TAK ADA PKI DI
PERPUSTAKAAN
Oleh: Muthimatun
Nadhifa*
Partai
Komunis Indonesia (PKI) memang pernah mewarnai sejarah Indonesia. Sebagian
warga negeri ini menyebutnya sebagai sejarah kelam. Membicarakan PKI berarti
menjejaki cerita merah dan terkadang membuat gelisah.
Ada
keberpihakan terhadap sekelompok golongan, juga ada kesewenangan-wenangan yang
pernah dilakukan. Sejarah tetaplah sejarah yang tetap harus disampaikan dengan
jujur kepada generasi selanjutnya.
Kejujuran
akan membentuk upaya generasi muda menjadi berpikir sesuai dengan yang
dikehendaki, menerima atau menolak, atau juga merefleksikan apa yang pernah
terjadi di masa lampau dan membandingkannya dengan kehidupan sekarang.
Tapi,
kekuatan politik lebih kuat sehingga demi kekuasaan banyak manipulasi yang
memang sengaja dibuat. Keinginan untuk mengekalkan kekuasaan lebih diutamakan
daripada kejujuran terhadap bangsa dan sejarah.
Masyarakat
sekarang seolah memang dibutakan dan tidak diperkenalkan dengan sejarah
Indonesia secara jujur. Ada banyak dusta yang memang disengaja. Buku-buku terus
dihilangkan dan pencegahan-pencegahan masuknya buku ke perpustakaan terus
dilakukan dan kebijakan ini dituruti dan dipatuhi dengan sengaja.
Banyak
perpustakaan kampus (dan sekolah dasar atau menengah) di Indonesia yang jarang
bahkan sengaja tidak mengoleksi buku-buku sejarah Partai Komunis Indonesia
(PKI), kecuali buku resmi versi penguasa (Orde Baru).
Rak-rak
buku lebih dipenuhi dengan buku-buku yang konon bisa mengantarkan para siswa
atau mahasiswa menjadi sarjana yang berkompeten dalam bidang yang mereka pilih tanpa ada pertimbangan untuk
memperkenalkan siswa/mahasiswa terhadap sejarah secara jujur.
Penghilangan
buku dari perpustakaan utamanya dari perustakaan di kampus-kampus ini menjadi
bukti tidak ada upaya akademis yang jelas untuk mendukung atau menolak ajaran
Marxisme. Dosen-dosen juga jarang menyinggung Partai Komunis Indonesia dan
lebih banyak tunduk dan tetap berguru kepada rezim Orde Baru.
Mereka
menerima mentah-mentah apa yang diinformasikan Orde Baru. Menghilangkan sejarah
seperti menjadi sebuah kesepakatan bersama dan hal ini mengesankan bahwa
warisan sejarah yang menceritakan penindasan terhadap kaum ”kiri” (komunis)
menjadi realitas yang diterima secara ”ikhlas”.
Orde
Baru sudah tumbang, namun sampai sekarang perpustakaan-perpustakaan tetap sepi
dari buku-buku tentang komunisme. Upaya menjauh dari komunisme juga menjadi
bukti bahwa kebersamaan ditolak dan terpecahnya hubungan yang disertai
penindasan menjadi diterima.
Ketakutan
terhadap rezim Orde Baru terus dipelihara dan kemudian menyerah terhadap dusta
sejarah. Buku Pergolakan Pemikiran
Islam, Catatan Ahmad Wahib (2013) menarasikan seruan-seruan dan kritik Ahmad
Wahib tentang bagaimana dia menjadi muslim yang tak hanya muslim karena opini
masyarakat.
Ahmad
Wahib menghendaki dirinya menjadi muslim yang benar, menjadi muslim sesuai yang
ia yakini. Ia menggali apa sebenarnya muslim dengan mengendapkan dan mengolah pengalaman-pengalamannya
yang menjelma menjadi muslim Indonesia yang memberontak.
Ahmad
Wahib menulis: Bagaimana aku bisa memusuhi PKI melampaui batas seperti halnya
teman-teman. Aku punya teman-teman aktivis ormas PKI. Dan hubungan kami terus
baik sampai sekarang. Aku pernah bertetangga dengan mereka, bahkan sampai hari
ini. Mereka memiliki putra-putra yang diserahkan padaku untuk diajari agama.
Lewat
catatan hariannya Ahmad Wahib mengatakan manusia tidak berhak untuk memusuhi
kelompok-kelompok yang oleh kebanyakan orang dijauhi dan bahkan dibenci.
Menurut Ahmad Wahib, perbedaan mental, ilmu, dan pengalaman membuat manusia itu
berbeda-beda dalam mengambil sikap.
Ini
hal yang sulit untuk dibantah. Dan pernyataan-pernyataan itu telah mengantarkan
kita pada perspektif-perspektif berbeda dan juga berseberangan bahwa tak
selamanya apa yang oleh kebanyakan orang dianggap jelek atau berbahaya harus
dihilangkan.
Soe
Hok Gie, penulis buku Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, juga menyerukan
gugatan ketika melihat keadaan negeri yang kacau dan tak keruan. Soe Hok Gie
menggugat saat pemerintah terus-menerus menindas ekonomi rakyat, mengganyang
PKI, dan bentuk penindasan yang lain.
Kesadaran
Menurut
Soe Hok Gie, menjadi tugas kaum intelingensia untuk mengambil tindakan. Soe Hok
Gie menulis: Makin lama aku membaca makin timbul kesadaran ada sesuatu kekuatan
yang supranatural, irasional dan tidak dapat dimengerti yang menguasai seluruh
masyarakat dan pribadi.
Ia
juga menulis: Dan seolah-olah manusia tidak dapat menolaknya apakah sense untuk
mengkhianati sebagai kekuatan yang mutlak? Entah. Tapi aku kira begitu.
Beberapa bulan yang lalu aku percaya sejarah adalah lokomotif yang dibuat
manusia, tetapi manusia sendiri tidak dapat menahannya.
Pengakuan
Soe Hok Gine ini mengingatkan kita bahwa seburuk apa pun sejarah tetap tidak
bisa dihilangkan dari bumi ini. Sejarah tetaplah sejarah, seburuk apa pun tidak
boleh dibungkam atau bahkan dihilangkan.
Upaya
akademis bukan hanya memperkenalkan mata kuliah dan mengantarkan mahasiswa
sebagai sarjana semata, sedangkan perpustakaan membuang dan tidak memberi tempat
untuk sejarah Indonesia.
Kampus
yang berguru dan juga masih tunduk terhadap rezim Orde Baru ini menjadi bukti
nyata bahwa kampus hanya akan memperkenalkan kepada mahasiswa klasifikasi
keilmuan yang lebih condong arahnya pada keinginan-keinginan praktis untuk
membentuk mahasiswa bukan sebagai pembaca sejati.
Kita
masih beruntung bisa membaca buku Catatan Seorang Demonstran, buku yang
menceritakan secara jelas bagaimana keadaan Indonesia dari Orde Lama sampai
Orde baru dengan jelas dan bentuk-bentuk penggayangan yang dilakukan PKI.
Perpustakaan
tak perlu fobia kepada buku-buku tentang PKI dan sejenisnya. Tiap bacaan akan
mencerdaskan. Tiap bacaan yang dibaca dalam kerangka inteletualitas bukanlah
untuk melumpuhkan pikiran manusia.
*Mahasiswa Tafsir Hadist IAIN Surakarta
KEDANGKALAN BERFIKIR
MEMBACA ZAMAN
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Rubrik
Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 1 Oktober 2013 memuat artikel berjudul Tak Ada
PKI di Perpustakaan karya Mutimmadun Nadhifah. Artikel tersebut merupakan
bentuk keresahan penulisnya dalam melihat sejarah Indonesia yang dibengkokkan
oleh penguasa negeri (pemerintah Orde Baru) yang dampaknya sampai sekarang.
Fenomena
sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) ini yang harus ditelusuri ke akar
sejarahnya secara mendalam tanpa meninggalkan realitas sekarang: ruang
demokrasi terbuka lebar. Menurut saya, substansi artikel tersebut menjelaskan
berbagai kegalauan penulisnyadalam membaca kondisi hari ini tentang sejarah
Indonesia yang ”kurang benar”.
Saya
menggarisbawahi kegalauan penulisnya itu terkait dengan rak-rak buku di
perpustakaan yang mewarisi budaya rezim Orde Baru serta tugas dan peran
pengajar (dosen atau guru) yang kurang berani menyampaikan pengetahuan sejarah
yang sesuai dengan kebenarannya. Itu semua akhirnya berujung pada mahasiswa
atau generasi muda sekarang yang kurang berminat memahami dan mempelajari
sejarah. Ini berdampak pula pada munculnya generasi yang buta akan sejarah
bangsanya sendiri.
Bagi
seorang mahasiswa kampus adalah ladang ideologi. Menyimpulkan suatu kondisi
hari ini dengan cepat dan pragmatis tanpa mencoba untuk menganalisis dan
meneliti kondisi lingkungan, apalagi berbicara mengenai sejarah bangsa, adalah
bentuk kedangkalan berpikir. Identitas sebagai mahasiswa yang kelak akan
dipertanggungjawabkan di lingkungan masyarakat menjadi kurang bermakna dan
berlalu begitu saja.
Kalau
kita berpikir lebih luas dan menatap jauh ke depan dengan baik, rasa-rasanya
kedangkalan berpikir itu tidak mungkin terjadi kembali. Apa yang tidak mungkin
untuk didapatkan pada hari ini? Globalisasi yang semakin dominan membuahkan
kemudahan dan kesulitan dalam menginfiltrasi itu seperti dua sisi mata uang
yang tidak bisa dipisahkan.
Saat
ini, untuk membaca sejarah masa lalu, berbagai literatur tersedia. Tetapi, kita
tidak harus menelan mentah-mentah lieteratur-literatur tersebut. Kita harus
selektif, harus dengan metode memilah dan memilih, terlebih jika berbicara
sejarah sebagai pembuktian. Kebenaran sejarah menjadi fokus.
Sejarah
PKI memang perlu kita telisik kebenaran sejarahnya lebih jauh. Apalagi setelah
tragedi 1965 kondisi sosial dan politik di Indonesia begitu mengerikan.
Pembantaian massal terhadap mereka dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI
adalah salah satunya. Propaganda dan teror yang dilakukan rezim Orde Baru
berhasil memengaruhi pola pikir rakyat Indonesia, bahwa yang bersalah dalam
tragedi 1965 hanya PKI.
Propogana
pemahaman demikian menyebar ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Salah
satunya sektor pendidikan. Siswa dan mahasiswa tidak boleh buku-buku tentang
PKI. Siswa dan mahasiswa yang diperbolehkan membaca buku-buku terkait PKI versi
pemerintah yang berkuasa. Era itu, buku-buku terkait PKI selain versi
pemerintah tak boleh ada di perpuspataan.
Tetapi,
zaman sudah berganti. Rezim Orde Baru telah runtuh. Pembukaan ruang publik yang
berasaskan demokrasi partisipatoris terbuka kian lebar. Kini, tak ada rasa
khawatir dan takut saat membaca, menelaah, dan mendiskusikan sejarah PKI yang sebenarnya guna mencari dan
menemukan bukti sejarah yang otentik.
Dulu,
buku-buku yang tentang PKI dibakar, baik itu yang bersifat fiksi maupun
nonfiksi. Kejadian ini tergambar jelas dalam kesaksian Pramoedya Ananta Toer,
salah satu novelis terkenal Indonesia yang beberapa karyanya dibakar. Novel
karyanya yang dikenal sebagai Tetralogi Pula Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca pernah dilarang dan bahkan dibakar.
Tapi,
hari ini di ruang demokrasi yang kian lebar menyuburkan penerbitan buku tentang
PKI. Siswa dan mahasiswa tentu berhak membacanya agar tak lagi terkungkung
pemahaman satu versi. Kini, banyak buku tentang PKI, orang-orang PKI, dan
komunisme.
Buku-buku
itu, misalnya Penghancuran PKI karya
Olle Tornquist, Madiun 1948; PKI Bergerak karya Harry A. Poeze, Orang-Orang di
Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok
Gie, Badai Revolusi karya Arbi Sanit, Kemunculan Komunisme di Indonesia karya
Ruth Mc Ivey, Dalih Pembunuhan Massal karya John D. Rossa dan masih banyak
lagi.
Buku-buku
itu tak hanya tersedia di ruang khusus di perpustakaan, melainkan juga terdapat
di perpustakaan-perpustakaan bebas yang tidak tersekat oleh batasan-batasan
formalitas. Buku-buku itu juga dijual bebas di toko-toko buku
Kesadaran
Sejarah
Persoalan
literatur sejarah seharusnya tidak menjadi masalah yang begitu pelik. Saya duga
Mutimatun Nadhifah belum mengetahui dan membaca buku-buku sejarah PKI yang
begitu banyak. Hasilnya terlihat dari pembacaannya dangkal dan tak berdasar.
Sungguh menggelikan memang jika menyimpulkan suatu kondisi yang terkait dengan
sejarah secara terlalu cepat dan pragmatis seperti itu.
Mahasiswa
hari ini wajib menguatkan budaya dan laku intelektual: membaca, berdiskusi, dan
mengoreksi penyelewengan sejarah itu. Dengan laku ini timbul kesadaran diri
mahasiswa dalam membaca kondisi hari ini yang berkaitan tentang sejarah.
Saya
pikir kajian-kajian tentang PKI dan sejarahnya oleh mahasiswa juga tidak surut.
Kampus-kampus sekarang memfasilitasi kajian hal-hal tersebut. Di Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) pernah ada bedah film berjudul The Act of Killing
atau karya Joshua Openheimer. Film ini berkisah tentang seseorang yang membunuh
anggota PKI atau orang-orang yang dianggap anggota PKI.
Diskusi
tentang film ini adalah proses membangun dan membangkitkan kesadaran sejarah
dan upaya meluruskan sejarah dalam wacana keilmuan dan pengetahuan.
Mempermasalahkan tidak adanya buku-buku tentang PKI di perpustakaan justru
mengerdilkan daya intelektual mahasiswa.
*Mahasiswa Aktif UMS
Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus
BalasHapusUntuk mendokumentasikan tulisan atau berita mengenai anda, Kami dari SOLOPOS menyediakan pelayanan arsip PDF SOLOPOS edisi lama.
Bila arsip dikopi di kantor redaksi SOLOPOS, siapkan flashdisk anda.Bila anda tidak mempunyai flashdisk, kami menyedikan cakram DVD berikut boxnya dengan biaya Rp 7.500. Untuk tariff arsip PDF, harga per edisi utuh Rp 4.000. Alamat redaksi kami ada di Jalan Adisucipto 190 Solo.
Bila peminat ada di luar kota dan menghendaki arsip PDF, maka biaya dikenakan biaya Rp 10.000 untuk pemesanan 1 atau 2 edisi . Arsip PDF akan dikirim via email.
Priyono
Staf Penjualan Online
081578830445
Pembayaran via transfer BCA 0152513001 atas nama PT AKsara SOLOPOS