Senin, 21 April 2014

Mahasiswa dan Kesadaran Sejarah



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah)
(Ir. Sukarno)
            Hari ini adalah dampak dari masa lalu. Masa lalu menceritakan peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam suatu kondisi dan kebutuhan tertentu. Peristiwa-peritiwa itu tercatat dalam suatu dokumen sejarah suatu bangsa. Sejarah menjadikan manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita luhur Negara yang di rumuskan oleh The Founding Father Nation. Tak heran jika Sukarno pernah berkata “suatu Negara akan hancur dan runtuh, jika anak mudanya tidak menghargai jasa-jasa para pahlawan bangsa dan sejarah masa lalu bangsa”. Maka dari itu pentingnya membuka kembali lembaran-lembaran masa lalu bangsa Indonesia saat ini adalah untuk mengetahui penyebab kenapa Negara sampai detik ini tidak bisa memberikan kewajibannya kepada rakyatnya. Maka dari itu belajarlah dari sejarah.
            Bulan September terdapat peristiwa penting bangsa Indonesia yang menggemparkan dunia. Tepatnya pada tanggal 30 september 1965, hari dimana dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan. Hari dimana pancasila diperingati sebagai yang paling sakti tiap tahunnya. Hari dimana siapa yang kuat dia yang menang. Hari dimana tujuh para jenderal di bunuh dan disiksa di Lubang Buaya, Jakarta. Hari dimana Partai Komunis Indonesia (PKI) menjalankan aksinya dalam sebuah kudeta dan ingin mengganti ideologi Negara dari Pancasila menjadi ideologi komunis. Tapi siapa yang duga kalau peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S/PKI) itu sampai hari ini masih dipersoalkan terkait keontetikan kebenaran sejarahnya.
            Bukan menjadi rahasia umum lagi dalam ilmu-ilmu sosial (humaniora) perdebatan yang berawal dari keganjilan dan ketidakpuasan dalam mencari kebenaran menjadi tolok ukur ilmu-ilmu sosial itu menjadi bagian ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi terciptanya ilmu pengetahuan yang rasional dan logis. Dan sejarah masuk dalam kategori itu, terlebih jika kita melihat kalau sejarah berisi tentang peristiwa masa lalu yang urgen. Kelengkapan data dan analisis yang tajam menjadi proses pencarian kebenaran berjalan dengan baik. Pentingnya anak muda mempelajari dan memahami sejarah, terutama mahasiswa yang disebut sebagai agent of change yang hidup dalam masyarakat ilmu (kampus) adalah terwujudnya kesadaran sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
           
September dan Oktober yang Kelam
Peristiwa malam September dan dini hari Oktober 1965 yang kelam adalah peristiwa berdarah yang perlu kita selidiki lebih radikal (mengakar) lagi. Apakah memang benar-benar PKI yang melakukan coup de e’tat  untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Ataukah itu justru perseteruan internal dalam tubuh institusi pemerintah yang membidangi pertahanan dan keamanan guna pembuktian kekuatan masing-masing.
Dijelaskan dalam buku yang berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, karya John Roosa bahwa pada dini hari 1 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat (Mengpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani dan lima orang staf umumnya diculik dari rumah-rumah mereka di Jakarta, dan dibawa dengan truk ke sebidang areal perkebunan di selatan kota. Para penculik membunuh Yani dan dua Jenderal lainnya pada saat penangkapan berlangsung. Tiba di areal beberapa saat kemudian pada pagi hari itu, mereka membunuh tiga jenderal lainnya dan melempar enam jasad mereka ke sebuah sumur mati. Seorang letnan, yang salah tangkap dari rumah jenderal ketujuh yang lolos dari penculikan, menemui nasib dilempar ke dasar sumur yang sama.
Pagi hari itu juga orang-orang dibalik peristiwa pembunuhan ini pun menduduki stasiun pusat Radio Republik Indonesia (RRI), dan melalui udara menyatakan diri sebagai anggota pasukan yang setia kepada presiden Sukarno. Adapun tujuan aksi yang mereka umumkan ialah melindungi Presiden dari komplotan jenderal kanan yang akan melancarkan kudeta. Mereka menyebut nama pemimpin mereka, Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Cakrabirawa yang bertanggung jawab mengawal presiden, dan menamai Gerakan 30 September (selanjtnya disebut sebagai G-30-S). Dalam sebuah unjuk kekuatan, ratusan prajurit pendukung G-30-S menduduki lapangan Merdeka (sekarang Monas) di Pusat Kota.
Kesulitan memahami G-30-S antara lain karena gerakan tersebut sudah kalah sebelum kebanyakan orang Indonesia mengetahui keberadaannya. Gerakan 30 September tumbang secepat kemunculannya. Kendati bernapas pendek, G-30-S mempunyai dampak sejarah yang penting. Ia menandai awal berakhirnya masa kepresidenan Sukarno, sekaligus bermulanya masa kekuasaan Suharto. Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Sukarno, sambil melambungkan dirinya ke kepresidenan. Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Suharto secara bertahap, yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak. Kedua belah pihak tidak berani menunjukkan ketidaksetiaan terhadap Presiden.
Jika bagi Presiden Sukarno aksi G-30-S itu sendiri disebutnya sebagai “riak kecil ditengah samudra besar Revolusi (nasional Indonesia),” sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, sedangkan bagi Suharto peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan, yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Sukarno. Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S, dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu. Gerakan 30 September, sebagai titik berangkat rangkaian kejadian berkait kelindan yang bermuara pada pembunuhan massal dan tiga puluh dua tahun kediktatoran, merupakan salah satu di antara kejadian-kejadian penting dalam sejarah Indonesia.

Mahasiswa Mencari Kebenaran Sejarah
            Soe Hok Gie dalam catatan pribadinya yang berjudul Catatan Seorang Demonstran bergumam “sejarah dunia adalah sejarah pemerasan. Apakah tanpa pemerasan sejarah tidak ada? Apakah tanpa kesedihan, tanpa pengkhiantan, sejarah tidak akan lahir?”. Tiap tahunnya kita sebagai rakyat Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila, tanpa kita tahu apa penyebab kesaktian pancasila diperingati itu sebenarnya. Kebenaran serta pelurusan sejarah memang sangat di perlukan untuk saat ini. Apakah sejarah akan selamanya seperti produk-produk rezim diktator Suharto. Dimana propaganda dan teror sudah merasuk dalam kerangka berfikir masyarakat Indonesia. Apakah kita sebagai masyarakat Indonesia berusaha mencari titik kebenaran dalam sejarah masa lalu yang kelam itu.
            Ya, sebagai mahasiswa Indonesia yang bersumpah bahwa “kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan, kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung keadilan, dan kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan”. Menjadi landasan mahasiswa untuk membuka kesadaran sejarah yang sebenar-benarnya. Lewat mimbar-mimbar bebas, diskusi publik, bedah film, bedah buku, bedah tokoh, seminar-seminar, serta workshop-workshop targetan menuju kesadaran sejarah akan bisa kita wujudkan.
*Penulis adalah mahasiswa aktif UMS
Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN)
Dan aktif bergiat di Rumah Pena Merah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar