Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Jangan sekali-kali melupakan
sejarah (Jasmerah)
(Ir. Sukarno)
Hari ini adalah dampak dari masa lalu. Masa lalu
menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam suatu kondisi dan kebutuhan
tertentu. Peristiwa-peritiwa itu tercatat dalam suatu dokumen sejarah suatu
bangsa. Sejarah menjadikan manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara sesuai
dengan cita-cita luhur Negara yang di rumuskan oleh The Founding Father Nation. Tak heran jika Sukarno pernah berkata “suatu Negara akan hancur dan runtuh, jika
anak mudanya tidak menghargai jasa-jasa para pahlawan bangsa dan sejarah masa
lalu bangsa”. Maka dari itu pentingnya membuka kembali lembaran-lembaran
masa lalu bangsa Indonesia saat ini adalah untuk mengetahui penyebab kenapa
Negara sampai detik ini tidak bisa memberikan kewajibannya kepada rakyatnya.
Maka dari itu belajarlah dari sejarah.
Bulan September terdapat peristiwa penting bangsa
Indonesia yang menggemparkan dunia. Tepatnya pada tanggal 30 september 1965,
hari dimana dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan. Hari dimana
pancasila diperingati sebagai yang paling sakti tiap tahunnya. Hari dimana
siapa yang kuat dia yang menang. Hari dimana tujuh para jenderal di bunuh dan
disiksa di Lubang Buaya, Jakarta. Hari dimana Partai Komunis Indonesia (PKI)
menjalankan aksinya dalam sebuah kudeta dan ingin mengganti ideologi Negara
dari Pancasila menjadi ideologi komunis. Tapi siapa yang duga kalau peristiwa
Gerakan 30 September 1965 (G 30 S/PKI) itu sampai hari ini masih dipersoalkan
terkait keontetikan kebenaran sejarahnya.
Bukan menjadi rahasia umum lagi dalam ilmu-ilmu sosial
(humaniora) perdebatan yang berawal dari keganjilan dan ketidakpuasan dalam
mencari kebenaran menjadi tolok ukur ilmu-ilmu sosial itu menjadi bagian ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi terciptanya ilmu pengetahuan yang rasional dan
logis. Dan sejarah masuk dalam kategori itu, terlebih jika kita melihat kalau
sejarah berisi tentang peristiwa masa lalu yang urgen. Kelengkapan data dan
analisis yang tajam menjadi proses pencarian kebenaran berjalan dengan baik.
Pentingnya anak muda mempelajari dan memahami sejarah, terutama mahasiswa yang
disebut sebagai agent of change yang
hidup dalam masyarakat ilmu (kampus) adalah terwujudnya kesadaran sejarah dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
September
dan Oktober yang Kelam
Peristiwa
malam September dan dini hari
Oktober 1965
yang kelam adalah peristiwa berdarah yang perlu kita selidiki lebih radikal (mengakar)
lagi. Apakah memang benar-benar PKI yang melakukan coup de e’tat untuk
mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Ataukah itu justru perseteruan internal
dalam tubuh institusi pemerintah yang membidangi pertahanan dan keamanan guna
pembuktian kekuatan masing-masing.
Dijelaskan
dalam buku yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan
Kudeta Suharto, karya John Roosa
bahwa pada dini hari 1 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat (Mengpangad)
Letnan Jenderal Ahmad Yani dan lima orang staf umumnya diculik dari rumah-rumah
mereka di Jakarta, dan dibawa dengan truk ke sebidang areal perkebunan di
selatan kota. Para penculik membunuh Yani dan dua Jenderal lainnya pada saat
penangkapan berlangsung. Tiba di areal beberapa saat kemudian pada pagi hari
itu, mereka membunuh tiga jenderal lainnya dan melempar enam jasad mereka ke
sebuah sumur mati. Seorang letnan, yang salah tangkap dari rumah jenderal
ketujuh yang lolos dari penculikan, menemui nasib dilempar ke dasar sumur yang
sama.
Pagi hari itu juga orang-orang dibalik peristiwa
pembunuhan ini pun menduduki stasiun pusat Radio Republik Indonesia (RRI), dan
melalui udara menyatakan diri sebagai anggota pasukan yang setia kepada
presiden Sukarno. Adapun tujuan aksi yang mereka umumkan ialah melindungi
Presiden dari komplotan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta. Mereka
menyebut nama pemimpin mereka, Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal
Kehormatan Cakrabirawa yang bertanggung jawab mengawal presiden, dan menamai
Gerakan 30 September (selanjtnya disebut sebagai G-30-S). Dalam sebuah unjuk
kekuatan, ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki lapangan Merdeka
(sekarang Monas) di Pusat Kota.
Kesulitan memahami G-30-S antara lain karena gerakan
tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui
keberadaannya. Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya. Kendati
bernapas pendek, G-30-S mempunyai dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal
berakhirnya masa kepresidenan Sukarno, sekaligus bermulanya masa kekuasaan
Suharto. Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi
Sukarno, sambil melambungkan dirinya ke kepresidenan. Pengambilalihan kekuasaan
negara oleh Suharto secara bertahap, yang dapat disebut sebagai kudeta
merangkak. Kedua belah pihak tidak berani menunjukkan ketidaksetiaan terhadap
Presiden.
Jika bagi Presiden Sukarno aksi G-30-S itu sendiri
disebutnya sebagai “riak kecil ditengah samudra besar Revolusi (nasional
Indonesia),” sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa
menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, sedangkan bagi Suharto
peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan
adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno. Suharto menuduh
Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun
rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Gerakan
30 September, sebagai titik berangkat rangkaian kejadian berkait kelindan yang
bermuara pada pembunuhan massal dan tiga puluh dua tahun kediktatoran,
merupakan salah satu di antara kejadian-kejadian penting dalam sejarah
Indonesia.
Mahasiswa Mencari Kebenaran
Sejarah
Soe
Hok Gie dalam catatan pribadinya yang berjudul Catatan Seorang Demonstran bergumam
“sejarah dunia adalah sejarah pemerasan.
Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa
pengkhiantan, sejarah tidak akan lahir?”. Tiap tahunnya kita sebagai rakyat
Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila, tanpa kita tahu apa penyebab
kesaktian pancasila diperingati itu sebenarnya. Kebenaran serta pelurusan
sejarah memang sangat di perlukan untuk saat ini. Apakah sejarah akan selamanya
seperti produk-produk rezim diktator Suharto. Dimana propaganda dan teror sudah
merasuk dalam kerangka berfikir masyarakat Indonesia. Apakah kita sebagai
masyarakat Indonesia berusaha mencari titik kebenaran dalam sejarah masa lalu
yang kelam itu.
Ya, sebagai mahasiswa
Indonesia yang bersumpah bahwa “kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah
air satu, tanah air tanpa penindasan, kami mahasiswa Indonesia bersumpah,
berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan, dan kami mahasiswa Indonesia bersumpah,
berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan”. Menjadi landasan mahasiswa untuk
membuka kesadaran sejarah yang sebenar-benarnya. Lewat mimbar-mimbar bebas,
diskusi publik, bedah film, bedah buku, bedah tokoh, seminar-seminar, serta
workshop-workshop targetan menuju kesadaran sejarah akan bisa kita wujudkan.
*Penulis
adalah mahasiswa aktif UMS
Jurusan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN)
Dan
aktif bergiat di Rumah Pena Merah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar