Senin, 21 April 2014

Mahasiswa, Demontrasi dan Anarkhisme Sosial



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
          Tiap kali peristiwa yang merongrong kedaulatan bangsa dan negara baik itu skala lokal, nasional, maupun internasional. Mahasiswa pasti bergerak, mahasiswa pasti unjuk rasa, mahasiswa pasti demonstrasi. Atas nama gerakan parlemen jalanan mahasiswa menuntut, menyoal, menggugat, atau mengkritisi habis hal-hal yang merugikan rakyat secara umum. Atas nama moralitas yang menjadi tanggung jawab sosialnya sebagai golongan terpelajar bersumpah untuk selalu: bertanah air satu; tanah air tanpa penindasan, berbangsa satu; bangsa yang gandrung akan keadilan, berbahasa satu; bahasa tanpa kebohongan.
            Tak ayal jika para penegak keamanan dan ketertiban berbaju pemerintah seringkali geram melihat ulah mahasiswa dalam setiap aksi parlemen jalanannya. Tak tanggung memang dalam aksi parlemen jalanan tersebut, mahasiswa seringkali melakukan tindakan-tindakan yang ekstrem; menutup jalan raya, menghentikan mobil dinas milik pemerintah, atau menyetop mobil tangki milik pertamina yang berisi bahan bakar minyak (BBM) atau sejenisnya, itu semua hanyalah simbol perlawanan dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang kontra-rakyat. Bukanlah aksi yang bersifat kerusuhan tak berpangkal sama sekali. Alih-alih mengkritisi kebijakan pemerintah yang kontra-rakyat, justru label anarkis=kekerasan yang tak berdasar selalu terlontar dengan nyaringnya. Unik dan menggelikan terkadang mendengarnya. Maka dari itu mahasiswa, demonstrasi dan anarkhisme sosial perlu dikaji ulang.
            Mahasiswa sebagai pencetus, pendukung, dan penerap ideologi yang berhabitus di lingkungan akademis kampus, yang penuh dengan pertarungan ideologi dan pemikiran. Tak mengherankan jika banyak yang membicarakan wajar kalau mahasiswa selalu berbicara tentang perubahan sosial di masyarakat. Selalu seringnya berkutat dengan masalah teoritis dan perbenturan wilayah praksis (realitas sosial) menjadikan jiwa-jiwa dalam diri mahasiswa selalu resah dalam membaca kondisi sosial, terlebih ide-ide yang di dapatkan didalam kampus banyak yang kontradiktif. Itulah siklus kenapa penyebab dari mahasiswa menjadi sorotan sebagai agent of change atau agent of control.
            Jiwa-jiwa yang resah tersebut kalau tidak dimanifestasikan dalam bentuk aksi. Menjadi tak berarti rasanya teori yang selama ini di geluti oleh mahasiswa dalam kesehariannya. Aksi itu belum tentu demonstrasi saja, melainkan demontrasi itu pasti aksi. Hal ini menjadi dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan dan biasanya orang-orang terjebak dalam logika berfikir tentang aksi ini. Banyak memang yang menyoalkan tentang efektivitas demonstrasi dalam merealisasikan substansi tuntutan. Perlu diingat bahwa aksi yang berpanggung jalanan adalah alternatif terakhir dalam perwujudan tuntutan-tuntutan tersebut. Alternatif ini bisa digunakan ketika tahapan-tahapan aksi sudah dilakukan tetapi tidak berjalan dengan baik.
Lalu, Apa Anarkhisme Sosial?
            Dalam bukunya Alexander Berkman yang berjudul Anarkhisme dan Revolusi Sosial menyebutkan bahwa point penting anarkhisme sosial adalah 1) anarkhisme bukan bom, ketidakteraturan atau kekacauan; 2) anarkhisme bukan perampokan dan pembunuhan. Anarkhisme bukan perang diantara yang sedikit melawan semua; 3) anarkhisme bukan berarti kembali ke barbarisme atau kondisi yang liar dari masyarakat. Anarkhisme adalah kebalikan dari semua itu. 1) anarkhisme memiliki arti bahwa anda harus bebas; bahwa tidak seorang pun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda.
            Jelas sekali bahwa demonstrasi mahasiswa bukanlah anarkhisme sosial yang berwujud kerusuhan dan kekerasan. Itu hanyalah dampak dari aksi represifitas aparat pemerintah. Dalam bukunya Dom Helder Camara yang berjudul Spiral Kekerasan, beliau mengemukakan bahwa asal-usul kekerasan itu sendiri bermula dari pemerintah. Berawal dari ketimpangan dan kesenjangan ekonomi impulsitas kebijakan pemerintah yang kontra-rakyat berakibat fatal pada kemiskinan, kemelaratan, dan kerentanan sosial, suatu keresahan secara otomatis akan timbul menjadi gumaman-gumaman yang suatu saat timbullah pemberontakan, perlawanan, dan revolusi, perlahan tapi pasti represifitas pemerintahpun ikut andil dalam usahanya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban rakyat menghentikan aksi-aksi rakyat, rakyatpun tidak mau mengindahkan himbauan pemerintah. Kekerasanpun akhirnya tak bisa dihindari, bermula dari kekerasan non-fisik berujung kekerasan fisik itulah yang nantinya akan menjadi lingkaran-lingkaran kekerasan yang tiada hentinya. Dan bentuk anarkhisme sosial menentang segala bentuk yang bersifat kekerasan non-fisik yang berupa penindasan, kesenjangan dan ketimpangan.
            Anarkhisme sosial adalah hal yang paling bagus dan terbesar yang pernah dipikirkan oleh manusia; satu-satunya yang dapat memberi anda kebebasan dan kesejahteraan, serta membawa perdamaian dan kegembiraan dunia (Anarkhisme dan Revolusi Sosial; Alexander Berkman; Hal 1).
            Sungguh lucu jika demonstrasi selalu disinonimkan oleh anarkhis. Dan anarkhis di identikkan dengan aksi kekerasan dan biang kerusuhan. Padahal itu semua perlu adanya identifikasi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan. Dan yang paling penting tidak menyalahkan sesuatu yang belum diketahui asal-usulnya dengan baik; mahasiswa yang selalu buat jalan macet gara-gara demonstrasi. Menjadi semakin jelas dan tak salah arti dalam memberikan pengertian yang baik kepada masyarakat. Semoga wacana ini menjadi refleksi kita bersama dalam mewujudkan ide-ide yang revolusioner dan tentunya tidak salah arti lagi. Mungkin begitu.
*penulis adalah mahasiswa aktif UMS
Dan alumnus Sekolah Politik dan Hukum Progresif
Social Movement Institute (SMI)
Jogjakarta
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar