Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Apa yang kau pikirkan ketika pertama
kali mendengarkan karya ilmiah? Pasti kau akan menjelaskan bahwa karya ilmiah
adalah sesuatu yang di karyakan oleh orang lain, atas dasar perbenturan antara kreativitas
pikiran dan kondisi sosial seseorang yang diilmiahkan secara objektif, rasional
dan logis. Dan kau pasti akan menjawab bahwa karya ilmiah itu bentuknya
bermacam-macam dan banyak jenisnya. Biasa pasti kau menyebutkan bahwa tulisan
di surat kabar, hasil penelitian, skripsi, thesis dan disertasi yang
terpublikasikan adalah jenis-jenis karya ilmiah.
Tetapi coba kau tanyakan pada
birokrat kampus dengan pertanyaan yang serupa. Apa yang kau dengar, pasti akan
membuatmu geli sekaligus memprihatinkan. Bagaimana tidak? Sikap birokrat kampus
yang tidak menunjukkan warga masyarakat ilmu (baca: kampus), tanpa landasan
falsafati yang jelas dan berpandangan yang sempit akan kau dengar. Ya,
pengalaman itu saya dapatkan ketika tulisan saya dimuat di surat kabar Solopos, bagian Mimbar Mahasiswa. Alangkah mengejutkan saya ketika sikap birokrat
tersebut tidak mengapresiasi serius karya ilmiah saya yang terpublikasi di
surat kabar lokal terkenal di kota Solo tersebut.
Dan jawaban yang terlontar dari
birokrat tersebut dan sempat saya dengarkan adalah “Tulisan apa, dimana, dan kapan” sembari saya menjelaskan secara
rinci, beliau justru enggan lama-lama dengan saya. Maka secara spontan ia
meninggalkan saya tanpa ada jawaban yang memuaskan bagi saya. Padahal niatan
saya adalah untuk membuktikan kepada kampus bahwa tulisan saya termuat. Karena
salah satu indikator akreditasi universitas adalah seberapa banyak karya ilmiah
mahasiswa yang terpublikasikan.
Hal ini menjadi bukti baru bahwa
peran birokrat kampus kita hari ini tidak berjalan dengan baik. Tidak pernah
membaca karya-karya mahasiswa yang termuat di surat kabar dan mengapresiasi
karya tersebut adalah bukti nyata bahwa birokrat jauh dari peranannya, justru
yang terjadi adalah tindak diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pembedaan yang
sempit karya ilmiah mahasiswa oleh birokrat kampus. Padahal setelah saya
kroscek kembali, ternyata birokrat kampus tersebut adalah birokrat yang
menangani terkait karya ilmiah mahasiswa. Sungguh ironis. Disaat salah satu
karya ilmiah mahasiswanya termuat di surat kabar, justru yang terjadi adalah
pengabaian dan memandang sebelah mata tulisan di surat kabar. Lantas selama ini
apa yang dipikirkan oleh birokrat kampus itu tentang karya ilmiah mahasiswa?
Ternyata apa yang menjadi dugaan aktivis
mahasiswa selama ini memang benar. Karya ilmiah yang dipahami oleh birokrat
kampus hanyalah sebatas Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Kita tahu bahwa
program kreativitas ini adalah program yang diselenggarakan oleh Direktorat
Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang bertujuan untuk mengembangkan daya nalar
mahasiswa untuk mengkreasikan gagasannya. Berbagai macam PKM ditawarkan oleh
DIKTI kepada mahasiswa yang berminat pada pengembangan kreativitas dengan
bekerja sama dengan bidang kemahasiswaan. PKM yang dimaksudkan itu adalah PKM
Penelitian (PKM-P), PKM Penerapan Teknologi (PKM-PT), PKM Kewirausahaan
(PKM-K), PKM Pengabdian Masyarakat (PKM-PM), PKM Penulisan Artikel Ilmiah
(PKM-PAI) dan PKM Gagasan Tertulis (PKM-GT).
Dan yang menjadi keheranan bagi saya
adalah program yang seperti ini di jadikan sebagai tujuan oleh birokrat kampus
untuk menekan mahasiswa agar selalu mengikuti PKM ini kalau perlu hingga ke
tingkat nasional. Sehingga yang terjadi adalah memandang sebelah mata karya
ilmiah mahasiswa yang lain.
Padahal kalau kita menilik kembali
apa yang diperbuat oleh Soe Hok Gie. Maka akan kita ketahui bahwa ternyata
karya ilmiah mahasiswa itu tidak hanya sebatas PKM, melainkan tulisan-tulisan
yang berbentuk pendapat atau opini juga termasuk dalam karya ilmiah mahasiswa.
Bahkan tingkat mempengaruhi terhadap kahalayak ramai justru lebih efektif dan
minim birokrasi tulisan-tulisan yang berada di surat kabar.
Soe Hok Gie merupakan tokoh muda
yang menonjol karena berbagai pemikiran, kritikan dan tulisannya di berbagai
media pada jamannya. Gie (panggilan akrab) adalah pemuda brillian, humanis,
penuh integritas, jujur, berani dan gandrung naik gunung. Hok Gie dikenal
sebagai penulis produktif dibeberapa media massa seperti Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia dan Indonesia
Raya. Sekitar 35 karya tulisnya atau sepertiga dari seluruh karyanya selama
rentang waktu tiga tahun orde baru sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul
Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Koran Kompas menjadi salah satu koran
yang mengabadikan tulisan-tulisan Soe Hok Gie. Tahun 1967, tulisan perjalanan
Soe Hok Gie berjudul Menaklukkan Gunung
Slamet dimuat koran Kompas edisi 14, 15, 16 dan 18 September 2011. Ketika
koran Kompas mulai menguasasi angka penjualan surat kabar secara nasional pada
tahun 1969, tulisan-tulisan Soe Hok Gie juga semakin banyak dimuat di koran
Kompas. Soe Hok Gie Kerap menulis kritik-kritik kepada pemerintah dan kampusnya
(UI), misalnya tulisan Betapa Tak
Menariknya Pemerintah Sekarang pada Juli 1969 dan Pelacuran Intelektual. Tulisan
Soe Hok Gie yang berjudul Generasi yang
Lahir setelah tahun empat lima dimuat di koran Kompas edisi 15 Agustus
1969. Pada hari itu, Soe Hok Gie juga pergi ke kantor Kompas untuk mengambil
honor tulisannya namun ternyata keuangan Kompas sedang terganggu.
Akademisasi Birokrat Kampus
Melihat
gejala birokrat yang kurang greget dalam menjalankan aktivitas akademik.
Walaupun gelar banyak terpampang dibelakang nama birokrat. Dimana yang
seharusnya semakin tinggi gelar kesarjanaan, semakin tinggi pula tanggung jawab
intelektualnya. Sekarang jauh dari harapan, semakin tinggi gelar kesarjanaan
bukan menjadikan suatu beban akan tugas dan tanggung jawab intelektual
melainkan menyepelekan dan menggampangkan adalah suatu gambaran sarjanawan
sekarang. Akhirnya semakin banyak mereka-mereka yang bergelar sarjana tinggi
justru sempit dalam memandang persoalan. Seperti kasus tentang karya ilmiah
mahasiswa ini. Ketika hal yang semacam itu saja belum terselesaikan. Jangankan
memandang dunia politik yang penuh dengan intrik, manuver dan strategi.
Memandang dunia kampus saja masih sempit dan kurang wawasan.
Maka dari itu saya mengusulkan
kepada birokrat kampus untuk di akademisi ulang. Dengan catatan melibatkan
mahasiswa sebagai superstruktur intelektualitas. Secara langsung kita sebagai
mahasiswa dapat ikut menguji seberapa layak birokrat kampus mengatur sistem
pendidikan tinggi di kampus sembari itu tetap menganalisis persoalan akademis
yang masih belum selesai. Dengan menggunakan standar kapasitas intelektual yang
ketat. Dan jika tidak layak dalam pengujian intelektualitas, maka sah untuk
menjalankan pengadilan intelektual, dimana birokrat kampus yang bersangkutan
diadili secara adil dan terbuka diruang publik, seperti layaknya akademisi yang
melakukan plagiarisme. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa FKIP
Pendidikan Kewarganegaraan