Oleh: Adhitya Yoga
Pratama*
Tiap kali
peristiwa yang merongrong kedaulatan bangsa dan negara baik itu skala lokal,
nasional, maupun internasional. Mahasiswa pasti bergerak, mahasiswa pasti unjuk
rasa, mahasiswa pasti demonstrasi. Atas nama gerakan parlemen jalanan mahasiswa
menuntut, menyoal, menggugat, atau mengkritisi habis hal-hal yang merugikan
rakyat secara umum. Atas nama moralitas yang menjadi tanggung jawab sosialnya
sebagai golongan terpelajar bersumpah untuk selalu: bertanah air satu; tanah
air tanpa penindasan, berbangsa satu; bangsa yang gandrung akan keadilan,
berbahasa satu; bahasa tanpa kebohongan.
Tak ayal jika para penegak keamanan
dan ketertiban berbaju pemerintah seringkali geram melihat ulah mahasiswa dalam
setiap aksi parlemen jalanannya. Tak tanggung memang dalam aksi parlemen
jalanan tersebut, mahasiswa seringkali melakukan tindakan-tindakan yang
ekstrem; menutup jalan raya, menghentikan mobil dinas milik pemerintah, atau
menyetop mobil tangki milik pertamina yang berisi bahan bakar minyak (BBM) atau
sejenisnya, itu semua hanyalah simbol perlawanan dan penolakan terhadap
kebijakan pemerintah yang kontra-rakyat. Bukanlah aksi yang bersifat kerusuhan
tak berpangkal sama sekali. Alih-alih mengkritisi kebijakan pemerintah yang
kontra-rakyat, justru label anarkis=kekerasan yang tak berdasar selalu
terlontar dengan nyaringnya. Unik dan menggelikan terkadang mendengarnya. Maka
dari itu mahasiswa, demonstrasi dan anarkhisme sosial perlu dikaji ulang.
Mahasiswa sebagai pencetus,
pendukung, dan penerap ideologi yang berhabitus di lingkungan akademis kampus,
yang penuh dengan pertarungan ideologi dan pemikiran. Tak mengherankan jika
banyak yang membicarakan wajar kalau mahasiswa selalu berbicara tentang
perubahan sosial di masyarakat. Selalu seringnya berkutat dengan masalah
teoritis dan perbenturan wilayah praksis (realitas sosial) menjadikan jiwa-jiwa
dalam diri mahasiswa selalu resah dalam membaca kondisi sosial, terlebih
ide-ide yang di dapatkan didalam kampus banyak yang kontradiktif. Itulah siklus
kenapa penyebab dari mahasiswa menjadi sorotan sebagai agent of change atau agent of
control.
Jiwa-jiwa yang resah tersebut kalau
tidak dimanifestasikan dalam bentuk aksi. Menjadi tak berarti rasanya teori
yang selama ini di geluti oleh mahasiswa dalam kesehariannya. Aksi itu belum
tentu demonstrasi saja, melainkan demontrasi itu pasti aksi. Hal ini menjadi
dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dan biasanya orang-orang terjebak
dalam logika berfikir tentang aksi ini. Banyak memang yang menyoalkan tentang
efektivitas demonstrasi dalam merealisasikan substansi tuntutan. Perlu diingat
bahwa aksi yang berpanggung jalanan adalah alternatif terakhir dalam perwujudan
tuntutan-tuntutan tersebut. Alternatif ini bisa digunakan ketika
tahapan-tahapan aksi sudah dilakukan tetapi tidak berjalan dengan baik.
Lalu, Apa Anarkhisme
Sosial?
Dalam bukunya Alexander Berkman yang berjudul Anarkhisme
dan Revolusi Sosial menyebutkan bahwa point penting anarkhisme sosial
adalah 1) anarkhisme bukan bom, ketidakteraturan atau kekacauan; 2) anarkhisme
bukan perampokan dan pembunuhan. Anarkhisme bukan perang diantara yang sedikit
melawan semua; 3) anarkhisme bukan berarti kembali ke barbarisme atau kondisi
yang liar dari masyarakat. Anarkhisme adalah kebalikan dari semua itu. 1)
anarkhisme memiliki arti bahwa anda harus bebas; bahwa tidak seorang pun boleh
memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda.
Jelas sekali bahwa demonstrasi
mahasiswa bukanlah anarkhisme sosial yang berwujud kerusuhan dan kekerasan. Itu
hanyalah dampak dari aksi represifitas aparat pemerintah. Dalam bukunya Dom Helder Camara yang berjudul Spiral Kekerasan, beliau mengemukakan
bahwa asal-usul kekerasan itu sendiri bermula dari pemerintah. Berawal dari
ketimpangan dan kesenjangan ekonomi impulsitas kebijakan pemerintah yang
kontra-rakyat berakibat fatal pada kemiskinan, kemelaratan, dan kerentanan
sosial, suatu keresahan secara otomatis akan timbul menjadi gumaman-gumaman
yang suatu saat timbullah pemberontakan, perlawanan, dan revolusi, perlahan
tapi pasti represifitas pemerintahpun ikut andil dalam usahanya sebagai penjaga
keamanan dan ketertiban rakyat menghentikan aksi-aksi rakyat, rakyatpun tidak
mau mengindahkan himbauan pemerintah. Kekerasanpun akhirnya tak bisa dihindari,
bermula dari kekerasan non-fisik berujung kekerasan fisik itulah yang nantinya
akan menjadi lingkaran-lingkaran kekerasan yang tiada hentinya. Dan bentuk anarkhisme
sosial menentang segala bentuk yang bersifat kekerasan non-fisik yang berupa penindasan,
kesenjangan dan ketimpangan.
Anarkhisme sosial adalah hal yang
paling bagus dan terbesar yang pernah dipikirkan oleh manusia; satu-satunya
yang dapat memberi anda kebebasan dan kesejahteraan, serta membawa perdamaian
dan kegembiraan dunia (Anarkhisme dan
Revolusi Sosial; Alexander Berkman; Hal 1).
Sungguh lucu jika demonstrasi selalu
disinonimkan oleh anarkhis. Dan anarkhis di identikkan dengan aksi kekerasan
dan biang kerusuhan. Padahal itu semua perlu adanya identifikasi yang sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan. Dan yang paling penting tidak menyalahkan sesuatu
yang belum diketahui asal-usulnya dengan baik; mahasiswa yang selalu buat jalan
macet gara-gara demonstrasi. Menjadi semakin jelas dan tak salah arti dalam
memberikan pengertian yang baik kepada masyarakat. Semoga wacana ini menjadi
refleksi kita bersama dalam mewujudkan ide-ide yang revolusioner dan tentunya
tidak salah arti lagi. Mungkin begitu.
*penulis adalah
mahasiswa aktif UMS
Dan alumnus Sekolah
Politik dan Hukum Progresif
Social Movement
Institute (SMI)
Jogjakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar