis, Warta UI, dan Buletin Mapala UI.
Buku
itu juga menjadi bukti bahwa pencinta alam juga harus berkontemplasi dalam
dunia kata. Selalu menulis dan ada baiknya disampaikan ke media massa. Buku itu
memang dimaksudkan untuk merangsang pencitna alam lain agar rajin menulis di
media massa, agar masyarakat umum bisa mengikuti semua kegiatan yang mereka
lakukan (Ganezh, 2005).
Jejak
pencinta alam yang berkontemplasi dalam dunia buku juga bisa kita lihat dalam
buku Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan. Buku ini berkisah tentang
keberhasilan tim Indonesia (gabungan Kopassus, Wanadri, Mapala UI, dan Federasi
Panjat Tebing Indonesia/FPTI) menjejaki puncak tertinggi di dunia, Mount
Everest, pada 1997.
Keberhasilan
ini membawa Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu
mendaki puncak Everest. Buku itu begitu heroik dan membanggakan. Dalam dunia
buku dan ilmu pengetahuan, kita mempunyai tokoh panutan bernama Norman Edwin.
Norman
adalah pencinta alam sekaligsu intelektual yang bisa dijadikan rujukan para
pencinta alam. Bagi Norman, menjadi pencinta alam bukan hanya berpetualang di
alam bebas, tetapi juga berpetualang dalam tulisan, dalam dunia kata.
Norman
merasa berdosa jika saat atau setelah berpetualang, ia tidak menulis. Norman
seolah mewajibkan dirinya untuk selalu menulis. Ambisinya ini ia pertegas
dengan menerbitkan buku berjudul Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan.
Buku yang terbit pada 1987 itu banyak mengilhami pencinta alam muda.
Norman
tidak setengah hati dalam menulis dan menekuni kegiatan alam bebas. Dia gemar
membaca, dia juga seorang kolektor buku. Ada dua rak buku berukuran besar di
dalam kamarnya. Di antara buku-bukunya itu, banyak buku terbitan asing.
Bahkan jika ada kawan-kawannya yang lebih menguasai
bahasa Belanda, Norman meminta kawannya itu untuk menerjemahkan buku berbahasa
Belanda yang dia beli. Norman seolah menyatakan menjadi pencinta alam sebaiknya
memiliki perpustakaan pribadi, memiliki banyak buku.
Saat
ini, ketika hampir di setiap perguruan tinggi memiliki mapala, bahkan di setiap
fakultas pun juga memiliki mapala, mudah-mudahan mereka mampu meneruskan jejak
langkah para “senior” mereka tersebut: bergerak dalam dunia buku, ilmu
pengetahuan, dan mencintai negeri ini. Semoga saja.
*Mahasiswa Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik
Universitas Sebelas
Maret
Risalah Gerakan Mahasiswa
(Tanggapan terhadap opini saudara
Abdur Rohman)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
“Sejarah dunia adalah sejarah orang
muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa”
Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah
sejarah pergerakan nasional. Sejarah pergerakan nasional adalah sejarah
anak-anak muda. Dan mahasiswa adalah salah satu manifestasi orang muda yang
ikut serta dalam melakukan pergerakan nasional dan akhirnya terwujud revolusi
Indonesia. Kita tahu Republik ini berdiri diatas teriakan keras Sukarno,
pembacaan tepat Moh. Hatta, pikiran cemerlang Sutan Sjahrir dan kepiawaian Tan
Malaka. Beliau-beliau itu adalah produk dari pendidikan tinggi yang diwarnai
kuat oleh hidupnya organisasi gerakan.
Berbicara tentang organisasi
mahasiswa maka alangkah baiknya tidak mendikotomikan organisasi mahasiswa yang
bersifat intra-kampus, ekstra-kampus, minat dan bakat atau organisasi
pergerakan. Karena pada dasarnya semua organisasi mahasiswa adalah satu tujuan.
Pada prinsipnya organisasi mahasiswa adalah sebagai wadah pengembangan dan
pengkayaan intelektual mahasiswa dalam menghadapi persoalan baik itu yang
lingkupnya mikro (kampus/lokal) maupun makro (nasional).
Risalah gerakan mahasiswa adalah
salah satu bentuk bagaimana posisi, peran, fungsi dan tujuan mahasiswa itu
ditetapkan sebagai garis politik perjuangan mahasiswa. Dan organisasi mahasiswa
sebagai wadah yang bertujuan untuk mengakomodir setiap ide-ide, gagasan dan
pikiran mahasiswa yang sesuai dengan khittah gerakan mahasiswa (moral force) yang menyoalkan tentang
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kesenjangan dan yang lainnya adalah yang
perlu diprioritaskan.
Tak heran jika dalam setiap aksinya
mahasiswa yang terwadahi dalam bentuk organisasi sebagai kelompok penekan (pressure group) harus mampu merebut
tahta kekuasaan dan dukungan massa yang seluas-luasnya. Ini baru gerakan
mahasiswa.
Menurut Eko Prasetyo, dalam bukunya
yang berjudul Bangkitlah Gerakan
Mahasiswa (2014) menyebutkan bahwa tugas dasar gerakan mahasiswa tetap tak
berubah, mendorong secara agresif terbentuknya situasi pendahuluan dimana massa
terlibat dalam konfrontasi. Konfrontasi dapat meledak jika sedari awal massa
maupun mahasiswa melakukan analisa yang cermat atas situasi. Situasi merupakan
sumber pembelajaran yang bisa menampilkan ekonomi-politik yang sesungguhnya.
Situasi yang dapat menjelaskan bagaimana pergulatan ekonomi-politik itu
terjadi. Pada sisi itulah konfrontasi jadi tesis yang mengikat dan menyatukan
antara perubahan dan peristiwa. Tiap perubahan harus memunculkan peristiwa dan
pada tiap peristiwa semustinya menampilkan perubahan. Intinya gerakan mahasiswa
adalah kesatuan antara teori dan praktek.
Selain itu
presentasi Ernest Mendel dalam Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa
Revolusioner di Education Auditorium di New York
University pada tanggal 21 September 1968 yang
dihadiri lebih dari 600 orang menguatkan bahwa gerakan mahasiswa adalah
kesatuan antara teori dan praktek. Berikut presentasinya: “Gerakan mahasiswa dimulai dengan
mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan terus
menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan
menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maka timbul kebutuhan menganalisis
kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri di mana
mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka kembali kepada
titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk
memahami alasan-alasan terdalam dari masalah sosial dan
perlawanan”.
Lanjutnya yang lebih
spesifik lagi mengenai kesatuan teori dan praktek dalam melihat perkembangan
gerakan mahasiswa, beliau berujar: “Jadi
kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan tentang
pemisahan kerja manual dan kerja pikiran dalam gerakan
revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi
yang baik jika tidak terlibat dalam aksi, dan tidak
akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima, memperkuat dan
memajukan teori”.
Belajar
dari Soe Hok Gie
Kita
tahu Soe Hok Gie adalah sosok aktivis mahasiswa angkatan -66, yang kebanyakan
orang tahu beliau adalah salah satu penggagas berdirinya organisasi pecinta
alam khusus bagi para mahasiswa Fakultas Sastra UI. Kita juga pasti tahu bahwa
Soe Hok Gie adalah salah satu penulis mahasiswa yang produktif. Tengok bukunya
yang berjudul Zaman Peralihan, buku
tersebut adalah kumpulan-kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang dimuat media massa.
Dan salah satu tulisannya yang sering diperbincangkan dikalangan mahasiswa pada
saat itu adalah Pelacuran Intelektual.
Selain itu bukunya yang terkenal yang menjadi perjalanan hidupnya selama
menjadi aktivis mahasiswa, sampai-sampai difilmkan oleh sutradara terkenal
dengan biaya produksi yang mahal berjudul Catatan
Seorang Demonstran adalah bentuk bukti rekam jejak seorang aktivis
mahasiswa yang mampu menyatukan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa.
Terutama dalam kegigihannya mengkritik situasi yang tidak memihak pada rakyat
kecil yang tertindas. Beliau sangat gigih dan berani untuk melawan.
Lantas, apa yang dirisaukan? Ya,
saat ini sudah banyak aktivis mahasiswa yang suka membaca buku teoritis, pintar
menulis dengan baik dan benar, entah itu sesuai dengan pedoman ilmiah (PKTI)
atau menulis bebas. Tapi pernahkah aktivis mahasiswa tersebut memimpin gerakan
dan mahir mengorganisir massa untuk menuntut hak-haknya yang belum tercapai.
Saya pikir minim aktivis mahasiswa yang berani mengangkat megaphone
ditengah-tengah jalan, ditengah-tengah kerumunan massa, dibawah terik matahari
bersama rakyat untuk meneriakkan keadilan, kebenaran, kebebasan dan kesetaraan
dengan tujuan tuntutan segera dipenuhi. Kesimpulan sementara apa yang ditulis
oleh Soe Hok Gie Pelacuran Intelektual
dan Julian Benda Pengkhianatan Kaum
Intelektual adalah pekerjaan rumah yang berat bagi gerakan mahasiswa
kedepan. Jika alam, buku dan aksi tidak disatukan, kesatuan teori dan praktek
mustahil tercipta, gerakan mahasiswa yang merisalahpun jauh dari harapan .
Mungkin begitu.
*Mahasiswa aktif UMS Jurusan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar