Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Kondisi dan situasi masyarakat
Indonesia yang beranekaragam ras, suku, budaya dan agama, tidak menutup
kemungkinan bagi rakyat Indonesia harus mempunyai sifat dan sikap saling
menghargai dan saling menghormati antar sesama manusia. Harapan besar pada
kehidupan yang berkeamanan dan berkenyamanan dapat diraih. Hal itu bisa
terwujud jika pikiran dan perbuatan yang saling toleran dan penghargaan
terhadap perbedaan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Perbedaan yang kompleks inilah
memanggil mahasiswa untuk beraktualisasi didalam masyarakat yang multikultural
dan multi-agama. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan di masyarakat dituntut.
Dimana hal yang serupa untuk menjadi calon pemimpin dan penggerak di
masyarakat, indikator pencapaiannya harus diperhatikan, selain saling
menghargai dan menghormati antar sesama. Hal yang harus diperhatikan lainnya
adalah kompeten, bervisi, menghargai yang lain, menghargai diri sendiri,
melihat berbagai sisi (out of the box),
melakukan aksi dan memahami.
Fenomena sosial yang terjadi
akhir-akhir ini antar umat beragama, yang membuat resah dan gelisah warga
negara yang memiliki keyakinan beragama di Indonesia. Dimana penyerangan
terhadap umat beragama Katholik, yang sedang beribadah di Sleman Yogyakarta,
pekan lalu, adalah bukti kesekian kali bahwa intoleransi dan militansi itu
ibarat kanker. Dan di situlah mahasiswa dituntut untuk cerdas dan teliti dalam
melihat konflik antar umat beragama. Bukan sebagai saksi, mediator, hakim, atau
penyedia (fasilitatif resolusi konflik) melainkan sebagai pengajar yang masih
banyak belajar dalam multikulturalisme Indonesia.
Menurut laporan The Wahid Institute praktik intoleransi sepanjang 2013 terhadap
kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, Kristen dan mereka yang dituduh
mengajarkan aliran sesat ada 245 kasus. Artinya hampir setiap hari kelompok
minoritas diserang.
Padahal kalau kita mengingat-ingat
kembali pesan K.H Agus Salim yaitu yang ditulis dalam artikel yang berjudul Kementerian Agama dalam Republik Indonesia,
yaitu yang berbunyi “Sebab undang-undang
dasar kita, sebagai juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai
adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, sekedar
dengan batas, yang tersebut tadi itu, yaitu asal jangan melanggar hak-hak
pergaulan dan orang masing-masing, jangan melanggar adab kesopanan ramai,
tertib, keamanan dan damai.
Jelas dan tegas sekali bukan apa yang
sudah dipesankan K.H Agus Salim kepada kita semua tersebut bahwa bukan hanya
hak untuk beragama yang berbeda, tetapi hak untuk menganut paham yang berpaham
atheisme dan politheisme pun tetap di akui sebagai masyarakat Indonesia, dimana
harus kita akui bahwa masyarakat Indonesia mempunyai banyak agama, bahkan
sebelum datangnya agama-agama dunia, masyarakat Indonesia sudah memiliki
keyakinan terhadap Tuhan melalui agama yang dibangun atas dasar persepsi
masing-masing lokus kedaerahan.
Melihat masyarakat Indonesia yang
multi agama, keyakinan beragama seringkali diartikan secara dangkal.
Seakan-akan hak itu hanyalah hak pengikut agama mayoritas atau hak akan sebuah
kebenaran. Kedangkalan itu hanya akan terkait pada istilah otoritas kebenaran
beragama. Padahal dalam konteks beragama dengan kehidupan antar sesame manusia,
yang paling penting adalah bagaimana pembangunan sumber daya manusianya serta
pembangunan agama itu sendiri baik secara kelembagaan (agama sebagai fungsi
legitimasi), perkaderan, pemahaman dan pemikiran yang kreatif (agama sebagai
fungsi kritik).
Hak dasar orang untuk kebebasan
beragama mengandaikan hak orang tersebut untuk menghayati, menangkap pesan, dan
pada gilirannya, memperbaharui pemahaman agamanya. Karena orang beragama itu
selain dengan pengalaman juga dengan pemahaman, kedua-duanya itu berdampak pada
tingkat kesadaran orang beragama. Oleh sebab itu kenapa tidak ada paksaan dalam
beragama.
Kasus pembaruan pemikiran yang
dilakukan oleh Nurcholish Madjid di awal tahun 70-an, serta kasus buku harian
Ahmad Wahib yang berjudul Pergolakan
Pemikiran Islam di awal 80-an. Mencerminkan kegelisahan beliau bahwa
beragama itu harusnya dengan pengalaman dan pemahaman yang rasional.
Pada dasarnya setiap orang atau
kelompok berhak mengkomunikasikan kebenaran yang dicapainya. Sebab itu buah kreativitas.
Dan tanpa kreativitas, agama akan mandul dan irrelevant. Namun ironisnya
kekuatan kreativitas itu seringkali dihambat atau bahkan ditumpas oleh kalangan
keagamaan yang lain. Jangankan dengan kekuatan kreativitas yang rasional,
perbedaan keyakinan saja bisa saling menghina, menghasut dan menyerang.
Tugas Mahasiswa
Tugas mahasiswa ketika melihat
fenomena yang menerpa tubuh garuda Indonesia dalam bingkai kebhinekaan tunggal
ini adalah bagaimana posisi mahasiswa yang strategis tidak larut dalam euphoria
semata, entah atas nama apapun. Melainkan bagaimana dengan jeli melihat
kepentingan-kepentingan dibalik itu. Terlebih jika melihat mahasiswa selaku
calon pemimpin masa depan, maka kepemimpinan yang otentik, kepemimpinan bagi
semua, kepemimpinan yang menghibur dan tentunya kepemimpinan dengan hati.
Dan selaku pengajar yang tidak lelah
untuk belajar, mahasiswa harus bisa bagaimana mencegah agar tidak terjadi
konflik yang bersifat destruktif. Pencegahan itu dapat dilakukan dengan cara
melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif dengan menggunakan media
pengajaran dan edukasi untuk memberikan transformasi nilai-nilai kedamaian .
Serta sebagai pejuang perdamaian, mahasiswa harus mengetahui dan memahami akar
penyebab konflik dan menciptakan pondasi bagi pengelolaan perbedaan yang
kooperatif. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS
Pendidikan Kewarganegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar