Selasa, 29 April 2014

Surat Untuk Birokrat Kampus


Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Apa yang kau pikirkan ketika pertama kali mendengarkan karya ilmiah? Pasti kau akan menjelaskan bahwa karya ilmiah adalah sesuatu yang di karyakan oleh orang lain, atas dasar perbenturan antara kreativitas pikiran dan kondisi sosial seseorang yang diilmiahkan secara objektif, rasional dan logis. Dan kau pasti akan menjawab bahwa karya ilmiah itu bentuknya bermacam-macam dan banyak jenisnya. Biasa pasti kau menyebutkan bahwa tulisan di surat kabar, hasil penelitian, skripsi, thesis dan disertasi yang terpublikasikan adalah jenis-jenis karya ilmiah.
            Tetapi coba kau tanyakan pada birokrat kampus dengan pertanyaan yang serupa. Apa yang kau dengar, pasti akan membuatmu geli sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak? Sikap birokrat kampus yang tidak menunjukkan warga masyarakat ilmu (baca: kampus), tanpa landasan falsafati yang jelas dan berpandangan yang sempit akan kau dengar. Ya, pengalaman itu saya dapatkan ketika tulisan saya dimuat di surat kabar Solopos, bagian Mimbar Mahasiswa. Alangkah mengejutkan saya ketika sikap birokrat tersebut tidak mengapresiasi serius karya ilmiah saya yang terpublikasi di surat kabar lokal terkenal di kota Solo tersebut.
            Dan jawaban yang terlontar dari birokrat tersebut dan sempat saya dengarkan adalah “Tulisan apa, dimana, dan kapan” sembari saya menjelaskan secara rinci, beliau justru enggan lama-lama dengan saya. Maka secara spontan ia meninggalkan saya tanpa ada jawaban yang memuaskan bagi saya. Padahal niatan saya adalah untuk membuktikan kepada kampus bahwa tulisan saya termuat. Karena salah satu indikator akreditasi universitas adalah seberapa banyak karya ilmiah mahasiswa yang terpublikasikan.
            Hal ini menjadi bukti baru bahwa peran birokrat kampus kita hari ini tidak berjalan dengan baik. Tidak pernah membaca karya-karya mahasiswa yang termuat di surat kabar dan mengapresiasi karya tersebut adalah bukti nyata bahwa birokrat jauh dari peranannya, justru yang terjadi adalah tindak diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pembedaan yang sempit karya ilmiah mahasiswa oleh birokrat kampus. Padahal setelah saya kroscek kembali, ternyata birokrat kampus tersebut adalah birokrat yang menangani terkait karya ilmiah mahasiswa. Sungguh ironis. Disaat salah satu karya ilmiah mahasiswanya termuat di surat kabar, justru yang terjadi adalah pengabaian dan memandang sebelah mata tulisan di surat kabar. Lantas selama ini apa yang dipikirkan oleh birokrat kampus itu tentang karya ilmiah mahasiswa?
            Ternyata apa yang menjadi dugaan aktivis mahasiswa selama ini memang benar. Karya ilmiah yang dipahami oleh birokrat kampus hanyalah sebatas Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Kita tahu bahwa program kreativitas ini adalah program yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang bertujuan untuk mengembangkan daya nalar mahasiswa untuk mengkreasikan gagasannya. Berbagai macam PKM ditawarkan oleh DIKTI kepada mahasiswa yang berminat pada pengembangan kreativitas dengan bekerja sama dengan bidang kemahasiswaan. PKM yang dimaksudkan itu adalah PKM Penelitian (PKM-P), PKM Penerapan Teknologi (PKM-PT), PKM Kewirausahaan (PKM-K), PKM Pengabdian Masyarakat (PKM-PM), PKM Penulisan Artikel Ilmiah (PKM-PAI) dan PKM Gagasan Tertulis (PKM-GT).
            Dan yang menjadi keheranan bagi saya adalah program yang seperti ini di jadikan sebagai tujuan oleh birokrat kampus untuk menekan mahasiswa agar selalu mengikuti PKM ini kalau perlu hingga ke tingkat nasional. Sehingga yang terjadi adalah memandang sebelah mata karya ilmiah mahasiswa yang lain.
            Padahal kalau kita menilik kembali apa yang diperbuat oleh Soe Hok Gie. Maka akan kita ketahui bahwa ternyata karya ilmiah mahasiswa itu tidak hanya sebatas PKM, melainkan tulisan-tulisan yang berbentuk pendapat atau opini juga termasuk dalam karya ilmiah mahasiswa. Bahkan tingkat mempengaruhi terhadap kahalayak ramai justru lebih efektif dan minim birokrasi tulisan-tulisan yang berada di surat kabar.
            Soe Hok Gie merupakan tokoh muda yang menonjol karena berbagai pemikiran, kritikan dan tulisannya di berbagai media pada jamannya. Gie (panggilan akrab) adalah pemuda brillian, humanis, penuh integritas, jujur, berani dan gandrung naik gunung. Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif dibeberapa media massa seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya tulisnya atau sepertiga dari seluruh karyanya selama rentang waktu tiga tahun orde baru sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
            Koran Kompas menjadi salah satu koran yang mengabadikan tulisan-tulisan Soe Hok Gie. Tahun 1967, tulisan perjalanan Soe Hok Gie berjudul Menaklukkan Gunung Slamet dimuat koran Kompas edisi 14, 15, 16 dan 18 September 2011. Ketika koran Kompas mulai menguasasi angka penjualan surat kabar secara nasional pada tahun 1969, tulisan-tulisan Soe Hok Gie juga semakin banyak dimuat di koran Kompas. Soe Hok Gie Kerap menulis kritik-kritik kepada pemerintah dan kampusnya (UI), misalnya tulisan Betapa Tak Menariknya Pemerintah Sekarang pada Juli 1969 dan Pelacuran Intelektual. Tulisan Soe Hok Gie yang berjudul Generasi yang Lahir setelah tahun empat lima dimuat di koran Kompas edisi 15 Agustus 1969. Pada hari itu, Soe Hok Gie juga pergi ke kantor Kompas untuk mengambil honor tulisannya namun ternyata keuangan Kompas sedang terganggu.
Akademisasi Birokrat Kampus
            Melihat gejala birokrat yang kurang greget dalam menjalankan aktivitas akademik. Walaupun gelar banyak terpampang dibelakang nama birokrat. Dimana yang seharusnya semakin tinggi gelar kesarjanaan, semakin tinggi pula tanggung jawab intelektualnya. Sekarang jauh dari harapan, semakin tinggi gelar kesarjanaan bukan menjadikan suatu beban akan tugas dan tanggung jawab intelektual melainkan menyepelekan dan menggampangkan adalah suatu gambaran sarjanawan sekarang. Akhirnya semakin banyak mereka-mereka yang bergelar sarjana tinggi justru sempit dalam memandang persoalan. Seperti kasus tentang karya ilmiah mahasiswa ini. Ketika hal yang semacam itu saja belum terselesaikan. Jangankan memandang dunia politik yang penuh dengan intrik, manuver dan strategi. Memandang dunia kampus saja masih sempit dan kurang wawasan.
            Maka dari itu saya mengusulkan kepada birokrat kampus untuk di akademisi ulang. Dengan catatan melibatkan mahasiswa sebagai superstruktur intelektualitas. Secara langsung kita sebagai mahasiswa dapat ikut menguji seberapa layak birokrat kampus mengatur sistem pendidikan tinggi di kampus sembari itu tetap menganalisis persoalan akademis yang masih belum selesai. Dengan menggunakan standar kapasitas intelektual yang ketat. Dan jika tidak layak dalam pengujian intelektualitas, maka sah untuk menjalankan pengadilan intelektual, dimana birokrat kampus yang bersangkutan diadili secara adil dan terbuka diruang publik, seperti layaknya akademisi yang melakukan plagiarisme. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa FKIP Pendidikan Kewarganegaraan
           

Jumat, 25 April 2014

POLEMIK MIMBAR MAHASISWA SOLOPOS

TAK ADA PKI DI PERPUSTAKAAN
Oleh: Muthimatun Nadhifa*

Partai Komunis Indonesia (PKI) memang pernah mewarnai sejarah Indonesia. Sebagian warga negeri ini menyebutnya sebagai sejarah kelam. Membicarakan PKI berarti menjejaki cerita merah dan terkadang membuat gelisah.
Ada keberpihakan terhadap sekelompok golongan, juga ada kesewenangan-wenangan yang pernah dilakukan. Sejarah tetaplah sejarah yang tetap harus disampaikan dengan jujur kepada generasi selanjutnya.
Kejujuran akan membentuk upaya generasi muda menjadi berpikir sesuai dengan yang dikehendaki, menerima atau menolak, atau juga merefleksikan apa yang pernah terjadi di masa lampau dan membandingkannya dengan kehidupan sekarang.
Tapi, kekuatan politik lebih kuat sehingga demi kekuasaan banyak manipulasi yang memang sengaja dibuat. Keinginan untuk mengekalkan kekuasaan lebih diutamakan daripada kejujuran terhadap bangsa dan sejarah.
Masyarakat sekarang seolah memang dibutakan dan tidak diperkenalkan dengan sejarah Indonesia secara jujur. Ada banyak dusta yang memang disengaja. Buku-buku terus dihilangkan dan pencegahan-pencegahan masuknya buku ke perpustakaan terus dilakukan dan kebijakan ini dituruti dan dipatuhi dengan sengaja.
Banyak perpustakaan kampus (dan sekolah dasar atau menengah) di Indonesia yang jarang bahkan sengaja tidak mengoleksi buku-buku sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI), kecuali buku resmi versi penguasa (Orde Baru).
Rak-rak buku lebih dipenuhi dengan buku-buku yang konon bisa mengantarkan para siswa atau mahasiswa menjadi sarjana yang berkompeten dalam bidang yang  mereka pilih tanpa ada pertimbangan untuk memperkenalkan siswa/mahasiswa terhadap sejarah secara jujur.
Penghilangan buku dari perpustakaan utamanya dari perustakaan di kampus-kampus ini menjadi bukti tidak ada upaya akademis yang jelas untuk mendukung atau menolak ajaran Marxisme. Dosen-dosen juga jarang menyinggung Partai Komunis Indonesia dan lebih banyak tunduk dan tetap berguru kepada rezim Orde Baru.
Mereka menerima mentah-mentah apa yang diinformasikan Orde Baru. Menghilangkan sejarah seperti menjadi sebuah kesepakatan bersama dan hal ini mengesankan bahwa warisan sejarah yang menceritakan penindasan terhadap kaum ”kiri” (komunis) menjadi realitas yang diterima secara ”ikhlas”.
Orde Baru sudah tumbang, namun sampai sekarang perpustakaan-perpustakaan tetap sepi dari buku-buku tentang komunisme. Upaya menjauh dari komunisme juga menjadi bukti bahwa kebersamaan ditolak dan terpecahnya hubungan yang disertai penindasan menjadi diterima.
Ketakutan terhadap rezim Orde Baru terus dipelihara dan kemudian menyerah terhadap dusta sejarah.       Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Catatan Ahmad Wahib (2013) menarasikan seruan-seruan dan kritik Ahmad Wahib tentang bagaimana dia menjadi muslim yang tak hanya muslim karena opini masyarakat.
Ahmad Wahib menghendaki dirinya menjadi muslim yang benar, menjadi muslim sesuai yang ia yakini. Ia menggali apa sebenarnya muslim dengan mengendapkan dan mengolah pengalaman-pengalamannya yang menjelma menjadi muslim Indonesia yang memberontak.
Ahmad Wahib menulis: Bagaimana aku bisa memusuhi PKI melampaui batas seperti halnya teman-teman. Aku punya teman-teman aktivis ormas PKI. Dan hubungan kami terus baik sampai sekarang. Aku pernah bertetangga dengan mereka, bahkan sampai hari ini. Mereka memiliki putra-putra yang diserahkan padaku untuk diajari agama.
Lewat catatan hariannya Ahmad Wahib mengatakan manusia tidak berhak untuk memusuhi kelompok-kelompok yang oleh kebanyakan orang dijauhi dan bahkan dibenci. Menurut Ahmad Wahib, perbedaan mental, ilmu, dan pengalaman membuat manusia itu berbeda-beda dalam mengambil sikap.
Ini hal yang sulit untuk dibantah. Dan pernyataan-pernyataan itu telah mengantarkan kita pada perspektif-perspektif berbeda dan juga berseberangan bahwa tak selamanya apa yang oleh kebanyakan orang dianggap jelek atau berbahaya harus dihilangkan.
Soe Hok Gie, penulis buku Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, juga menyerukan gugatan ketika melihat keadaan negeri yang kacau dan tak keruan. Soe Hok Gie menggugat saat pemerintah terus-menerus menindas ekonomi rakyat, mengganyang PKI, dan bentuk penindasan yang lain.

Kesadaran
Menurut Soe Hok Gie, menjadi tugas kaum intelingensia untuk mengambil tindakan. Soe Hok Gie menulis: Makin lama aku membaca makin timbul kesadaran ada sesuatu kekuatan yang supranatural, irasional dan tidak dapat dimengerti yang menguasai seluruh masyarakat dan pribadi.
Ia juga menulis: Dan seolah-olah manusia tidak dapat menolaknya apakah sense untuk mengkhianati sebagai kekuatan yang mutlak? Entah. Tapi aku kira begitu. Beberapa bulan yang lalu aku percaya sejarah adalah lokomotif yang dibuat manusia, tetapi manusia sendiri tidak dapat menahannya.
Pengakuan Soe Hok Gine ini mengingatkan kita bahwa seburuk apa pun sejarah tetap tidak bisa dihilangkan dari bumi ini. Sejarah tetaplah sejarah, seburuk apa pun tidak boleh dibungkam atau bahkan dihilangkan.
Upaya akademis bukan hanya memperkenalkan mata kuliah dan mengantarkan mahasiswa sebagai sarjana semata, sedangkan perpustakaan membuang dan tidak memberi tempat untuk sejarah Indonesia.
Kampus yang berguru dan juga masih tunduk terhadap rezim Orde Baru ini menjadi bukti nyata bahwa kampus hanya akan memperkenalkan kepada mahasiswa klasifikasi keilmuan yang lebih condong arahnya pada keinginan-keinginan praktis untuk membentuk mahasiswa bukan sebagai pembaca sejati.
Kita masih beruntung bisa membaca buku Catatan Seorang Demonstran, buku yang menceritakan secara jelas bagaimana keadaan Indonesia dari Orde Lama sampai Orde baru dengan jelas dan bentuk-bentuk penggayangan yang dilakukan PKI.
Perpustakaan tak perlu fobia kepada buku-buku tentang PKI dan sejenisnya. Tiap bacaan akan mencerdaskan. Tiap bacaan yang dibaca dalam kerangka inteletualitas bukanlah untuk melumpuhkan pikiran manusia.

*Mahasiswa Tafsir Hadist IAIN Surakarta

KEDANGKALAN BERFIKIR MEMBACA ZAMAN
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*

Rubrik Mimbar Mahasiswa Solopos edisi 1 Oktober 2013 memuat artikel berjudul Tak Ada PKI di Perpustakaan karya Mutimmadun Nadhifah. Artikel tersebut merupakan bentuk keresahan penulisnya dalam melihat sejarah Indonesia yang dibengkokkan oleh penguasa negeri (pemerintah Orde Baru) yang dampaknya sampai sekarang.
Fenomena sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) ini yang harus ditelusuri ke akar sejarahnya secara mendalam tanpa meninggalkan realitas sekarang: ruang demokrasi terbuka lebar. Menurut saya, substansi artikel tersebut menjelaskan berbagai kegalauan penulisnyadalam membaca kondisi hari ini tentang sejarah Indonesia yang ”kurang benar”.
Saya menggarisbawahi kegalauan penulisnya itu terkait dengan rak-rak buku di perpustakaan yang mewarisi budaya rezim Orde Baru serta tugas dan peran pengajar (dosen atau guru) yang kurang berani menyampaikan pengetahuan sejarah yang sesuai dengan kebenarannya. Itu semua akhirnya berujung pada mahasiswa atau generasi muda sekarang yang kurang berminat memahami dan mempelajari sejarah. Ini berdampak pula pada munculnya generasi yang buta akan sejarah bangsanya sendiri.
Bagi seorang mahasiswa kampus adalah ladang ideologi. Menyimpulkan suatu kondisi hari ini dengan cepat dan pragmatis tanpa mencoba untuk menganalisis dan meneliti kondisi lingkungan, apalagi berbicara mengenai sejarah bangsa, adalah bentuk kedangkalan berpikir. Identitas sebagai mahasiswa yang kelak akan dipertanggungjawabkan di lingkungan masyarakat menjadi kurang bermakna dan berlalu begitu saja.
Kalau kita berpikir lebih luas dan menatap jauh ke depan dengan baik, rasa-rasanya kedangkalan berpikir itu tidak mungkin terjadi kembali. Apa yang tidak mungkin untuk didapatkan pada hari ini? Globalisasi yang semakin dominan membuahkan kemudahan dan kesulitan dalam menginfiltrasi itu seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Saat ini, untuk membaca sejarah masa lalu, berbagai literatur tersedia. Tetapi, kita tidak harus menelan mentah-mentah lieteratur-literatur tersebut. Kita harus selektif, harus dengan metode memilah dan memilih, terlebih jika berbicara sejarah sebagai pembuktian. Kebenaran sejarah menjadi fokus.
Sejarah PKI memang perlu kita telisik kebenaran sejarahnya lebih jauh. Apalagi setelah tragedi 1965 kondisi sosial dan politik di Indonesia begitu mengerikan. Pembantaian massal terhadap mereka dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI adalah salah satunya. Propaganda dan teror yang dilakukan rezim Orde Baru berhasil memengaruhi pola pikir rakyat Indonesia, bahwa yang bersalah dalam tragedi 1965 hanya PKI.
Propogana pemahaman demikian menyebar ke berbagai sektor kehidupan masyarakat. Salah satunya sektor pendidikan. Siswa dan mahasiswa tidak boleh buku-buku tentang PKI. Siswa dan mahasiswa yang diperbolehkan membaca buku-buku terkait PKI versi pemerintah yang berkuasa. Era itu, buku-buku terkait PKI selain versi pemerintah tak boleh ada di perpuspataan.
Tetapi, zaman sudah berganti. Rezim Orde Baru telah runtuh. Pembukaan ruang publik yang berasaskan demokrasi partisipatoris terbuka kian lebar. Kini, tak ada rasa khawatir dan takut saat membaca, menelaah, dan mendiskusikan  sejarah PKI yang sebenarnya guna mencari dan menemukan bukti sejarah yang otentik.
Dulu, buku-buku yang tentang PKI dibakar, baik itu yang bersifat fiksi maupun nonfiksi. Kejadian ini tergambar jelas dalam kesaksian Pramoedya Ananta Toer, salah satu novelis terkenal Indonesia yang beberapa karyanya dibakar. Novel karyanya yang dikenal sebagai Tetralogi Pula Buru, yaitu Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca pernah dilarang dan bahkan dibakar.
Tapi, hari ini di ruang demokrasi yang kian lebar menyuburkan penerbitan buku tentang PKI. Siswa dan mahasiswa tentu berhak membacanya agar tak lagi terkungkung pemahaman satu versi. Kini, banyak buku tentang PKI, orang-orang PKI, dan komunisme.
Buku-buku itu, misalnya  Penghancuran PKI karya Olle Tornquist, Madiun 1948; PKI Bergerak karya Harry A. Poeze, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan karya Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah karya Soe Hok Gie, Badai Revolusi karya Arbi Sanit, Kemunculan Komunisme di Indonesia karya Ruth Mc Ivey, Dalih Pembunuhan Massal karya John D. Rossa dan masih banyak lagi.
Buku-buku itu tak hanya tersedia di ruang khusus di perpustakaan, melainkan juga terdapat di perpustakaan-perpustakaan bebas yang tidak tersekat oleh batasan-batasan formalitas. Buku-buku itu juga dijual bebas di toko-toko buku

Kesadaran Sejarah
Persoalan literatur sejarah seharusnya tidak menjadi masalah yang begitu pelik. Saya duga Mutimatun Nadhifah belum mengetahui dan membaca buku-buku sejarah PKI yang begitu banyak. Hasilnya terlihat dari pembacaannya dangkal dan tak berdasar. Sungguh menggelikan memang jika menyimpulkan suatu kondisi yang terkait dengan sejarah secara terlalu cepat dan pragmatis seperti itu.
Mahasiswa hari ini wajib menguatkan budaya dan laku intelektual: membaca, berdiskusi, dan mengoreksi penyelewengan sejarah itu. Dengan laku ini timbul kesadaran diri mahasiswa dalam membaca kondisi hari ini yang berkaitan tentang sejarah.
Saya pikir kajian-kajian tentang PKI dan sejarahnya oleh mahasiswa juga tidak surut. Kampus-kampus sekarang memfasilitasi kajian hal-hal tersebut. Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pernah ada bedah film berjudul The Act of Killing atau karya Joshua Openheimer. Film ini berkisah tentang seseorang yang membunuh anggota PKI atau orang-orang yang dianggap anggota PKI.
Diskusi tentang film ini adalah proses membangun dan membangkitkan kesadaran sejarah dan upaya meluruskan sejarah dalam wacana keilmuan dan pengetahuan. Mempermasalahkan tidak adanya buku-buku tentang PKI di perpustakaan justru mengerdilkan daya intelektual mahasiswa.

*Mahasiswa Aktif UMS

Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan

TANGGAPAN OPINI SOLOPOS EDISI SELASA (18/03/2014)

Risalah Mapala
Oleh: Abdur Rohman*

Pada 1953, setelah selesainya revolusi dan negeri ini berhasil meraih kemerdekaan, ada beberapa mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pendidikan di Universitas Indonesia (UI) di Bogor ingin mengisi kemerdekaan dengan kecintaan terhadap negeri ini yang diwujudkan dengan mencintai alam.
Salah satu mahasiswa itu bernama Awibowo. Bersama beberapa kawannya, dia ingin mendirikan perkumpulan yang punya kegiatan-kegiatan di alam bebas. Saat itu mereka berkumpul dan berdiskusi menentukan istilah yang akan dipakai untuk menyebutkan perkumpulan itu.
Ada usulan untuk memakai istilah ”penggemar alam” atau ”penyuka alam”. Tapi, pada saat itu, Awibowo mengusulkan istilah ”pencinta alam”. Bagi dia, cinta lebih dalam maknanya daripada gemar atau suka. Gemar atau suka mengandung makna eksploitasi belaka.
Cinta mengandung makna mengabdi. Akhirnya, istilah ”pencinta alam” diterima. Kemudian, mereka menamai perkumpulan mereka itu dengan sebutan Perkumpulan Pencinta Alam (PPA).
Setelah terbentuk, PPA benar-benar mengisi kemerdekaan dengan didasari mencintai negeri dan semangat nasionalisme yang tinggi. Perkumpulan ini mengadakan beberapa kegiatan seperti ceramah-ceramah, penerbitan majalah, pertunjukan film tentang lingkungan alam, wisata alam, dan sebagainya.
Saat itu, PPA mampu menjadi wadah bagi pencinta alam untuk mengisi kemerdekaan dan mengabdi kepada negeri. Namun, sayangnya, karena situasi politik dan pengaruh komunis begitu kuat, pada akhir 1950-an, PPA tak terdengar lagi namanya. Kemudian tahun 1964, tepatnya pada 19 Agustus, mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra UI mendirikan Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi (IPAM) di Gunung Pangranggo.
Anggota IPAM hanya beberapa orang mahasiswa Jurusan Arkeologi. Sayangnya, kelompok ini hanya berumur beberapa bulan. Kemudian muncul ide untuk mendirikan organisasi pencinta alam khusus bagi para mahasiswa sastra. Ide itu muncul dari pemikiran Soe Hok Gie pada 8 November 1964.
Akhirnya, pada 12 Desember 1964, berdirilah kelompok pencinta alam Sastra UI. Salah satu anggotanya, Udin, mengususlkan agar dinamai Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam (Impala). Namun, pada akhirnya, nama yang diterima adalah Mapala Prajnaparamitha. Nama ini usulan Moendardjito.
Selain singkatan dari mahasiswa pencinta alam, kata ”mapala” juga berarti berbuah atau hasil, dan Prajnaparamitha adalah Dewi Ilmu Pengetahuan. Mapala Prajnaparamitha inilah yang akhirnya berubah nama menjadi Mapala Universitas Indonesia (Mapala UI) hingga saat ini.

Alam dan Buku
Berbicara tentang pencinta alam tak melulu tentang mendaki gunung, menyusuri gua, menjelajahi hutan, panjat tebing, dan kegiatan alam bebas lainnya. Dari nama awal, yakni Mapala Prajnaparamitha, mengesankan bahwa kegiatan mapala haruslah berkontemplasi dalam dunia buku.
Mapala UI sudah membuktikan bahwa pencinta alam haruslah bergerak dalam dunia buku. Mereka pernah menerbitkan buku berjudul Di Bawah Panji Kehormatan. Buku itu berisi artikel-artikel perjalanan Mapala UI yang pernah dimuat di Kompas, Majalah Mutiara, Majalah Gadis, Warta UI, dan Buletin Mapala UI.
Buku itu juga menjadi bukti bahwa pencinta alam juga harus berkontemplasi dalam dunia kata. Selalu menulis dan ada baiknya disampaikan ke media massa. Buku itu memang dimaksudkan untuk merangsang pencitna alam lain agar rajin menulis di media massa, agar masyarakat umum bisa mengikuti semua kegiatan yang mereka lakukan (Ganezh, 2005).
Jejak pencinta alam yang berkontemplasi dalam dunia buku juga bisa kita lihat dalam buku Di Puncak Himalaya Merah Putih Kukibarkan. Buku ini berkisah tentang keberhasilan tim Indonesia (gabungan Kopassus, Wanadri, Mapala UI, dan Federasi Panjat Tebing Indonesia/FPTI) menjejaki puncak tertinggi di dunia, Mount Everest, pada 1997.
Keberhasilan ini membawa Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu mendaki puncak Everest. Buku itu begitu heroik dan membanggakan. Dalam dunia buku dan ilmu pengetahuan, kita mempunyai tokoh panutan bernama Norman Edwin.
Norman adalah pencinta alam sekaligsu intelektual yang bisa dijadikan rujukan para pencinta alam. Bagi Norman, menjadi pencinta alam bukan hanya berpetualang di alam bebas, tetapi juga berpetualang dalam tulisan, dalam dunia kata.
Norman merasa berdosa jika saat atau setelah berpetualang, ia tidak menulis. Norman seolah mewajibkan dirinya untuk selalu menulis. Ambisinya ini ia pertegas dengan menerbitkan buku berjudul Mendaki Gunung Sebuah Tantangan Petualangan. Buku yang terbit pada 1987 itu banyak mengilhami pencinta alam muda.
Norman tidak setengah hati dalam menulis dan menekuni kegiatan alam bebas. Dia gemar membaca, dia juga seorang kolektor buku. Ada dua rak buku berukuran besar di dalam kamarnya. Di antara buku-bukunya itu, banyak buku terbitan asing.
Bahkan  jika ada kawan-kawannya yang lebih menguasai bahasa Belanda, Norman meminta kawannya itu untuk menerjemahkan buku berbahasa Belanda yang dia beli. Norman seolah menyatakan menjadi pencinta alam sebaiknya memiliki perpustakaan pribadi, memiliki banyak buku.
Saat ini, ketika hampir di setiap perguruan tinggi memiliki mapala, bahkan di setiap fakultas pun juga memiliki mapala, mudah-mudahan mereka mampu meneruskan jejak langkah para “senior” mereka tersebut: bergerak dalam dunia buku, ilmu pengetahuan, dan mencintai negeri ini. Semoga saja.
                        *Mahasiswa Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret

Risalah Gerakan Mahasiswa
(Tanggapan terhadap opini saudara Abdur Rohman)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*

“Sejarah dunia adalah sejarah orang muda. Jika angkatan muda mati rasa, matilah semua bangsa”
            Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah sejarah pergerakan nasional. Sejarah pergerakan nasional adalah sejarah anak-anak muda. Dan mahasiswa adalah salah satu manifestasi orang muda yang ikut serta dalam melakukan pergerakan nasional dan akhirnya terwujud revolusi Indonesia. Kita tahu Republik ini berdiri diatas teriakan keras Sukarno, pembacaan tepat Moh. Hatta, pikiran cemerlang Sutan Sjahrir dan kepiawaian Tan Malaka. Beliau-beliau itu adalah produk dari pendidikan tinggi yang diwarnai kuat oleh hidupnya organisasi gerakan.
            Berbicara tentang organisasi mahasiswa maka alangkah baiknya tidak mendikotomikan organisasi mahasiswa yang bersifat intra-kampus, ekstra-kampus, minat dan bakat atau organisasi pergerakan. Karena pada dasarnya semua organisasi mahasiswa adalah satu tujuan. Pada prinsipnya organisasi mahasiswa adalah sebagai wadah pengembangan dan pengkayaan intelektual mahasiswa dalam menghadapi persoalan baik itu yang lingkupnya mikro (kampus/lokal) maupun makro (nasional).
            Risalah gerakan mahasiswa adalah salah satu bentuk bagaimana posisi, peran, fungsi dan tujuan mahasiswa itu ditetapkan sebagai garis politik perjuangan mahasiswa. Dan organisasi mahasiswa sebagai wadah yang bertujuan untuk mengakomodir setiap ide-ide, gagasan dan pikiran mahasiswa yang sesuai dengan khittah gerakan mahasiswa (moral force) yang menyoalkan tentang ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kesenjangan dan yang lainnya adalah yang perlu diprioritaskan.
            Tak heran jika dalam setiap aksinya mahasiswa yang terwadahi dalam bentuk organisasi sebagai kelompok penekan (pressure group) harus mampu merebut tahta kekuasaan dan dukungan massa yang seluas-luasnya. Ini baru gerakan mahasiswa.
            Menurut Eko Prasetyo, dalam bukunya yang berjudul Bangkitlah Gerakan Mahasiswa (2014) menyebutkan bahwa tugas dasar gerakan mahasiswa tetap tak berubah, mendorong secara agresif terbentuknya situasi pendahuluan dimana massa terlibat dalam konfrontasi. Konfrontasi dapat meledak jika sedari awal massa maupun mahasiswa melakukan analisa yang cermat atas situasi. Situasi merupakan sumber pembelajaran yang bisa menampilkan ekonomi-politik yang sesungguhnya. Situasi yang dapat menjelaskan bagaimana pergulatan ekonomi-politik itu terjadi. Pada sisi itulah konfrontasi jadi tesis yang mengikat dan menyatukan antara perubahan dan peristiwa. Tiap perubahan harus memunculkan peristiwa dan pada tiap peristiwa semustinya menampilkan perubahan. Intinya gerakan mahasiswa adalah kesatuan antara teori dan praktek.
Selain itu presentasi Ernest Mendel dalam Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner di Education Auditorium di  New  York University  pada tanggal  21  September  1968  yang dihadiri lebih dari 600 orang menguatkan bahwa gerakan mahasiswa adalah kesatuan antara teori dan praktek. Berikut presentasinya: “Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme  dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maka timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri  di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan”.
Lanjutnya yang lebih spesifik lagi mengenai kesatuan teori dan praktek dalam melihat perkembangan gerakan mahasiswa, beliau berujar: “Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan  tentang pemisahan kerja manual dan kerja  pikiran  dalam gerakan  revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi  yang  baik jika tidak terlibat dalam aksi,  dan  tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima,  memperkuat dan memajukan teori”. 
Belajar dari Soe Hok Gie
            Kita tahu Soe Hok Gie adalah sosok aktivis mahasiswa angkatan -66, yang kebanyakan orang tahu beliau adalah salah satu penggagas berdirinya organisasi pecinta alam khusus bagi para mahasiswa Fakultas Sastra UI. Kita juga pasti tahu bahwa Soe Hok Gie adalah salah satu penulis mahasiswa yang produktif. Tengok bukunya yang berjudul Zaman Peralihan, buku tersebut adalah kumpulan-kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang dimuat media massa. Dan salah satu tulisannya yang sering diperbincangkan dikalangan mahasiswa pada saat itu adalah Pelacuran Intelektual. Selain itu bukunya yang terkenal yang menjadi perjalanan hidupnya selama menjadi aktivis mahasiswa, sampai-sampai difilmkan oleh sutradara terkenal dengan biaya produksi yang mahal berjudul Catatan Seorang Demonstran adalah bentuk bukti rekam jejak seorang aktivis mahasiswa yang mampu menyatukan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa. Terutama dalam kegigihannya mengkritik situasi yang tidak memihak pada rakyat kecil yang tertindas. Beliau sangat gigih dan berani untuk melawan.
            Lantas, apa yang dirisaukan? Ya, saat ini sudah banyak aktivis mahasiswa yang suka membaca buku teoritis, pintar menulis dengan baik dan benar, entah itu sesuai dengan pedoman ilmiah (PKTI) atau menulis bebas. Tapi pernahkah aktivis mahasiswa tersebut memimpin gerakan dan mahir mengorganisir massa untuk menuntut hak-haknya yang belum tercapai. Saya pikir minim aktivis mahasiswa yang berani mengangkat megaphone ditengah-tengah jalan, ditengah-tengah kerumunan massa, dibawah terik matahari bersama rakyat untuk meneriakkan keadilan, kebenaran, kebebasan dan kesetaraan dengan tujuan tuntutan segera dipenuhi. Kesimpulan sementara apa yang ditulis oleh Soe Hok Gie Pelacuran Intelektual dan Julian Benda Pengkhianatan Kaum Intelektual adalah pekerjaan rumah yang berat bagi gerakan mahasiswa kedepan. Jika alam, buku dan aksi tidak disatukan, kesatuan teori dan praktek mustahil tercipta, gerakan mahasiswa yang merisalahpun jauh dari harapan . Mungkin begitu.

*Mahasiswa aktif UMS Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
















POLEMIK MIMBAR MAHASISWA SOLOPOS

Intelektual Profetik, Muslim Negarawan
Oleh: Nurul Hidayati*
            Beberapa hari lalu saat hendak ke Selo, Boyolali, saya di jalan bersalip-salipan dengan dua orang mahasiswi yang merupakan anggota organisasi pergerakan mahasiswa ekstrakampus.
            Saya tahu mereka adalah anggota organisasi pergerakan mahasiswa saat membaca tulisan di bagian belakang jaket yang dipakai salah satu dari mereka. Bagian belakang jaket itu bertuliskan “Muslim Negarawan” yang ditulis dengan huruf kapital.
            Kemudian, saya berpikir tentang kawan-kawan di organisasi yang saya ikuti yang sering mencantumkan tulisan “Intelektual Profetik” di bagian belakang jaket. Jika dikaitkan, kedua organisasi itu saling berhubungan.
            Bagi mahasiswa yang kenal dengan dunia pergerakan mahasiswa, kedua istilah di atas bukanlah kalimat yang aneh dan sering didengar. Istilah “Intelektual Profetik” dan “Muslim Negarawan” memang dua istilah terpisah yang menjadi jargon dua organisasi pergerakan mahasiswa dan organisasi kader.
            Siapa tidak kenal Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim (KAMMI). Dua organisasi ini hidup di kampus, baik secara terang-terangan maupun bersembunyi di balik kegiatan kampus. Dua istilah itu adalah jargon yang baru berkembang beberapa tahun terakhir. IMM dengan “Intelektual Progresif” dan KAMMI dengan “Muslim Negarawan”
            Di sini saya tidak akan membicarakan dua istilah itu satu per satu secara mendalam, melainkan bagaimana dua istilah itu membentuk pribadi mahasiswa yang nantinya turun juga sebagai warga Negara pada umumnya.
            Dalam dunia pendidikan, mahasiswa adalah sekelompok pelajar eksklusif yang duduk di kursi universitas. Keberadaan mahasiswa di universitas seharusnya terhubung langsung dengan masyarakat untuk menciptakan pemikiran kritis solutif sehingga ilmu mereka tidak hanya bermanfaat bagi mereka, melainkan juga bagi masyarakat.
            Akan tetapi, yang terjadi sekarang adalah mahasiswa disuguhi dengan berbagai iming-iming sehingga mahasiswa hanya memusatkan pikiran pada dunia kampus. Mereka dihidupi kampus dengan nyaman dan dituntut untuk memiliki nilai tinggi dan cepat lulus sehingga kadang sebagian mahasiswa menjadi pribadi yang apatis.
            Selain itu, tentunya mahasiswa dihadapkan pada persaingan mendapatkan pekerjaan setelah lulus. Di sinilah terjadi kesalahan yang dilakukan kebanyakan kampus sekarang. Tidak jarang kampus hanya jadi pencetak pekerja professional bukan pencipta inovasi.
            Terlepas dari dunia kampus dan kembali pada dua istilah di atas, serta mengesampingkan bagaimana persaingan antara dua oganisasi pergerakan mahasiswa, IMM dan KAMMI, intelektual profetik dimaknai sebagai cendekiawan yang mampu memberikan contoh dan atau innovator serta memberikan teladan berdasarkan sifat-sifat kenabian.
            Dengan berdasarkan pada sifat-sifat kenabian yang tentunya memiliki pemahaman yang mendalam ihwal agama, seorang cendekiawan akan selalu memperhatikan norma-norma yang berlaku dalam agama maupun masyarakat.
            Bila ia menjadi pemimpin, ia akan disegani rakyat maupun pesaing. Ia akan mampu menjadi pengayom siapa pun. Ini tidak hanya berlaku pada pemimpin dalam ranah politik, namun juga pada ranah masyarakat yang lebih luas.
            Konsep intelektual profetik memunculkan banyak spekulasi tentang apa yang akan terjadi dengan si pelaku konsep ini. Pada konsep ini, seorang pelaku yang benar-benar memainkan perannya dalam kehidupan nyata serta dihayati tanpa pura-pura akan mampu menempatkan diri dalam berbagai aspek tanpa memandang mana yang penting dan mana yang tidak.
            Ia sadar bahwa sekecil apapun masalah bila tidak ditangani dengan cepat akan menjadi masalah yang besar. Seperti halnya luka kecil yang dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya penyembuhan, lama-kelamaan akan bertambah parah.
            Spekulasi terkuat adalah ia menjadi seorang cendekiawan dan pribadi seperti dua sisi mata uang yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Dua sisi mata uang bukan berarti ia memiliki perbedaan yang tidak bisa disamakan, namun perbedaan itu dijadikan sebagai unsur pelengkap dan berfungsi ganda.
            Dengan kata lain ia menjadi pribadi yang fleksibel sehingga mampu hidup dalam dua wadah atau lebih yang berbeda di masyarakat. Spekulasi lain, dengan pemahaman yang mendalam perihal agama, seseorang yang mampu mengaplikasikan konsep intelektual profetik dapat menjadi pemikir jalan tengah antara agama dan ilmu-ilmu modern.
            Ilmu-ilmu modern ini disebut Syed Naquib Al Atas sebagai ilmu sekuler (pemisahan ilmu pengetahuan dengan agama). Terkait hal ini Fazlur Rahman mengemukakan konsep neo-modernisasi, Al Atas dengan islamisasi ilmu, demikian juga dengan Wan Mohd. Nor Wan Daud.
            Serta masih banyak lagi penggagas pemikiran Islam yang mencoba menyatukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan Al-Qur’an dan hadis diabad XX lalu. Juga ada Kuntowijoyo yang terkenal dengan konsep pengilmuan Islam.
            Di balik konsep-konsep yang dicetuskan oleh para cendekiawan itu tidak terlepas dari keberadaan masyarakat Islam pada zamannya. Abad XX bisa disebut sebagai awal kesadaran kembali para cendekiawan muslim terhadap dominasi Barat di Negara Islam (Negara berpenduduk mayoritas muslim).
            Negara Islam terjebak dalam dunia dualisme ilmu, yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler. Menurut Haidar Bagir dan Zainal Abidin dalam kata pengantar buku karya Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, akibat dualisme ini menyebabkan pengabaian salah satu ilmu.
            Spekulasi lainnya, seorang intelektual profetik bisa menjadi politikus. Menurut M. Dawam Rahardjo dalam buku karya Denny J.A, Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an, peranan profetik generasi muda adalah bagaimana menciptakan sebuah birokrasi yang lebih human dan berorientasi kepada rakyat kecil. Ungkapan Dawam Rahardjo secara spesifik memang tidak menyebutkan peran pemahaman agama dalam menciptakan generasi yang humanis.
            Akan tetapi, seseorang yang memiliki pemahaman agama yang mendalam pasti tidak diragukan lagi akhlak yang dibentuk pengetahuannya. Sebab, dalam agama selalu mengajarkan umatnya untuk bersikap baik kepada semua makhluk.
            Dari sinilah muncul istilah muslim negarawan. Yaitu seorang muslim yang tampil dalam dunia politik dengan tidak meninggalkan ajaran agama yang sebagai pijakan dalam mengambil setiap keputusan.
            Ketika membicarakan muslim negarawan maka teringat pada tokoh yang pernah menjadi menteri penerangan saat Indonesia menerapkan system parlementer. Dia adalah pemimpin partai Masyumi, Mohammad Natsir.
            Natsir adalah sosok menteri yang selalu berpegang teguh pada ajaran Islam ketika menjalankan tugasnya. Bahkan, selepas menjadi pejabat Negara ia tetap menjadi pribadi yang agamis, sederhana, dan bersahaja. Ia adalah seorang ulama yang cakap dalam bidang politik.
            Pemikiran-pemikiran Natsir terkenal dan sangat berpengaruh bagi pergerakan Islam di Indonesia dan Negara-negara semenanjung Melayu seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Di Malaysia, pemikiran-pemikiran Natsir memengaruhi arah gerak Partai Islam se-Malaysia (PAS), bahkan dikaji dalam pertemuan-pertemuan. Salah satu tokoh PAS yang terkenal dab terpengaruh pemikiran Natsir adalah Anwar Ibrahim.
            Berangkat dari konsep intelektual profetik dan muslim negarawan, mari berkaca pada kandidat-kandidat calon pemimpin kita yang dipilih pada 9 April lalu. Adakah kandidat yang mampu meneladani sikap Natsir dalam menjalankan tugas di parlemen nanti?
            Adakah kandidat yang sikap hidupnya sederhana dan selalu berpijak pada ajaran agama? Serta, pertanyaan utama, adakah kandidat dari kalangan terdidik yang bisa menerapkan kedua konsep tersebut? Bila ada, akan sangat pantas memimpin Negara ini yang ini bisa dikatakan mulai kehilangan akal sehat.
            Seorang intelektual yang cerdas dan pemahaman agamanya mendalam akan sangat terbuka pikirannya terhadap budaya baru. Ia akan memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk diterapkan. Jadi, menurut saya, silahkan jika mahasiswa mau kembali berideologi seperti sebelum ada depolitisasi kampus saat orde baru. Jangan jadikan kampus sebagai arena untuk berkampanye guna memenangkan salah satu partai politik. Jadilah generasi profetik.

            *Penulis adalah mahasiswa jurusan ilmu Sejarah
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Kepala Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Ki Bagus Hadikusumo



Memaknai Intelektual
Oleh: Adhitya Yoga. Pratama*
             Setelah membaca mimbar mahasiswa edisi Selasa (15/04/2014) yang berjudul “Intelektual Profetik, Muslim Negarawan” menjadi ketertarikan tersendiri bagi saya untuk mengkritisi opini tersebut. Bagaimana tidak tertarik coba? Kajian tentang sejarah dan perkembangan intelektual yang begitu pesat serta perdebatan mengenai posisi, peran, fungsi dan tujuan intelektual sampai detik ini tidak pernah selesai untuk diperbincangkan.
            Hal yang menjadi ketertarikan saya untuk mengkritisi opini tersebut salah satunya adalah pencantuman nyanyian dogmatik atau pseudo-populis dari salah satu organ gerakan mahasiswa yang berkembang pesat di kampus. Disebutkan IMM yang berjargon “Intelektual Profetik” dan KAMMI yang berjargon “Muslim Negarawan” didalam opini tersebut. Pertanyaannya apakah jargon-jargon yang mulia itu mampu memberikan stimulus bagi para anggotanya (baca: individu) dalam melakukan kegiatan intelektual. Atau justru terjebak dalam romantisisme sejarah gerakan mahasiswa yang dulu berhasil menggusur status quo.
            Kemudian yang menjadi kejanggalan dibenak saya adalah korelasi antara intelektual profetik, muslim negarawan dan suksesi kepemimpinan nasional (PILEG 2014) yang bagi saya kurang relevan ketika mempersoalkan peranan intelektual.
            Karena pada dasarnya intelektual adalah individu dengan peran publik tertentu dalam masyarakat yang tidak dapat direduksi begitu saja menjadi nir wajah, anggota kelas yang hanya berkompeten dalam bidangnya saja. Fakta utama intelektual adalah individu yang dikarunia bakat untuk merepresentasikan, mengekspresikan, dan mengartikulasikan pesan, pandangan, sikap, filosofis dan pendapatnya kepada publik. (Edward W. Said; Peran Intelektual: 2014).
            Kaum intelektual bukan bukan hanya tinggal di puncak menara gading. Tetapi juga terlibat dalam pergumulan sosial yang total dalam membangun pencerahan peradaban dan kebudayaan umat manusia.
            Setelah terkoreksi apa yang menjadi kelemahan penulis dalam memaparkan apa itu sebenarnya intelektual. Mari kita telaah secara bertahap. Julien Benda dalam karya termashyurnya The Treason Of The Intellectuals menyebutkan bahwa intelektual ada dalam ruang lingkup yang universal tidak terikat baik oleh batasan Negara maupun identitas etnik. Jelas sekali, jangankan mengunggulkan satu golongan atau kelompok tertentu dalam lingkup mahasiswa dengan ortodoksi dan dogmatik yang romantik. Hal yang semacam itu justru menjadikan seseorang mudah terkooptasi dengan kepentingan tertentu dan koorporasi. Lokus luas saja yang berskala nasional yaitu bangsa dan tradisi sebisa mungkin untuk dikesampingkan ketika menjalankan fungsi sebagai intelektual.
            Yang menurut Edward W. Said figur intelektual yang dimaksudnya adalah seseorang yang berbicara tentang kebenaran kepada penguasa, yang tanpa tedeng aling-aling, fasih, sangat berani, dan individu pemberang. Bagi intelektual tak ada kekuasaan yang terlalu besar untuk di kritik. Dan mengkritiknya adalah tugas intelektual.
            Peran sosial yang penuh pergumulan itu bahkan diambil dengan resiko abadi, yakni harus berhadapan dengan tembok kekuasaan yang dzalim. Lihatlah perjuangan Socrates, sebagai salah seorang bapak kaum filosof dan menjadi rujukan klasik dalam dunia pemikiran intelektual, terlibat langsung dalam mendidik rakyat.
            Socrates bahkan harus berakhir dengan kematian yang tragis sebagai pilihan dari sikap intelektualnya dalam mempertahankan kebenaran dari tirani kekuasaan.
            Kemudian daripada itu konsekuensi logis dari mereka-mereka yang disebut sebagai intelektual adalah mereka yang menjalankan kegiatan intelektual. Tujuan dari kegiatan intelektual sendiri adalah bagaimana meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia seluas-luasnya. Dalam lingkup mahasiswa kegiatan intelektual yang harus dijalankan adalah kegiatan-kegiatan yang mencirikan masyarakat ilmu (baca: kampus), dimana iklim akademis berkembang pesat dengan kajian-kajian akademis yang analitik dengan mempersembahkan investigasi rasional dan timbangan moral. Inti dari kegiatan intelektual adalah kegiatan-kegiatan yang menyadarkann bagi penguasa yang lupa terhadap persoalan-persoalan bangsa.
 Konteks organisasi gerakan mahasiswa adalah seperti yang disebutkan oleh Pramoedya Ananta Toer “didiklah penguasa dengan perlawanan dan didiklah rakyat dengan organisasi”. Jika organisasi-organisasi kemahasiswaan dalam kegiatannya berbudaya intelektualis. Maka tak bisa dipungkiri peranan intelektual tercapai.
Dan seiring perkembangan zaman yang pesat, politik ada dimana-mana. Hal yang semacam ini mengharuskan intelektual menempatkan diri sejajar dengan kelompok yang lemah dan tak terwakili. Terlepas dari adanya suksesi kepemimpinan nasional yang semrawut penuh dengan kecurangan-kecurangan disana-sini dengan hadirnya pemimpin-pemimpin yang kurang lebih 80-90% tidak ada bedanya dengan pemimpin tahun lalu yang duduk di Senayan.
Sedangkan Ali Syaria’ti, Sosiolog Iran, menyatakan bahwa pemihakan yang paling cocok bagi seorang intelektual adalah kepada pihak yang tertindas dan lemah. Dalam ungkapannya seorang Rawsyan Fikr adalah lapisan intelektual yang tercerahkan dan tidak picik mengenyampingkan nasib yang terpinggirkan.
Pada dasarnya intelektual adalah kaum-kaum yang resah, kaum yang tidak mencipta konsensus dan kedamaian melainkan mereka yang selalu kedatangannya ditandai oleh sikap yang kritis dan memiliki cita rasa yang berbeda untuk tidak dapat menerima rumus-rumus yang sederhana atau sesuatu yang tanpa bergejolak dan akomodatif pada kekuasaan dengan tidak melakukan sesuatu yang di inginkan bagi penguasa.
            Maka pekerjaan intelektual yang mulia segera harus di jalankan yaitu bagaimana mempertahankan Negara dengan kewaspadaaan untuk tidak membiarkan keadilan dan kebenaran yang diselewengkan atau menerima satu ide yang dapat menguasai seluruh kehidupan. Mungkin begitu.  
*Penulis adalah Mahasiswa UMS
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan