Korelasi mahasiswa dan buku masa
kini ibarat dua sisi mata uang yang sangat berbeda. Ya, apa yang bisa kita
lihat sekarang didunia mahasiswa adalah mahasiswa jauh dari buku, mahasiswa
minim membaca, mahasiswa sepi aktivitas intelektual. Toch, jika mereka-mereka
gemar membaca, yang dibacapun hanya sebatas buku-buku untuk pegangan kuliah
setiap hari aktivitas perkuliahan. Mahasiswa dan buku dalam artian disini
adalah buku-buku bacaan umum dari berbagai disiplin ilmu. Buku yang seharusnya
menjadi tolok ukur dalam pergolakan pemikiran mahasiswa. Kini sepi peminat dan
semakin suram masa depan mahasiswa. Ironis!
Kita jarang belajar dari Soe Hok Gie
dan Ahmad Wahib memang, yang karya-karyanya mampu mengguncangkan rezim pada
masanya. Soe Hok Gie dengan Catatan
Seorang Demonstran, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Lentera Merah,
serta Ahmad Wahib dengan Pergolakan
Pemikiran Islam. Beliau-beliau adalah insan mahasiswa yang resah dengan
kondisi sosial yang tidak adil, tetapi bukan hanya resah saja yang dia lakukan
melainkan dibarengi dengan membaca dan menulislah, peran mahasiswa semakin
terlihat. Serta buku yang menjadi pedomannya adalah kitab suci baru bagi mereka
dalam menganalisis permasalahan yang ada. Lantas, apa yang menyebabkan
mahassiswa hari ini jauh dari buku? Jangankan
untuk membuat karya mahasiswa dengan pemikiran yang kritis. Membacapun saya
pikir mahasiswa masa kini jauh dari angan-angan. Apa yang menjadi faktornya?.
Faktor yang paling terlihat adalah
kurangnya perhatian khusus dari pihak kampus dalam memberikan ruang-ruang
pulbik (publik sphere) yang akhirnya
membuat mahasiswa gemar membaca dan mengkaji permasalahan sosial lebih dalam.
Kita semua tahulah kampus hari ini bak penjara modern yang mengekang kebebasan
berfikir mahasiswanya. Alih-alih membuat ruang publik seluas-luasnya, mahasiswa
dikungkung dalam kelas dengan transformasi ilmu pengetahuan yang normatif,
serta beban tugas yang menumpuk dan harapan-harapan yang kosong. Tak heran jika
golongan teknokrat yang tak memiliki kemandirian intelektual dan dengan
keahlian teknisnya bertekad untuk menguasai satu bidang yang sempit. Bukan golongan
intelektual yang memiliki tingkat kesadaran sosial yang tinggi dengan daya
intelektual yang tinggi pula. Tambah suramlah dunia mahasiswa kini.
Ataukah bagi mereka-mereka yang
gemar membaca dan giat mengkaji permasalahan sosial, justru kalah pamor dengan
mereka-mereka yang mempunyai gelar akademis yang tinggi (dosen dan rektor) atau
tokoh-tokoh mahasiswa terdahulu yang pencapaian mereka luar biasa dalam
menyelesaikan persoalan, yang akhirnya bagi generasi sekarang sudah merasa tak
berdaya karena tidak ada lagi persoalan yang benar-benar penting untuk
diselesaikan. Terbersit pula dalam perasaan saya bahwa peluang-peluang yang
paling gemilang telah habis diselediki dan diperas manfaatnya. Akibatnya
generasi mahasiswa masa kini seakan menghadapi dilema dituntut untuk melakukan
perubahan tetapi justru sudah habis untuk diteliti dan dikaji. Ujungnya
generasi sekarang hanya menjadi sekedar pelestari karya-karya agung yang
diwariskan oleh mereka-mereka yang sudah pamor dalam segi intelektualnya.
Kembali lagi kepada persoalan
mahasiswa dan buku. Yang kalau kita kita baca pada karya-karya mahasiswa
terdahulu, seperti Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib, yang masih mendapatkan
kehadiran sosok Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, Moh. Natsir dan tokoh
bangsa yang lainnya. Yang akhirnya dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran
kritisnya. Dimana dalam hal pemikiran tokoh-tokoh bangsa besar tersebut yang
tak diragukan lagi ilmu dan pengetahuannya. Menjadikan semangat tersendiri
dalam diri mereka-mereka untuk menumbuhkan ide-ide yang kritis.
Saya pikir Gie (panggilan akrab Soe
Hok Gie) tidak mampu menelurkan pemikiran-pemikiran yang kritis dan dapat kita
baca karyanya hari ini jika tidak bertemu dengan Sukarno atau tidak berangkat
karena tidak mempunyai jas. Disebutkan dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran
(1983) bahwa Gie dkk bertemu dengan Sukarno di Istana Negara, untuk memenuhi
undangan sang Presiden dalam agenda rutinnya Istana untuk menerima rakyat. Yang
akhirnya dalam refleksi catatan hariannya dia mengkritik Sukarno dengan
mengibaratkan raja-raja Jawa yang feodal, yang dipenuhi dengan lonte-lonte
agung.
Sama halnya dengan Sukarni, Chaerul
Saleh, BM. Diah dkk pelajar pada masa sebelum kemerdekaan yang kedekatannya
dengan Sutan Sjahrir sangat intensif. Saya rasa peristiwa Rengasdengklok yang
berujung pada kemerdekaan Indonesiapun saya rasa tidak akan terwujud.
Kalau kita melihat mahasiswa masa
kini kenapa tidak mempunyai gagasan yang kritis dan tidak menumbuhkan ide-ide
yang cemerlang. Asumsi saya adalah mungkin karena kurang intensifnya para
intelektual-intelektual masa kini dalam mempertaruhkan hidupnya untuk
pergerakan. Coba kalau semisal Yudi Latif, Syafi’i Ma’arif, Martin Suyajaya,
Goenawan Mohamad turun kebawah bersama mahasiswa dan membangkitkan semangat
intelektual mahasiswa dalam merumuskan perubahan. Jangankan mahasiswa dan buku
yang sudah jauh dari aktivitas intelektual mahasiswa, membuat gerakan mahasiswa
yang radikal dan masif seperti Gie, Ahmad Wahib, Sukarni, Chaerul Saleh, dan
Sukarnipun, dengan dibarengi turun kebawahnya para intelektual layaknya
Sukarno, Hatta, Sjahrir dkk. Penulis rasa untuk mewujudkan perubahan yang
sebenar-benarnya bisa terwujud. Dan harapan terciptanya generasi intelektual yang
matang dalam pergerakanpun bisa direalisasikan. Mungkin begitu.
*penulis adalah
mahasiswa UMS
Jurusan FKIP PKn
Dan bergiat aktif di
Griya Pena Merah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar