Senin, 21 April 2014

Mahasiswa dan Buku

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Korelasi mahasiswa dan buku masa kini ibarat dua sisi mata uang yang sangat berbeda. Ya, apa yang bisa kita lihat sekarang didunia mahasiswa adalah mahasiswa jauh dari buku, mahasiswa minim membaca, mahasiswa sepi aktivitas intelektual. Toch, jika mereka-mereka gemar membaca, yang dibacapun hanya sebatas buku-buku untuk pegangan kuliah setiap hari aktivitas perkuliahan. Mahasiswa dan buku dalam artian disini adalah buku-buku bacaan umum dari berbagai disiplin ilmu. Buku yang seharusnya menjadi tolok ukur dalam pergolakan pemikiran mahasiswa. Kini sepi peminat dan semakin suram masa depan mahasiswa. Ironis!
            Kita jarang belajar dari Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib memang, yang karya-karyanya mampu mengguncangkan rezim pada masanya. Soe Hok Gie dengan Catatan Seorang Demonstran, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Lentera Merah, serta Ahmad Wahib dengan Pergolakan Pemikiran Islam. Beliau-beliau adalah insan mahasiswa yang resah dengan kondisi sosial yang tidak adil, tetapi bukan hanya resah saja yang dia lakukan melainkan dibarengi dengan membaca dan menulislah, peran mahasiswa semakin terlihat. Serta buku yang menjadi pedomannya adalah kitab suci baru bagi mereka dalam menganalisis permasalahan yang ada. Lantas, apa yang menyebabkan mahassiswa hari ini jauh dari buku?  Jangankan untuk membuat karya mahasiswa dengan pemikiran yang kritis. Membacapun saya pikir mahasiswa masa kini jauh dari angan-angan. Apa yang menjadi faktornya?.
            Faktor yang paling terlihat adalah kurangnya perhatian khusus dari pihak kampus dalam memberikan ruang-ruang pulbik (publik sphere) yang akhirnya membuat mahasiswa gemar membaca dan mengkaji permasalahan sosial lebih dalam. Kita semua tahulah kampus hari ini bak penjara modern yang mengekang kebebasan berfikir mahasiswanya. Alih-alih membuat ruang publik seluas-luasnya, mahasiswa dikungkung dalam kelas dengan transformasi ilmu pengetahuan yang normatif, serta beban tugas yang menumpuk dan harapan-harapan yang kosong. Tak heran jika golongan teknokrat yang tak memiliki kemandirian intelektual dan dengan keahlian teknisnya bertekad untuk menguasai satu bidang yang sempit. Bukan golongan intelektual yang memiliki tingkat kesadaran sosial yang tinggi dengan daya intelektual yang tinggi pula. Tambah suramlah dunia mahasiswa kini.
            Ataukah bagi mereka-mereka yang gemar membaca dan giat mengkaji permasalahan sosial, justru kalah pamor dengan mereka-mereka yang mempunyai gelar akademis yang tinggi (dosen dan rektor) atau tokoh-tokoh mahasiswa terdahulu yang pencapaian mereka luar biasa dalam menyelesaikan persoalan, yang akhirnya bagi generasi sekarang sudah merasa tak berdaya karena tidak ada lagi persoalan yang benar-benar penting untuk diselesaikan. Terbersit pula dalam perasaan saya bahwa peluang-peluang yang paling gemilang telah habis diselediki dan diperas manfaatnya. Akibatnya generasi mahasiswa masa kini seakan menghadapi dilema dituntut untuk melakukan perubahan tetapi justru sudah habis untuk diteliti dan dikaji. Ujungnya generasi sekarang hanya menjadi sekedar pelestari karya-karya agung yang diwariskan oleh mereka-mereka yang sudah pamor dalam segi intelektualnya.
            Kembali lagi kepada persoalan mahasiswa dan buku. Yang kalau kita kita baca pada karya-karya mahasiswa terdahulu, seperti Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, yang masih mendapatkan kehadiran sosok Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Natsir dan tokoh bangsa yang lainnya. Yang akhirnya dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran kritisnya. Dimana dalam hal pemikiran tokoh-tokoh bangsa besar tersebut yang tak diragukan lagi ilmu dan pengetahuannya. Menjadikan semangat tersendiri dalam diri mereka-mereka untuk menumbuhkan ide-ide yang kritis.
            Saya pikir Gie (panggilan akrab Soe Hok Gie) tidak mampu menelurkan pemikiran-pemikiran yang kritis dan dapat kita baca karyanya hari ini jika tidak bertemu dengan Sukarno atau tidak berangkat karena tidak mempunyai jas. Disebutkan dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran (1983) bahwa Gie dkk bertemu dengan Sukarno di Istana Negara, untuk memenuhi undangan sang Presiden dalam agenda rutinnya Istana untuk menerima rakyat. Yang akhirnya dalam refleksi catatan hariannya dia mengkritik Sukarno dengan mengibaratkan raja-raja Jawa yang feodal, yang dipenuhi dengan lonte-lonte agung.
            Sama halnya dengan Sukarni, Chaerul Saleh, BM. Diah dkk pelajar pada masa sebelum kemerdekaan yang kedekatannya dengan Sutan Sjahrir sangat intensif. Saya rasa peristiwa Rengasdengklok yang berujung pada kemerdekaan Indonesiapun saya rasa tidak akan terwujud.
            Kalau kita melihat mahasiswa masa kini kenapa tidak mempunyai gagasan yang kritis dan tidak menumbuhkan ide-ide yang cemerlang. Asumsi saya adalah mungkin karena kurang intensifnya para intelektual-intelektual masa kini dalam mempertaruhkan hidupnya untuk pergerakan. Coba kalau semisal Yudi Latif, Syafi’i Ma’arif, Martin Suyajaya, Goenawan Mohamad turun kebawah bersama mahasiswa dan membangkitkan semangat intelektual mahasiswa dalam merumuskan perubahan. Jangankan mahasiswa dan buku yang sudah jauh dari aktivitas intelektual mahasiswa, membuat gerakan mahasiswa yang radikal dan masif seperti Gie, Ahmad Wahib, Sukarni, Chaerul Saleh, dan Sukarnipun, dengan dibarengi turun kebawahnya para intelektual layaknya Sukarno, Hatta, Sjahrir dkk. Penulis rasa untuk mewujudkan perubahan yang sebenar-benarnya bisa terwujud. Dan harapan terciptanya generasi intelektual yang matang dalam pergerakanpun bisa direalisasikan. Mungkin begitu.  

*penulis adalah mahasiswa UMS
Jurusan FKIP PKn
Dan bergiat aktif di Griya Pena Merah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar