Jumat, 25 April 2014

TANGGAPAN OPINI SOLOPOS EDISI SELASA (18/03/2014)

Risalah Mapala
Oleh: Abdur Rohman*

Pada 1953, setelah selesainya revolusi dan negeri ini berhasil meraih kemerdekaan, ada beberapa mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia (UI) di Bogor ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini yang diwujudkan dengan mencintai alam.
Salah satu mahasiswa itu bernama Awibowo. Bersama beberapa kawannya, dia ingin mendirikan perkumpulan yang punya kegiatan-kegiatan di alam bebas. Saat itu mereka berkumpul dan berdiskusi menentukan istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu.
Ada usulan untuk memakai istilah ”penggemar alam” atau ”penyuka alam”. Tapi, pada saat itu, Awibowo mengusulkan istilah ”pencinta alam”. Bagi dia, cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka. Gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka.
Cinta mengandung makna mengabdi. Akhirnya, istilah ”pencinta alam” diterima. Kemudian, mereka menamai perkumpulan mereka itu dengan sebutan Perkumpulan Pencinta Alam (PPA).
Setelah terbentuk, PPA benar-benar mengisi kemerdekaan dengan didasari mencintai negeri dan semangat nasionalisme yang tinggi. Perkumpulan ini mengadakan beberapa kegiatan seperti ceramah-ceramah, penerbitan majalah, pertunjukan film tentang lingkungan alam, wisata alam, dan sebagainya.
Saat itu, PPA mampu menjadi wadah bagi pencinta alam untuk mengisi kemerdekaan dan mengabdi kepada negeri. Namun, sayangnya, karena situasi politik dan pengaruh komunis begitu kuat, pada akhir 1950-an, PPA tak terdengar lagi namanya. Kemudian tahun 1964, tepatnya pada 19 Agustus, mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra UI mendirikan Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi (IPAM) di Gunung Pangranggo.
Anggota IPAM hanya beberapa orang mahasiswa Jurusan Arkeologi. Sayangnya, kelompok ini hanya berumur beberapa bulan. Kemudian muncul ide untuk mendirikan organisasi pencinta alam khusus bagi para mahasiswa sastra. Ide itu muncul dari pemikiran Soe Hok Gie pada 8 November 1964.
Akhirnya, pada 12 Desember 1964, berdirilah kelompok pencinta alam Sastra UI. Salah satu anggotanya, Udin, mengususlkan agar dinamai Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam (Impala). Namun, pada akhirnya, nama yang diterima adalah Mapala Prajnaparamitha. Nama ini usulan Moendardjito.
Selain singkatan dari mahasiswa pencinta alam, kata ”mapala” juga berarti berbuah atau hasil, dan Prajnaparamitha adalah Dewi Ilmu Pengetahuan. Mapala Prajnaparamitha inilah yang akhirnya berubah nama menjadi Mapala Universitas Indonesia (Mapala UI) hingga saat ini.

Alam dan Buku
Berbicara tentang pencinta alam tak melulu tentang mendaki gunung, menyusuri gua, menjelajahi hutan, panjat tebing, dan kegiatan alam bebas lainnya. Dari nama awal, yakni Mapala Prajnaparamitha, mengesankan bahwa kegiatan mapala haruslah berkontemplasi dalam dunia buku.
Mapala UI sudah membuktikan bahwa pencinta alam haruslah bergerak dalam dunia buku. Mereka pernah menerbitkan buku berjudul Di Bawah Panji Kehormatan. Buku itu berisi artikel-artikel perjalanan Mapala UI yang pernah dimuat di Kompas, Majalah Mutiara, Majalah Gadis, Warta UI, dan Buletin Mapala UI.
Buku itu juga menjadi bukti bahwa pencinta alam juga harus berkontemplasi dalam dunia kata. Selalu menulis dan ada baiknya disampaikan ke media massa. Buku itu memang dimaksudkan untuk merangsang pencitna alam lain agar rajin menulis di media massa, agar masyarakat umum bisa mengikuti semua kegiatan yang mereka lakukan (Ganezh, 2005).
Jejak pencinta alam yang berkontemplasi dalam dunia buku juga bisa kita lihat dalam buku Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan. Buku ini berkisah tentang keberhasilan tim Indonesia (gabungan Kopassus, Wanadri, Mapala UI, dan Federasi Panjat Tebing Indonesia/FPTI) menjejaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest, pada 1997.
Keberhasilan ini membawa Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu mendaki puncak Everest. Buku itu begitu heroik dan membanggakan. Dalam dunia buku dan ilmu pengetahuan, kita mempunyai tokoh panutan bernama Norman Edwin.
Norman adalah pencinta alam sekaligsu intelektual yang bisa dijadikan rujukan para pencinta alam. Bagi Norman, menjadi pencinta alam bukan hanya berpetualang di alam bebas, tetapi juga berpetualang dalam tulisan, dalam dunia kata.
Norman merasa berdosa jika saat atau setelah berpetualang, ia tidak menulis. Norman seolah mewajibkan dirinya untuk selalu menulis. Ambisinya ini ia pertegas dengan menerbitkan buku berjudul Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan. Buku yang terbit pada 1987 itu banyak mengilhami pencinta alam muda.
Norman tidak setengah hati dalam menulis dan menekuni kegiatan alam bebas. Dia gemar membaca, dia juga seorang kolektor buku. Ada dua rak buku berukuran besar di dalam kamarnya. Di antara buku-bukunya itu, banyak buku terbitan asing.
Bahkan  jika ada kawan-kawannya yang lebih menguasai bahasa Belanda, Norman meminta kawannya itu untuk menerjemahkan buku berbahasa Belanda yang dia beli. Norman seolah menyatakan menjadi pencinta alam sebaiknya memiliki perpustakaan pribadi, memiliki banyak buku.
Saat ini, ketika hampir di setiap perguruan tinggi memiliki mapala, bahkan di setiap fakultas pun juga memiliki mapala, mudah-mudahan mereka mampu meneruskan jejak langkah para “senior” mereka tersebut: bergerak dalam dunia buku, ilmu pengetahuan, dan mencintai negeri ini. Semoga saja.
                        *Mahasiswa Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret

Risalah Gerakan Mahasiswa
(Tanggapan terhadap opini saudara Abdur Rohman)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*

“Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa”
            Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah sejarah pergerakan nasional. Sejarah pergerakan nasional adalah sejarah anak-anak muda. Dan mahasiswa adalah salah satu manifestasi orang muda yang ikut serta dalam melakukan pergerakan nasional dan akhirnya terwujud revolusi Indonesia. Kita tahu Republik ini berdiri diatas teriakan keras Sukarno, pembacaan tepat Moh. Hatta, pikiran cemerlang Sutan Sjahrir dan kepiawaian Tan Malaka. Beliau-beliau itu adalah produk dari pendidikan tinggi yang diwarnai kuat oleh hidupnya organisasi gerakan.
            Berbicara tentang organisasi mahasiswa maka alangkah baiknya tidak mendikotomikan organisasi mahasiswa yang bersifat intra-kampus, ekstra-kampus, minat dan bakat atau organisasi pergerakan. Karena pada dasarnya semua organisasi mahasiswa adalah satu tujuan. Pada prinsipnya organisasi mahasiswa adalah sebagai wadah pengembangan dan pengkayaan intelektual mahasiswa dalam menghadapi persoalan baik itu yang lingkupnya mikro (kampus/lokal) maupun makro (nasional).
            Risalah gerakan mahasiswa adalah salah satu bentuk bagaimana posisi, peran, fungsi dan tujuan mahasiswa itu ditetapkan sebagai garis politik perjuangan mahasiswa. Dan organisasi mahasiswa sebagai wadah yang bertujuan untuk mengakomodir setiap ide-ide, gagasan dan pikiran mahasiswa yang sesuai dengan khittah gerakan mahasiswa (moral force) yang menyoalkan tentang ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kesenjangan dan yang lainnya adalah yang perlu diprioritaskan.
            Tak heran jika dalam setiap aksinya mahasiswa yang terwadahi dalam bentuk organisasi sebagai kelompok penekan (pressure group) harus mampu merebut tahta kekuasaan dan dukungan massa yang seluas-luasnya. Ini baru gerakan mahasiswa.
            Menurut Eko Prasetyo, dalam bukunya yang berjudul Bangkitlah Gerakan Mahasiswa (2014) menyebutkan bahwa tugas dasar gerakan mahasiswa tetap tak berubah, mendorong secara agresif terbentuknya situasi pendahuluan dimana massa terlibat dalam konfrontasi. Konfrontasi dapat meledak jika sedari awal massa maupun mahasiswa melakukan analisa yang cermat atas situasi. Situasi merupakan sumber pembelajaran yang bisa menampilkan ekonomi-politik yang sesungguhnya. Situasi yang dapat menjelaskan bagaimana pergulatan ekonomi-politik itu terjadi. Pada sisi itulah konfrontasi jadi tesis yang mengikat dan menyatukan antara perubahan dan peristiwa. Tiap perubahan harus memunculkan peristiwa dan pada tiap peristiwa semustinya menampilkan perubahan. Intinya gerakan mahasiswa adalah kesatuan antara teori dan praktek.
Selain itu presentasi Ernest Mendel dalam Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner di Education Auditorium di  New  York University  pada tanggal  21  September  1968  yang dihadiri lebih dari 600 orang menguatkan bahwa gerakan mahasiswa adalah kesatuan antara teori dan praktek. Berikut presentasinya: “Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maka timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan”.
Lanjutnya yang lebih spesifik lagi mengenai kesatuan teori dan praktek dalam melihat perkembangan gerakan mahasiswa, beliau berujar: “Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan  tentang pemisahan kerja manual dan kerja  pikiran  dalam gerakan  revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi  yang  baik jika tidak terlibat dalam aksi,  dan  tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima,  memperkuat dan memajukan teori”. 
Belajar dari Soe Hok Gie
            Kita tahu Soe Hok Gie adalah sosok aktivis mahasiswa angkatan -66, yang kebanyakan orang tahu beliau adalah salah satu penggagas berdirinya organisasi pecinta alam khusus bagi para mahasiswa Fakultas Sastra UI. Kita juga pasti tahu bahwa Soe Hok Gie adalah salah satu penulis mahasiswa yang produktif. Tengok bukunya yang berjudul Zaman Peralihan, buku tersebut adalah kumpulan-kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang dimuat media massa. Dan salah satu tulisannya yang sering diperbincangkan dikalangan mahasiswa pada saat itu adalah Pelacuran Intelektual. Selain itu bukunya yang terkenal yang menjadi perjalanan hidupnya selama menjadi aktivis mahasiswa, sampai-sampai difilmkan oleh sutradara terkenal dengan biaya produksi yang mahal berjudul Catatan Seorang Demonstran adalah bentuk bukti rekam jejak seorang aktivis mahasiswa yang mampu menyatukan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa. Terutama dalam kegigihannya mengkritik situasi yang tidak memihak pada rakyat kecil yang tertindas. Beliau sangat gigih dan berani untuk melawan.
            Lantas, apa yang dirisaukan? Ya, saat ini sudah banyak aktivis mahasiswa yang suka membaca buku teoritis, pintar menulis dengan baik dan benar, entah itu sesuai dengan pedoman ilmiah (PKTI) atau menulis bebas. Tapi pernahkah aktivis mahasiswa tersebut memimpin gerakan dan mahir mengorganisir massa untuk menuntut hak-haknya yang belum tercapai. Saya pikir minim aktivis mahasiswa yang berani mengangkat megaphone ditengah-tengah jalan, ditengah-tengah kerumunan massa, dibawah terik matahari bersama rakyat untuk meneriakkan keadilan, kebenaran, kebebasan dan kesetaraan dengan tujuan tuntutan segera dipenuhi. Kesimpulan sementara apa yang ditulis oleh Soe Hok Gie Pelacuran Intelektual dan Julian Benda Pengkhianatan Kaum Intelektual adalah pekerjaan rumah yang berat bagi gerakan mahasiswa kedepan. Jika alam, buku dan aksi tidak disatukan, kesatuan teori dan praktek mustahil tercipta, gerakan mahasiswa yang merisalahpun jauh dari harapan . Mungkin begitu.

*Mahasiswa aktif UMS Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar