(Persembahan Kepada Ibu Supriyati, Ibu Hartini dan Anisa Irmayanti)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
“Janganlah kami coba dengan paksa
mengubah adat kebiasaan negeri kami ini; bangsa kami yang masih seperti
anak-anak itu, akan mendapat yang dikehendakinya, yang mengkilap
bercemerlangan, kemerdekaan perempuan tak boleh tidak akan dating juga: pasti
datang juga, hanyalah tiada dipercepat datangnya.”
(Surat kepada Nyonya Van Kol. 1
Agustus 1903, Habis Gelap Terbitlah Terang)
Kartini adalah salah
satu sosok perempuan Indonesia yang tangguh. Dilahirkan di Jepara, 21 April
1879 beliau mengalami kehidupan sebagai perempuan yang mengalami diskriminasi
yang dilakukan oleh bangsanya sendiri, terutama bangsa laki-laki. Era Kartini
abad 18 dan 19 adalah abad kegelapan bagi perempuan. Dimana pada saat itu
perempuan Jawa cuma wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Anak
gadis itu dididik supaya menjadi budak orang laki-laki. Pengajaran dan
kecerdasan dijauhkan daripadanya. Kebebasan tiada padanya.
Walaupun Kartini adalah salah satu
keturunan bangsawan yang terdidik. Bapaknya adalah salah satu dari empat bupati
di seluruh pulau Jawa dan Madura yang pandai menulis dan bercakap-cakap dalam
bahasa Belanda, ialah bupati Jepara (RM. Adipati Ario Sosroningrat). Hal itu
tidak bisa membuat diri Kartini sebagai anak perempuan terangkat prestige
sosialnya. Karena masih kolotnya masyarakat Jawa pada saat itu. Walau sempat
mengenyam pendidikan sekolah. Toh, akhirnya pada umur 12 tahun Kartini dipaksa
untuk menikah.
Kartini adalah orang yang suka belajar,
dan dia masih merasa banyak pengetahuannya yang dapat dicari dan dipelajari.
Suatu kejadian yang membuat Kartini sadar akan hak kaum perempuan yang sampai
membekas dihati sanubarinya sehingga mengawali perjuangannya untuk memerdekakan
kaum perempuan. Pada suatu ketika disekolah, diwaktu berhenti (istirahat),
kawannya sedang asyik belajar bahasa Perancis, karena hendak belajar di negeri
Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di sekolah guru. Kawannya bertanya pada
Kartini, hendak kemana dia setelah menamatkan sekolahnya. Kartini bingung untuk
menjawab, hendak kemana saya setelah lulus.
Setelah itu Kartini pulang kerumah
dan ingin menanyakan kepada bapaknya. Kebetulan ada pamannya bertandang
kerumahnya. Mendengar pertanyaan dari sang Kartini muda. Pamannya yang menjawab
dengan spontan “apalagi, jika tidak
menjadi Raden Ayu.”, Kartini girang sembari bingung apa maksud dari “Raden
Ayu”. Karena Kartini orangnya suka belajar dan mengamati kondisi dilingkungan
sekitarnya. Kartini baru sadar bahwa nasib dari seorang “Raden Ayu” tidak
sesuai dengan kegirangannya. Maka setelah itu timbullah suatu semangat dalam
hati sanubarinya tidak suka menjadi Raden Ayu, tidak suka nikah dengan orang
yang belum dikenalnya.
Nasib tak berpihak pada Kartini yang
malang. Terbukti, setelah lulus Kartini tidak diperbolehkan untuk meneruskan
pendidikannya ke negeri Belanda, demi menggapai cita-citanya menjadi seorang
guru. Al-hasil Kartini dijodohkan dengan orang yang belum dikenalnya. Tetapi
semangat Kartini tidak surut begitu saja, membaca buku menjadi nafsu baginya. Baru
saja habis pekerjaannya, dengan segera dia pergi asyik membaca. Apa saja
dibacanya mengerti atau tidak, tidak dipedulikannya, tidak menjadikannya putus
asa dan berhenti ditengah jalan. Jika mengerti diulangi sekali lagi, jika belum
juga, ditigakalikanya.
Sampai pada tanggal 8 Agustus 1900
Kartini berkenalan dengan Mr. Abendanon yang berkunjung ke Jepara beserta
istrinya. Sejak saat itu keluarga Abendanon yang menjadi pembimbing Kartini
dalam usahanya meneruskan pendidikan dan menggapai cita-citanya menjadi guru.
Lewat surat-surat yang dikirimkannya ke Nyonya Abendanon kemudian dibukukan
oleh Balai Pustaka yang berjudul Habis
Gelap, Terbitlah Terang adalah bukti nyata semangat Kartini untuk
memperbaiki tatanan masyarakat yang mendiskriminasikan peran perempuan sebagai
golongan yang lemah dan selalu patuh pada kaum laki-laki. Walaupun cita-citanya
belum terealisasikan, karena meninggal dunia diusia yang muda usia 25 tahun,
akibat dari melahirkan anak pertamanya. Setidaknya peranan yang dilakukan
Kartini itu menjadi pesan perjuangan bagi perempuan masa kini dalam membela
hak-hak kaum perempuan.
Kesetaraan Gender
Diruang demokrasi yang terbuka lebar
ini seharusnya kesetaraan gender, dimana persamaan hak dan kewajiban kaum
perempuan dan laki-laki dalam konstruksi masyarakat menjadi prioritas utama
dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan justru tindakan diskriminasi
terhadap perempuan yang dipelihara. Alih-alih Negara sudah menjamin hak-hak
kaum perempuan melalui regulasi yang telah ditetapkan. Toh, buktinya tindakan
kekerasan terhadap perempuan masih ada disekitar kita.
Padahal kalau kita melihat sejarah
pergerakan nasional Indonesia, Sukarno presiden pertama Indonesia yang
menganugerahi Kartini sebagai pahlawan nasional dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 108 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964 dan menetapkan
hari lahir Kartini tanggal 22 April sebagai hari bersejarah. Menjunjung tinggi
harkat dan martabat kaum perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Bisa kita
lihat tulisan-tulisannya tentang perempuan; Sarinah,
yang menceritakan tentang perempuan yang mengasuh Sukarno waktu kecil dan
bagaimana perjuangannya melawan adat-kebiasaan masyarakat setempat. Dan Wanita Bergerak, yang menceritakan
tentang pemaparan Sukarno dalam mengisi kursus wanita progresif di kota
Yogyakarta. Semua itu Sukarno dedikasikan untuk perempuan-perempuan Indonesia
supaya dalam perjuangan melawan kolionialisme bersama-sama dengan kaum
laki-laki.
Musim politik (PILEG 2014) sudah
berlalu, tinggal bagaimana kita menunggu hasilnya sembari menunggu pesta
demokrasi yang lebih besar (PILPRES 2014), terlepas dari komunikasi politik
yang dilakukan oleh elite-elite partai politik dalam mensukseskan PILPRES 2014.
Mohon diperhatikan untuk mementingkan hak-hak kaum perempuan, entah itu dalam
fungsinya sebagai pelayan rakyat dalam membuat keputusan-keputusan atau
langsung terjun dengan masyarakat ketika menghadapi kasus yang mendera
perempuan. Ingatlah, bahwa surga berada ditelapak kaki ibu. Demikian.
*Penulis adalah mahasiswa aktif UMS
FKIP Pendidikan Kewarganegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar