Selasa, 01 Juli 2014

Mahasiswa dan Toleransi Antar Umat Beragama

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
          Kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang beranekaragam ras, suku, budaya dan agama, tidak menutup kemungkinan bagi rakyat Indonesia harus mempunyai sifat dan sikap saling menghargai dan saling menghormati antar sesama manusia. Harapan besar pada kehidupan yang berkeamanan dan berkenyamanan dapat diraih. Hal itu bisa terwujud jika pikiran dan perbuatan yang saling toleran dan penghargaan terhadap perbedaan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
          Perbedaan yang kompleks inilah memanggil mahasiswa untuk beraktualisasi didalam masyarakat yang multikultural dan multi-agama. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan di masyarakat dituntut. Dimana hal yang serupa untuk menjadi calon pemimpin dan penggerak di masyarakat, indikator pencapaiannya harus diperhatikan, selain saling menghargai dan menghormati antar sesama. Hal yang harus diperhatikan lainnya adalah kompeten, bervisi, menghargai yang lain, menghargai diri sendiri, melihat berbagai sisi (out of the box), melakukan aksi dan memahami.
          Fenomena sosial yang terjadi akhir-akhir ini antar umat beragama, yang membuat resah dan gelisah warga negara yang memiliki keyakinan beragama di Indonesia. Dimana penyerangan terhadap umat beragama Katholik, yang sedang beribadah di Sleman Yogyakarta, pekan lalu, adalah bukti kesekian kali bahwa intoleransi dan militansi itu ibarat kanker. Dan di situlah mahasiswa dituntut untuk cerdas dan teliti dalam melihat konflik antar umat beragama. Bukan sebagai saksi, mediator, hakim, atau penyedia (fasilitatif resolusi konflik) melainkan sebagai pengajar yang masih banyak belajar dalam multikulturalisme Indonesia.
          Menurut laporan The Wahid Institute praktik intoleransi sepanjang 2013 terhadap kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, Kristen dan mereka yang dituduh mengajarkan aliran sesat ada 245 kasus. Artinya hampir setiap hari kelompok minoritas diserang.
          Padahal kalau kita mengingat-ingat kembali pesan K.H Agus Salim yaitu yang ditulis dalam artikel yang berjudul Kementerian Agama dalam Republik Indonesia, yaitu yang berbunyi “Sebab undang-undang dasar kita, sebagai juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, sekedar dengan batas, yang tersebut tadi itu, yaitu asal jangan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, jangan melanggar adab kesopanan ramai, tertib, keamanan dan damai.
          Jelas dan tegas sekali bukan apa yang sudah dipesankan K.H Agus Salim kepada kita semua tersebut bahwa bukan hanya hak untuk beragama yang berbeda, tetapi hak untuk menganut paham yang berpaham atheisme dan politheisme pun tetap di akui sebagai masyarakat Indonesia, dimana harus kita akui bahwa masyarakat Indonesia mempunyai banyak agama, bahkan sebelum datangnya agama-agama dunia, masyarakat Indonesia sudah memiliki keyakinan terhadap Tuhan melalui agama yang dibangun atas dasar persepsi masing-masing lokus kedaerahan.
          Melihat masyarakat Indonesia yang multi agama, keyakinan beragama seringkali diartikan secara dangkal. Seakan-akan hak itu hanyalah hak pengikut agama mayoritas atau hak akan sebuah kebenaran. Kedangkalan itu hanya akan terkait pada istilah otoritas kebenaran beragama. Padahal dalam konteks beragama dengan kehidupan antar sesame manusia, yang paling penting adalah bagaimana pembangunan sumber daya manusianya serta pembangunan agama itu sendiri baik secara kelembagaan (agama sebagai fungsi legitimasi), perkaderan, pemahaman dan pemikiran yang kreatif (agama sebagai fungsi kritik).
          Hak dasar orang untuk kebebasan beragama mengandaikan hak orang tersebut untuk menghayati, menangkap pesan, dan pada gilirannya, memperbaharui pemahaman agamanya. Karena orang beragama itu selain dengan pengalaman juga dengan pemahaman, kedua-duanya itu berdampak pada tingkat kesadaran orang beragama. Oleh sebab itu kenapa tidak ada paksaan dalam beragama.
          Kasus pembaruan pemikiran yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid di awal tahun 70-an, serta kasus buku harian Ahmad Wahib yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam di awal 80-an. Mencerminkan kegelisahan beliau bahwa beragama itu harusnya dengan pengalaman dan pemahaman yang rasional.
          Pada dasarnya setiap orang atau kelompok berhak mengkomunikasikan kebenaran yang dicapainya. Sebab itu buah kreativitas. Dan tanpa kreativitas, agama akan mandul dan irrelevant. Namun ironisnya kekuatan kreativitas itu seringkali dihambat atau bahkan ditumpas oleh kalangan keagamaan yang lain. Jangankan dengan kekuatan kreativitas yang rasional, perbedaan keyakinan saja bisa saling menghina, menghasut dan menyerang.
Tugas Mahasiswa
          Tugas mahasiswa ketika melihat fenomena yang menerpa tubuh garuda Indonesia dalam bingkai kebhinekaan tunggal ini adalah bagaimana posisi mahasiswa yang strategis tidak larut dalam euphoria semata, entah atas nama apapun. Melainkan bagaimana dengan jeli melihat kepentingan-kepentingan dibalik itu. Terlebih jika melihat mahasiswa selaku calon pemimpin masa depan, maka kepemimpinan yang otentik, kepemimpinan bagi semua, kepemimpinan yang menghibur dan tentunya kepemimpinan dengan hati.  
          Dan selaku pengajar yang tidak lelah untuk belajar, mahasiswa harus bisa bagaimana mencegah agar tidak terjadi konflik yang bersifat destruktif. Pencegahan itu dapat dilakukan dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif dengan menggunakan media pengajaran dan edukasi untuk memberikan transformasi nilai-nilai kedamaian . Serta sebagai pejuang perdamaian, mahasiswa harus mengetahui dan memahami akar penyebab konflik dan menciptakan pondasi bagi pengelolaan perbedaan yang kooperatif. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS

Pendidikan Kewarganegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar