Jumat, 25 April 2014

POLEMIK MIMBAR MAHASISWA SOLOPOS

TAK ADA PKI DI PERPUSTAKAAN
Oleh: Muthimatun Nadhifa*

Partai Komunis Indonesia (PKI) memang pernah mewarnai sejarah Indonesia. Sebagian warga negeri ini menyebutnya sebagai sejarah kelam. Membicarakan PKI berarti menjejaki cerita merah dan terkadang membuat gelisah.
Ada keberpihakan terhadap sekelompok golongan, juga ada kesewenangan-wenangan yang pernah dilakukan. Sejarah tetaplah sejarah yang tetap harus disampaikan dengan jujur kepada generasi selanjutnya.
Kejujuran akan membentuk upaya generasi muda menjadi berpikir sesuai dengan yang dikehendaki, menerima atau menolak, atau juga merefleksikan apa yang pernah terjadi di masa lampau dan membandingkannya dengan kehidupan sekarang.
Tapi, kekuatan politik lebih kuat sehingga demi kekuasaan banyak manipulasi yang memang sengaja dibuat. Keinginan untuk mengekalkan kekuasaan lebih diutamakan daripada kejujuran terhadap bangsa dan sejarah.
Masyarakat sekarang seolah memang dibutakan dan tidak diperkenalkan dengan sejarah Indonesia secara jujur. Ada banyak dusta yang memang disengaja. Buku-buku terus dihilangkan dan pencegahan-pencegahan masuknya buku ke perpustakaan terus dilakukan dan kebijakan ini dituruti dan dipatuhi dengan sengaja.
Banyak perpustakaan kampus (dan sekolah dasar atau menengah) di Indonesia yang jarang bahkan sengaja tidak mengoleksi buku-buku sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI), kecuali buku resmi versi penguasa (Orde Baru).
Rak-rak buku lebih dipenuhi dengan buku-buku yang konon bisa mengantarkan para siswa atau mahasiswa menjadi sarjana yang berkompeten dalam bidang yang  mereka pilih tanpa ada pertimbangan untuk memperkenalkan siswa/mahasiswa terhadap sejarah secara jujur.
Penghilangan buku dari perpustakaan utamanya dari perustakaan di kampus-kampus ini menjadi bukti tidak ada upaya akademis yang jelas untuk mendukung atau menolak ajaran Marxisme. Dosen-dosen juga jarang menyinggung Partai Komunis Indonesia dan lebih banyak tunduk dan tetap berguru kepada rezim Orde Baru.
Mereka menerima mentah-mentah apa yang diinformasikan Orde Baru. Menghilangkan sejarah seperti menjadi sebuah kesepakatan bersama dan hal ini mengesankan bahwa warisan sejarah yang menceritakan penindasan terhadap kaum ”kiri” (komunis) menjadi realitas yang diterima secara ”ikhlas”.
Orde Baru sudah tumbang, namun sampai sekarang perpustakaan-perpustakaan tetap sepi dari buku-buku tentang komunisme. Upaya menjauh dari komunisme juga menjadi bukti bahwa kebersamaan ditolak dan terpecahnya hubungan yang disertai penindasan menjadi diterima.
Ketakutan terhadap rezim Orde Baru terus dipelihara dan kemudian menyerah terhadap dusta sejarah.       Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Ahmad Wahib (2013) menarasikan seruan-seruan dan kritik Ahmad Wahib tentang bagaimana dia menjadi muslim yang tak hanya muslim karena opini masyarakat.
Ahmad Wahib menghendaki dirinya menjadi muslim yang benar, menjadi muslim sesuai yang ia yakini. Ia menggali apa sebenarnya muslim dengan mengendapkan dan mengolah pengalaman-pengalamannya yang menjelma menjadi muslim Indonesia yang memberontak.
Ahmad Wahib menulis: Bagaimana aku bisa memusuhi PKI melampaui batas seperti halnya teman-teman. Aku punya teman-teman aktivis ormas PKI. Dan hubungan kami terus baik sampai sekarang. Aku pernah bertetangga dengan mereka, bahkan sampai hari ini. Mereka memiliki putra-putra yang diserahkan padaku untuk diajari agama.
Lewat catatan hariannya Ahmad Wahib mengatakan manusia tidak berhak untuk memusuhi kelompok-kelompok yang oleh kebanyakan orang dijauhi dan bahkan dibenci. Menurut Ahmad Wahib, perbedaan mental, ilmu, dan pengalaman membuat manusia itu berbeda-beda dalam mengambil sikap.
Ini hal yang sulit untuk dibantah. Dan pernyataan-pernyataan itu telah mengantarkan kita pada perspektif-perspektif berbeda dan juga berseberangan bahwa tak selamanya apa yang oleh kebanyakan orang dianggap jelek atau berbahaya harus dihilangkan.
Soe Hok Gie, penulis buku Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, juga menyerukan gugatan ketika melihat keadaan negeri yang kacau dan tak keruan. Soe Hok Gie menggugat saat pemerintah terus-menerus menindas ekonomi rakyat, mengganyang PKI, dan bentuk penindasan yang lain.

Kesadaran
Menurut Soe Hok Gie, menjadi tugas kaum intelingensia untuk mengambil tindakan. Soe Hok Gie menulis: Makin lama aku membaca makin timbul kesadaran ada sesuatu kekuatan yang supranatural, irasional dan tidak dapat dimengerti yang menguasai seluruh masyarakat dan pribadi.
Ia juga menulis: Dan seolah-olah manusia tidak dapat menolaknya apakah sense untuk mengkhianati sebagai kekuatan yang mutlak? Entah. Tapi aku kira begitu. Beberapa bulan yang lalu aku percaya sejarah adalah lokomotif yang dibuat manusia, tetapi manusia sendiri tidak dapat menahannya.
Pengakuan Soe Hok Gine ini mengingatkan kita bahwa seburuk apa pun sejarah tetap tidak bisa dihilangkan dari bumi ini. Sejarah tetaplah sejarah, seburuk apa pun tidak boleh dibungkam atau bahkan dihilangkan.
Upaya akademis bukan hanya memperkenalkan mata kuliah dan mengantarkan mahasiswa sebagai sarjana semata, sedangkan perpustakaan membuang dan tidak memberi tempat untuk sejarah Indonesia.
Kampus yang berguru dan juga masih tunduk terhadap rezim Orde Baru ini menjadi bukti nyata bahwa kampus hanya akan memperkenalkan kepada mahasiswa klasifikasi keilmuan yang lebih condong arahnya pada keinginan-keinginan praktis untuk membentuk mahasiswa bukan sebagai pembaca sejati.
Kita masih beruntung bisa membaca buku Catatan Seorang Demonstran, buku yang menceritakan secara jelas bagaimana keadaan Indonesia dari Orde Lama sampai Orde baru dengan jelas dan bentuk-bentuk penggayangan yang dilakukan PKI.
Perpustakaan tak perlu fobia kepada buku-buku tentang PKI dan sejenisnya. Tiap bacaan akan mencerdaskan. Tiap bacaan yang dibaca dalam kerangka inteletualitas bukanlah untuk melumpuhkan pikiran manusia.

*Mahasiswa Tafsir Hadist IAIN Surakarta

KEDANGKALAN BERFIKIR MEMBACA ZAMAN
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*

Rubrik Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 1 Oktober 2013 memuat artikel berjudul Tak Ada PKI di Perpustakaan karya Mutimmadun Nadhifah. Artikel tersebut merupakan bentuk keresahan penulisnya dalam melihat sejarah Indonesia yang dibengkokkan oleh penguasa negeri (pemerintah Orde Baru) yang dampaknya sampai sekarang.
Fenomena sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) ini yang harus ditelusuri ke akar sejarahnya secara mendalam tanpa meninggalkan realitas sekarang: ruang demokrasi terbuka lebar. Menurut saya, substansi artikel tersebut menjelaskan berbagai kegalauan penulisnyadalam membaca kondisi hari ini tentang sejarah Indonesia yang ”kurang benar”.
Saya menggarisbawahi kegalauan penulisnya itu terkait dengan rak-rak buku di perpustakaan yang mewarisi budaya rezim Orde Baru serta tugas dan peran pengajar (dosen atau guru) yang kurang berani menyampaikan pengetahuan sejarah yang sesuai dengan kebenarannya. Itu semua akhirnya berujung pada mahasiswa atau generasi muda sekarang yang kurang berminat memahami dan mempelajari sejarah. Ini berdampak pula pada munculnya generasi yang buta akan sejarah bangsanya sendiri.
Bagi seorang mahasiswa kampus adalah ladang ideologi. Menyimpulkan suatu kondisi hari ini dengan cepat dan pragmatis tanpa mencoba untuk menganalisis dan meneliti kondisi lingkungan, apalagi berbicara mengenai sejarah bangsa, adalah bentuk kedangkalan berpikir. Identitas sebagai mahasiswa yang kelak akan dipertanggungjawabkan di lingkungan masyarakat menjadi kurang bermakna dan berlalu begitu saja.
Kalau kita berpikir lebih luas dan menatap jauh ke depan dengan baik, rasa-rasanya kedangkalan berpikir itu tidak mungkin terjadi kembali. Apa yang tidak mungkin untuk didapatkan pada hari ini? Globalisasi yang semakin dominan membuahkan kemudahan dan kesulitan dalam menginfiltrasi itu seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Saat ini, untuk membaca sejarah masa lalu, berbagai literatur tersedia. Tetapi, kita tidak harus menelan mentah-mentah lieteratur-literatur tersebut. Kita harus selektif, harus dengan metode memilah dan memilih, terlebih jika berbicara sejarah sebagai pembuktian. Kebenaran sejarah menjadi fokus.
Sejarah PKI memang perlu kita telisik kebenaran sejarahnya lebih jauh. Apalagi setelah tragedi 1965 kondisi sosial dan politik di Indonesia begitu mengerikan. Pembantaian massal terhadap mereka dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI adalah salah satunya. Propaganda dan teror yang dilakukan rezim Orde Baru berhasil memengaruhi pola pikir rakyat Indonesia, bahwa yang bersalah dalam tragedi 1965 hanya PKI.
Propogana pemahaman demikian menyebar ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Salah satunya sektor pendidikan. Siswa dan mahasiswa tidak boleh buku-buku tentang PKI. Siswa dan mahasiswa yang diperbolehkan membaca buku-buku terkait PKI versi pemerintah yang berkuasa. Era itu, buku-buku terkait PKI selain versi pemerintah tak boleh ada di perpuspataan.
Tetapi, zaman sudah berganti. Rezim Orde Baru telah runtuh. Pembukaan ruang publik yang berasaskan demokrasi partisipatoris terbuka kian lebar. Kini, tak ada rasa khawatir dan takut saat membaca, menelaah, dan mendiskusikan  sejarah PKI yang sebenarnya guna mencari dan menemukan bukti sejarah yang otentik.
Dulu, buku-buku yang tentang PKI dibakar, baik itu yang bersifat fiksi maupun nonfiksi. Kejadian ini tergambar jelas dalam kesaksian Pramoedya Ananta Toer, salah satu novelis terkenal Indonesia yang beberapa karyanya dibakar. Novel karyanya yang dikenal sebagai Tetralogi Pula Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca pernah dilarang dan bahkan dibakar.
Tapi, hari ini di ruang demokrasi yang kian lebar menyuburkan penerbitan buku tentang PKI. Siswa dan mahasiswa tentu berhak membacanya agar tak lagi terkungkung pemahaman satu versi. Kini, banyak buku tentang PKI, orang-orang PKI, dan komunisme.
Buku-buku itu, misalnya  Penghancuran PKI karya Olle Tornquist, Madiun 1948; PKI Bergerak karya Harry A. Poeze, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie, Badai Revolusi karya Arbi Sanit, Kemunculan Komunisme di Indonesia karya Ruth Mc Ivey, Dalih Pembunuhan Massal karya John D. Rossa dan masih banyak lagi.
Buku-buku itu tak hanya tersedia di ruang khusus di perpustakaan, melainkan juga terdapat di perpustakaan-perpustakaan bebas yang tidak tersekat oleh batasan-batasan formalitas. Buku-buku itu juga dijual bebas di toko-toko buku

Kesadaran Sejarah
Persoalan literatur sejarah seharusnya tidak menjadi masalah yang begitu pelik. Saya duga Mutimatun Nadhifah belum mengetahui dan membaca buku-buku sejarah PKI yang begitu banyak. Hasilnya terlihat dari pembacaannya dangkal dan tak berdasar. Sungguh menggelikan memang jika menyimpulkan suatu kondisi yang terkait dengan sejarah secara terlalu cepat dan pragmatis seperti itu.
Mahasiswa hari ini wajib menguatkan budaya dan laku intelektual: membaca, berdiskusi, dan mengoreksi penyelewengan sejarah itu. Dengan laku ini timbul kesadaran diri mahasiswa dalam membaca kondisi hari ini yang berkaitan tentang sejarah.
Saya pikir kajian-kajian tentang PKI dan sejarahnya oleh mahasiswa juga tidak surut. Kampus-kampus sekarang memfasilitasi kajian hal-hal tersebut. Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pernah ada bedah film berjudul The Act of Killing atau karya Joshua Openheimer. Film ini berkisah tentang seseorang yang membunuh anggota PKI atau orang-orang yang dianggap anggota PKI.
Diskusi tentang film ini adalah proses membangun dan membangkitkan kesadaran sejarah dan upaya meluruskan sejarah dalam wacana keilmuan dan pengetahuan. Mempermasalahkan tidak adanya buku-buku tentang PKI di perpustakaan justru mengerdilkan daya intelektual mahasiswa.

*Mahasiswa Aktif UMS

Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

  2. Untuk mendokumentasikan tulisan atau berita mengenai anda, Kami dari SOLOPOS menyediakan pelayanan arsip PDF SOLOPOS edisi lama.
    Bila arsip dikopi di kantor redaksi SOLOPOS, siapkan flashdisk anda.Bila anda tidak mempunyai flashdisk, kami menyedikan cakram DVD berikut boxnya dengan biaya Rp 7.500. Untuk tariff arsip PDF, harga per edisi utuh Rp 4.000. Alamat redaksi kami ada di Jalan Adisucipto 190 Solo.
    Bila peminat ada di luar kota dan menghendaki arsip PDF, maka biaya dikenakan biaya Rp 10.000 untuk pemesanan 1 atau 2 edisi . Arsip PDF akan dikirim via email.

    Priyono
    Staf Penjualan Online
    081578830445

    Pembayaran via transfer BCA 0152513001 atas nama PT AKsara SOLOPOS

    BalasHapus