Senin, 21 April 2014

Bagaimana Seharusnya Mahasiswa Berfikir?


Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Persoalan bangsa kita hari ini tidak menentu. Momentum yang bisa dijadikan sebagai alat pemersatu persatuan dan kesatuan bangsa, justru jauh dari persatuan dan kesatuan itu sendiri. Konflik yang dilestarikan dan ketidakpercayaan terhadap masing-masing individu warga negara menjadi salah satu faktor penyebab kenapa persoalan bangsa sulit untuk dipecahkan. Selain daripada itu cara berfikir manusia Indonesia yang sulit untuk dinalar dan dirasionalkan, menjadi faktor penyebab kenapa kehidupan berbangsa dan bernegara ini stagnan, tanpa perubahan-tanpa kemajuan. Bisa kita lihat fase perkembangan manusia Indonesia sendiri, tidak bisa terlepas dari unsur-unsur masyarakat atau akar kebudayaan masyarakat Indonesia. Perihal kemajuan dan keseriusan membenahipun akhirnya jauh dari harapan. Pembenahan pola fikir adalah yang harus dijadikan sebagai agenda pra-perubahan bangsa.
            Dan yang harus memulai adalah golongan terdidik, adalah mahasiswa yang harus menjadi garda depan perubahan pola fikir manusia Indonesia. Kampus mempunyai filsafat pergerakannya tersendiri. Tak salah jika dalam konstelasi yang terjadi di negeri ini. Kampus menjadi sorotan utama dalam penyelesaian persolan bangsa. Bisa kita lihat pada saat runtuhnya Sukarno dari rezim orde lama; pembacaan keruntuhan rezim sudah dilakukan oleh golongan terdidik dari kampus jauh-jauh hari sebelum militer dan pihak oposisi bergerak pada era -66 an, runtuhnya rezim orde baru juga tidak jauh seperti rezim sebelumnya; mahasiswa bergabung dari segala lini dengan analisa yang berbeda tetapi tetap satu kesatuan dalam gerakan mampu meruntuhkan dengan cara ekstra-parlementer rezim korup tersebut.
Lantas apa yang kita tunggu saat ini, rezim sudah tidak dimungkinkan lagi untuk dipertahankan, pergantian kepemimpinan nasionalpun juga hanya rutinitas yang kosong, tanpa esensifitas berdemokrasi yang baik, bukannya menyelesaikan persoalan-persoalan yang sudah menumpuk banyak, melainkan menambah persoalan yang baru adalah hal yang wajar dan paling realistis dilakukan oleh pemerintahan baru. Biaya hutang negara yang semakin bertambah, jumlah kemiskinan yang bertambah membludak, dan budaya korupsi yang menjadi kewajiban bagia setiap pejabat. Berikut itu semua adalah akibat dari pola fikir pemimpin negara yang irrasional. Sepatutnya kita tidak mempercayai negara, alih-alih negara mampu untuk memberikan kehidupan ini sejahtera melalui landasan konstitusionil, penyengsaraan justru merajelala. Ironis.
            Kalau tidak kita mulai dari awal pembentukan pemimpin negara dimasa depan. Mustahil kita mempunyai pemimpin yang bisa diandalkan oleh massa rakyat. Penyusahan-penyusahan justru menjadi bertambah akut. Berawal dari mahasiswa sebagai golongan terdidik yang dipersiapkan untuk negeri ini adalah jawabannya. Kampus sebagai ladangnya ideologi. Kampus sebagai wadah pertukaran ide-ide dan gagasan berfikir harusnya mampu mengembangkan pola berfikir mahasiswa yang sistematis-konstruktif untuk mewujudkan perubahan. Perlu kita selidiki memang bagaimana seharusnya pola berfikir mahasiswa dengan menggunakan pendekatan tipe ideal. Agar sekali lagi kita dalam menetukan kriteria generasi pemimpin negeri ini tidak salah kaprah. Tepat dan sesuai dalam memandang kondisi dan kebutuhan kekinian adalah harapan kita semua yang mendambakan pemimpin negara yang memasyarakat dan sanggup menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
            Karakteristik berfikir yang falsafati bagi pemimpin patut kita jadikan sebagai pertimbangan dalam menentukan kriteria pemimpin yang baik. Terlebih menurut Jujun S. Suriasumantri, seorang pembelajar filsafat ilmu di Indonesia, menyebutkan bahwa seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah kebintang-bintang. Dia ingin menetahui hakikat dirinya dalam kemestaan galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah dibawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang ditatapnya.
            Selanjutnya dalam hal pemimpin yang berfikir falsafati harus mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik berfikir falsafati yang pertama yaitu sifat menyeluruh. Maksud dari menyeluruh itu sendiri konteks kepemimpinan adalah seorang pemimpin tidak puas lagi mengenal masyarakat yang dipimpinnya hanya dari segi pandang masyarakat yang homogen. Dia ingin melihat hakikat masyarakat yang dipimpinnya dalam konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih luas. Dia ingin tahu masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, kaitan masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya yang berbeda latar belakang agama, ras, suku, bahasa dan sub-sub budaya lainnya. Dia ingin yakin apakah perbedaan itu semua akan membawa pada kebahagiaan sosial atau tidak.
            Selain daripada itu karakteristik berfikir falsafati yang paling penting juga adalah sifat mendasar. Kontesks sifat mendasar dalam hal kepemimpinan adalah mereka-mereka pemimpin itu tidak percaya begitu saja oleh satu perspektif penyelesaian masalah, melainkan penuh pertimbangan dan banyak analisis. Rasa skeptis itu muncul dari dalam pemimpin jika apa yang ia rasakan sebagai pemimpin serasa mengganjal dalam prosesnya. Pembacaan ulang dan pengamatan secara lebih rinci untuk menemukan titik persoalan yang ada, maka secara tidak langsung dalam penyelesaian pun serasa mudah dan penuh pertimbangan.
            Ciri yang ketiga dari karakteristik berfikir falsafati adalah sifat spekulatif. Maksud dari spekulatif disini adalah bahwa seseorang harus mampu membaca dan menganalisis dengan tajam dan kritis, serta merumuskan pertimbangan-pertimbangan yang matang dalam pengambilan keputusan, agar tidak merugikan atau menguntungkan salah satu pihak. Spekulatif berbeda dengan opportunitas. Pemimpin maupun calon pemimpin yang dibutuhkan oleh massa rakyat adalah yang mempunyai karakteristik yang telah disebutkan diatas.
            Dan mahasiswa sebagai tonggak kepemimpinan masa depan, penerus pemimpin-pemimpin political action bukan political inaction. Wajib memiliki karakteristik berfikir yang falsafati. Supaya dalam melakukan aksi-aksinya nanti sebagai pemimpin tidak salah kaprah. Kenapa para pemimpin-pemimpin kita hari salah kaprah dalam hal memimpin, karena dari awalnya saja sudah keliru dalam berfikir, terlebih tidak dibarengi dengan proses berfikir yang melakukan penalaran dengan hukum logika yang tepat. Jangan salah dalam pengambilan keputusan dan pemutusan kebijakan, rakyat menjadi tumbalnya sebagai hasil cara berfikir yang kurang tepat.
            Sebagai pencetus, pendukung dan penerap ideologi. Mahasiswa selayaknya mempunyai karakteristik yang semacam itu, ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya adalah modal tepat bagi proses pengembangan pemikiran yang falsafati, dampaknya adalah pemikiran-pemikiran yang kritis, rasional dan dapat dipertanggung jawabkan adalah hal yang paling utama. Terlebih kalau kita melihat sendiri bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna. Mempunyai akal dan pikiran serta hati. Apakah masih kurang untuk memikirkan bagaimana memanusiakan manusia. Saya pikir tidak. Terlebih mahasiswa yang berkecimpung didunia pendidikan, seharusnya jauh berada didepan untuk memimpin perubahan. Diawali dengan merumuskan kerangka berfikir mahasiswa saya yakin perubahan akan berjalan. Mungkin begitu.
*penulis adalah mahasiswa aktif UMS
Jurusan FKIP Pendidikan Kewargenagaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar