Rabu, 23 April 2014

Kartini dan Pesan Perjuangan Perempuan


(Persembahan Kepada Ibu Supriyati, Ibu Hartini dan Anisa Irmayanti) 
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
“Janganlah kami coba dengan paksa mengubah adat kebiasaan negeri kami ini; bangsa kami yang masih seperti anak-anak itu, akan mendapat yang dikehendakinya, yang mengkilap bercemerlangan, kemerdekaan perempuan tak boleh tidak akan dating juga: pasti datang juga, hanyalah tiada dipercepat datangnya.”
(Surat kepada Nyonya Van Kol. 1 Agustus 1903, Habis Gelap Terbitlah Terang)
          Kartini adalah salah satu sosok perempuan Indonesia yang tangguh. Dilahirkan di Jepara, 21 April 1879 beliau mengalami kehidupan sebagai perempuan yang mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh bangsanya sendiri, terutama bangsa laki-laki. Era Kartini abad 18 dan 19 adalah abad kegelapan bagi perempuan. Dimana pada saat itu perempuan Jawa cuma wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya. Anak gadis itu dididik supaya menjadi budak orang laki-laki. Pengajaran dan kecerdasan dijauhkan daripadanya. Kebebasan tiada padanya.
            Walaupun Kartini adalah salah satu keturunan bangsawan yang terdidik. Bapaknya adalah salah satu dari empat bupati di seluruh pulau Jawa dan Madura yang pandai menulis dan bercakap-cakap dalam bahasa Belanda, ialah bupati Jepara (RM. Adipati Ario Sosroningrat). Hal itu tidak bisa membuat diri Kartini sebagai anak perempuan terangkat prestige sosialnya. Karena masih kolotnya masyarakat Jawa pada saat itu. Walau sempat mengenyam pendidikan sekolah. Toh, akhirnya pada umur 12 tahun Kartini dipaksa untuk menikah.
            Kartini adalah orang yang suka belajar, dan dia masih merasa banyak pengetahuannya yang dapat dicari dan dipelajari. Suatu kejadian yang membuat Kartini sadar akan hak kaum perempuan yang sampai membekas dihati sanubarinya sehingga mengawali perjuangannya untuk memerdekakan kaum perempuan. Pada suatu ketika disekolah, diwaktu berhenti (istirahat), kawannya sedang asyik belajar bahasa Perancis, karena hendak belajar di negeri Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di sekolah guru. Kawannya bertanya pada Kartini, hendak kemana dia setelah menamatkan sekolahnya. Kartini bingung untuk menjawab, hendak kemana saya setelah lulus.
            Setelah itu Kartini pulang kerumah dan ingin menanyakan kepada bapaknya. Kebetulan ada pamannya bertandang kerumahnya. Mendengar pertanyaan dari sang Kartini muda. Pamannya yang menjawab dengan spontan “apalagi, jika tidak menjadi Raden Ayu.”, Kartini girang sembari bingung apa maksud dari “Raden Ayu”. Karena Kartini orangnya suka belajar dan mengamati kondisi dilingkungan sekitarnya. Kartini baru sadar bahwa nasib dari seorang “Raden Ayu” tidak sesuai dengan kegirangannya. Maka setelah itu timbullah suatu semangat dalam hati sanubarinya tidak suka menjadi Raden Ayu, tidak suka nikah dengan orang yang belum dikenalnya.
            Nasib tak berpihak pada Kartini yang malang. Terbukti, setelah lulus Kartini tidak diperbolehkan untuk meneruskan pendidikannya ke negeri Belanda, demi menggapai cita-citanya menjadi seorang guru. Al-hasil Kartini dijodohkan dengan orang yang belum dikenalnya. Tetapi semangat Kartini tidak surut begitu saja, membaca buku menjadi nafsu baginya. Baru saja habis pekerjaannya, dengan segera dia pergi asyik membaca. Apa saja dibacanya mengerti atau tidak, tidak dipedulikannya, tidak menjadikannya putus asa dan berhenti ditengah jalan. Jika mengerti diulangi sekali lagi, jika belum juga, ditigakalikanya.
            Sampai pada tanggal 8 Agustus 1900 Kartini berkenalan dengan Mr. Abendanon yang berkunjung ke Jepara beserta istrinya. Sejak saat itu keluarga Abendanon yang menjadi pembimbing Kartini dalam usahanya meneruskan pendidikan dan menggapai cita-citanya menjadi guru. Lewat surat-surat yang dikirimkannya ke Nyonya Abendanon kemudian dibukukan oleh Balai Pustaka yang berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang adalah bukti nyata semangat Kartini untuk memperbaiki tatanan masyarakat yang mendiskriminasikan peran perempuan sebagai golongan yang lemah dan selalu patuh pada kaum laki-laki. Walaupun cita-citanya belum terealisasikan, karena meninggal dunia diusia yang muda usia 25 tahun, akibat dari melahirkan anak pertamanya. Setidaknya peranan yang dilakukan Kartini itu menjadi pesan perjuangan bagi perempuan masa kini dalam membela hak-hak kaum perempuan.
Kesetaraan Gender
            Diruang demokrasi yang terbuka lebar ini seharusnya kesetaraan gender, dimana persamaan hak dan kewajiban kaum perempuan dan laki-laki dalam konstruksi masyarakat menjadi prioritas utama dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan justru tindakan diskriminasi terhadap perempuan yang dipelihara. Alih-alih Negara sudah menjamin hak-hak kaum perempuan melalui regulasi yang telah ditetapkan. Toh, buktinya tindakan kekerasan terhadap perempuan masih ada disekitar kita.
            Padahal kalau kita melihat sejarah pergerakan nasional Indonesia, Sukarno presiden pertama Indonesia yang menganugerahi Kartini sebagai pahlawan nasional dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 108 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964 dan menetapkan hari lahir Kartini tanggal 22 April sebagai hari bersejarah. Menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum perempuan sejajar dengan kaum laki-laki. Bisa kita lihat tulisan-tulisannya tentang perempuan; Sarinah, yang menceritakan tentang perempuan yang mengasuh Sukarno waktu kecil dan bagaimana perjuangannya melawan adat-kebiasaan masyarakat setempat. Dan Wanita Bergerak, yang menceritakan tentang pemaparan Sukarno dalam mengisi kursus wanita progresif di kota Yogyakarta. Semua itu Sukarno dedikasikan untuk perempuan-perempuan Indonesia supaya dalam perjuangan melawan kolionialisme bersama-sama dengan kaum laki-laki.
            Musim politik (PILEG 2014) sudah berlalu, tinggal bagaimana kita menunggu hasilnya sembari menunggu pesta demokrasi yang lebih besar (PILPRES 2014), terlepas dari komunikasi politik yang dilakukan oleh elite-elite partai politik dalam mensukseskan PILPRES 2014. Mohon diperhatikan untuk mementingkan hak-hak kaum perempuan, entah itu dalam fungsinya sebagai pelayan rakyat dalam membuat keputusan-keputusan atau langsung terjun dengan masyarakat ketika menghadapi kasus yang mendera perempuan. Ingatlah, bahwa surga berada ditelapak kaki ibu. Demikian.

*Penulis adalah mahasiswa aktif UMS
FKIP Pendidikan Kewarganegaraan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar