Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Persoalan bangsa kita hari ini tidak
menentu. Momentum yang bisa dijadikan sebagai alat pemersatu persatuan dan
kesatuan bangsa, justru jauh dari persatuan dan kesatuan itu sendiri. Konflik
yang dilestarikan dan ketidakpercayaan terhadap masing-masing individu warga
negara menjadi salah satu faktor penyebab kenapa persoalan bangsa sulit untuk
dipecahkan. Selain daripada itu cara berfikir manusia Indonesia yang sulit
untuk dinalar dan dirasionalkan, menjadi faktor penyebab kenapa kehidupan
berbangsa dan bernegara ini stagnan, tanpa perubahan-tanpa kemajuan. Bisa kita
lihat fase perkembangan manusia Indonesia sendiri, tidak bisa terlepas dari
unsur-unsur masyarakat atau akar kebudayaan masyarakat Indonesia. Perihal
kemajuan dan keseriusan membenahipun akhirnya jauh dari harapan. Pembenahan
pola fikir adalah yang harus dijadikan sebagai agenda pra-perubahan bangsa.
Dan yang harus memulai adalah
golongan terdidik, adalah mahasiswa yang harus menjadi garda depan perubahan
pola fikir manusia Indonesia. Kampus mempunyai filsafat pergerakannya
tersendiri. Tak salah jika dalam konstelasi yang terjadi di negeri ini. Kampus menjadi
sorotan utama dalam penyelesaian persolan bangsa. Bisa kita lihat pada saat
runtuhnya Sukarno dari rezim orde lama; pembacaan keruntuhan rezim sudah
dilakukan oleh golongan terdidik dari kampus jauh-jauh hari sebelum militer dan
pihak oposisi bergerak pada era -66 an, runtuhnya rezim orde baru juga tidak
jauh seperti rezim sebelumnya; mahasiswa bergabung dari segala lini dengan
analisa yang berbeda tetapi tetap satu kesatuan dalam gerakan mampu meruntuhkan
dengan cara ekstra-parlementer rezim korup tersebut.
Lantas
apa yang kita tunggu saat ini, rezim sudah tidak dimungkinkan lagi untuk
dipertahankan, pergantian kepemimpinan nasionalpun juga hanya rutinitas yang
kosong, tanpa esensifitas berdemokrasi yang baik, bukannya menyelesaikan
persoalan-persoalan yang sudah menumpuk banyak, melainkan menambah persoalan yang
baru adalah hal yang wajar dan paling realistis dilakukan oleh pemerintahan
baru. Biaya hutang negara yang semakin bertambah, jumlah kemiskinan yang
bertambah membludak, dan budaya korupsi yang menjadi kewajiban bagia setiap
pejabat. Berikut itu semua adalah akibat dari pola fikir pemimpin negara yang
irrasional. Sepatutnya kita tidak mempercayai negara, alih-alih negara mampu
untuk memberikan kehidupan ini sejahtera melalui landasan konstitusionil,
penyengsaraan justru merajelala. Ironis.
Kalau tidak kita mulai dari awal
pembentukan pemimpin negara dimasa depan. Mustahil kita mempunyai pemimpin yang
bisa diandalkan oleh massa rakyat. Penyusahan-penyusahan justru menjadi
bertambah akut. Berawal dari mahasiswa sebagai golongan terdidik yang
dipersiapkan untuk negeri ini adalah jawabannya. Kampus sebagai ladangnya
ideologi. Kampus sebagai wadah pertukaran ide-ide dan gagasan berfikir harusnya
mampu mengembangkan pola berfikir mahasiswa yang sistematis-konstruktif untuk
mewujudkan perubahan. Perlu kita selidiki memang bagaimana seharusnya pola
berfikir mahasiswa dengan menggunakan pendekatan tipe ideal. Agar sekali lagi
kita dalam menetukan kriteria generasi pemimpin negeri ini tidak salah kaprah.
Tepat dan sesuai dalam memandang kondisi dan kebutuhan kekinian adalah harapan
kita semua yang mendambakan pemimpin negara yang memasyarakat dan sanggup
menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.
Karakteristik berfikir yang
falsafati bagi pemimpin patut kita jadikan sebagai pertimbangan dalam
menentukan kriteria pemimpin yang baik. Terlebih menurut Jujun S.
Suriasumantri, seorang pembelajar filsafat ilmu di Indonesia, menyebutkan bahwa
seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang
tengadah kebintang-bintang. Dia ingin menetahui hakikat dirinya dalam kemestaan
galaksi. Atau seorang, yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan
lembah dibawahnya. Dia ingin menyimak kehadirannya dengan kesemestaan yang
ditatapnya.
Selanjutnya dalam hal pemimpin yang
berfikir falsafati harus mempunyai beberapa karakteristik. Karakteristik
berfikir falsafati yang pertama yaitu sifat menyeluruh. Maksud dari menyeluruh
itu sendiri konteks kepemimpinan adalah seorang pemimpin tidak puas lagi
mengenal masyarakat yang dipimpinnya hanya dari segi pandang masyarakat yang
homogen. Dia ingin melihat hakikat masyarakat yang dipimpinnya dalam konstelasi
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih luas. Dia ingin tahu
masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat itu sendiri, kaitan masyarakat
satu dengan masyarakat yang lainnya yang berbeda latar belakang agama, ras,
suku, bahasa dan sub-sub budaya lainnya. Dia ingin yakin apakah perbedaan itu
semua akan membawa pada kebahagiaan sosial atau tidak.
Selain daripada itu karakteristik
berfikir falsafati yang paling penting juga adalah sifat mendasar. Kontesks
sifat mendasar dalam hal kepemimpinan adalah mereka-mereka pemimpin itu tidak
percaya begitu saja oleh satu perspektif penyelesaian masalah, melainkan penuh
pertimbangan dan banyak analisis. Rasa skeptis itu muncul dari dalam pemimpin
jika apa yang ia rasakan sebagai pemimpin serasa mengganjal dalam prosesnya.
Pembacaan ulang dan pengamatan secara lebih rinci untuk menemukan titik
persoalan yang ada, maka secara tidak langsung dalam penyelesaian pun serasa
mudah dan penuh pertimbangan.
Ciri yang ketiga dari karakteristik
berfikir falsafati adalah sifat spekulatif. Maksud dari spekulatif disini
adalah bahwa seseorang harus mampu membaca dan menganalisis dengan tajam dan
kritis, serta merumuskan pertimbangan-pertimbangan yang matang dalam
pengambilan keputusan, agar tidak merugikan atau menguntungkan salah satu
pihak. Spekulatif berbeda dengan opportunitas. Pemimpin maupun calon pemimpin
yang dibutuhkan oleh massa rakyat adalah yang mempunyai karakteristik yang telah
disebutkan diatas.
Dan mahasiswa sebagai tonggak
kepemimpinan masa depan, penerus pemimpin-pemimpin political action bukan
political inaction. Wajib memiliki karakteristik berfikir yang falsafati.
Supaya dalam melakukan aksi-aksinya nanti sebagai pemimpin tidak salah kaprah.
Kenapa para pemimpin-pemimpin kita hari salah kaprah dalam hal memimpin, karena
dari awalnya saja sudah keliru dalam berfikir, terlebih tidak dibarengi dengan
proses berfikir yang melakukan penalaran dengan hukum logika yang tepat. Jangan
salah dalam pengambilan keputusan dan pemutusan kebijakan, rakyat menjadi
tumbalnya sebagai hasil cara berfikir yang kurang tepat.
Sebagai pencetus, pendukung dan
penerap ideologi. Mahasiswa selayaknya mempunyai karakteristik yang semacam
itu, ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya adalah modal tepat bagi proses
pengembangan pemikiran yang falsafati, dampaknya adalah pemikiran-pemikiran yang
kritis, rasional dan dapat dipertanggung jawabkan adalah hal yang paling utama.
Terlebih kalau kita melihat sendiri bahwa manusia adalah makhluk yang paling
sempurna. Mempunyai akal dan pikiran serta hati. Apakah masih kurang untuk
memikirkan bagaimana memanusiakan manusia. Saya pikir tidak. Terlebih mahasiswa
yang berkecimpung didunia pendidikan, seharusnya jauh berada didepan untuk
memimpin perubahan. Diawali dengan merumuskan kerangka berfikir mahasiswa saya
yakin perubahan akan berjalan. Mungkin begitu.
*penulis
adalah mahasiswa aktif UMS
Jurusan
FKIP Pendidikan Kewargenagaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar