Selasa, 01 Juli 2014

Alvin Toffler dan Kejutan Masa Depan (Tanggapan Terhadap Opini Saudara Bhayastrij Ika Nurul S)

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Alvin Toffler, seorang kritikus sosial dan futuris dalam bukunya yang berjudul Kejutan Masa Depan mengatakan bahwa kita tidak dapat dan tidak boleh mematikan tombol kemajuan teknologi. Hanya kaum romantic dungu yang mengoceh tentang kembali ke “keadaan alamiah.” Keadaan alamiah adalah keadaan dimana anak-anak kurus kering dan mati karena tidak ada perawatan medis-elementer, dimana kekurangan gizi menghambat kerja otak dan dimana seperti diingatkan oleh Hobbes, kehidupan itu “miskin, curang, kejam, dan pendek.” Mengingkari teknologi tidak saja bodoh, tetapi juga tidak bermoral.
            Pernyataan Alvin Toffler di atas bukannya tak berdasar. Laporan dari reuters yang dikutip Koran Tempo, tentang pembelian pesawat jet tempur F-35, tercatatat Amerika Serikat memesan 1.763 F-35 model A, Inggris memesan 138 F-35 model B dan Italia memesan F-35. Membuktikan bahwa kemajuan teknologi semakin berkembang pesat dengan berbagai inovasi yang ada. Perlombaan senjata yang semakin berseteru menandakan bahwa teknologi sudah tidak hanya sebatas hiburan atau mainan belaka, melainkan sudah menjadi mesin pemusnah.  Benturan peradaban pun semakin tak dapat dihindari, ketika akan menghindari pun justru terjebak dalam pusaran teknologi yang semakin berkembang.
            Mengingat bahwa mayoritas manusia yang hidup dalam abad ke-21 ini, yang mana semakin meningkatnya kecepatan tersebarnya kemajuan teknologi. Misal cobalah hitung berapa jumlah produksi dan distribusi merk motor Yamaha di Indonesia sekarang bandingkan dengan awal masuk ke Indonesia. Peningkatan yang cukup tajam bukan. Sampai-sampai duta iklan Yamaha Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo didatangkan dari negaranya untuk  beriklan di TV dengan jargon “semakin didepan.” Kalau bukan karena peningkatan permintaan barang semakin tinggi di Indonesia. Lalu apalagi.
            Mereka yang melangsir igauan anti-teknologi demi kepentingan beberapa “nilai kemanusiaan dan nilai moralitas” yang samar-samar, perlu ditanyai: “manusia yang mana?, atau masyarakat yang mana?.” Toh, selama ini masyarakat masih merasa enjoy dengan keberadaan teknologi, bahkan selalu update terhadap kebaruan teknologi, apalagi yang belum memiliki mereka berusaha untuk mencari dan mempelajari. Dengan sengaja penulis opini yang berjudul “Ubah Kebiasaan atau Matikan TV” pada Mimbar Mahasiswa edisi Selasa, 10 Juni 2014 memberikan pilahan yang semuanya nir-solusi untuk masyarakat. Ironis!.
            Justru pilihan-pilihan tersebut akan menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami kebingungan dan kesengsaraan yang terpaksa serta permanen. Kita jelas memerlukan lebih banyak teknologi, bukan mengurangi teknologi. Terlebih dengan mengusulkan untuk mengubah kebiasaan dan mematikan TV adalah suatu kedangkalan dalam berfikir yang ilmiah. Kita ketahui bahwa mengubah kebiasaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena kebiasaan sendiri dibentuk oleh tatanan nilai dan norma yang diulang-ulang, dan ketika ingin mengubahnya maka proses yang harus dilakukan sangat panjang, entah itu melalui pengalaman maupun pengetahuan dan pendidikan atau dengan penggabungan  kebudayaan (difusi). Karena kebiasaan itu sendiri adalah bagian dari kebudayaan yang mana kebudayaan adalah proses berfikir yang kemudian dijalankan.
Sedangkan kita ketahui bahwa ketika objek dimatikan, dalam hal ini TV dimatikan, sementara kebutuhan akan informasi yang baru dari dunia luar semakin tinggi. Apakah hal ini sanggup untuk direalisasikan. Terlebih ketika dibenturkan dengan PILPRES 2014, dimana rakyat Indonesia akan memilih calon pemimpin bangsa dan negara, kalau TV kita matikan apakah kita akan mengetahui rekam jejak sejarah dan aktivitas apa yang dilakukan oleh calon presiden. Apakah kita akan memilih calon pemimpin bangsa dan negara yang besar ini, tanpa kita ketahui raut wajahnya saat berhadapan dengan rakyat, saat berkomunikasi dengan rakyat. Terlebih kita ketahui lagi bahwa hal yang berbau visualitas itu banyak digemari oleh orang banyak. Apalagi kalau saudara Bhayastrij Ika Nurul S menyinggung soal perasaan bahagia, akhir-akhir ini piala dunia 2014 sudah bergulir, penggila bola merasa terhibur dan bahagia kala sang idola bermain dirumput hijau terlebih ketika sang idola mencetak gol dan akhirnya tim favorit menjadi pemenangnya. Perasaan bahagia itu muncul ketika dia melihat pertandingan sepak bola di TV. Apakah yang seperti ini belum disebut perasaan bahagia. Lantas pertanyaannya apakah kita masih ingin mematikan TV?
Memilih Gaya Kultural
            Ya, kita sebagai anak muda yang resah akan tontonan TV yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Tetapi keresahan yang semakin memuncak itu apakah kita akan luapkan dengan perasaan emosi dan benci hingga akhirnya, sudahlah matikan saja TV. Cara-cara yang reaksioner seperti itu sudah tidak menjamin bahwa perubahan akan segera terwujud. Butuh waktu yang lama untuk mengubah tatanan sosial yang semrawut ini. Jawaban akan pertanyaan besar dari Saudara Bhayastrij Ika Nurul S tentang siapa yang salah dari layanan hiburan di TV adalah bahwa masyarakat sekarang harus menyeleksi dengan baik dan benar mesin, proses, teknik, sistem dan programnya terutama dalam hal ini konteksnya dengan TV sebagai satu kelompok atau gugusan, bukan satu persatu. Masyarakat harus memilih sebagaimana seseorang memilih gaya hidupnya. Ia harus membuat super keputusan mengenai masa depannya.
            Lagi pula sebagaimana seseorang melakukan pilihan dengan sadar di antara beberapa alternatif gaya hidup, masyarakat dewasa ini dapat mengadakan pilihan dengan sadar di antara beberapa alternatif gaya kultural. Hal ini merupakan fakta yang baru dalam sejarah. Dimasa lampau kebudayaan muncul tanpa premeditasi. Dewasa ini, untuk pertama kali, kita dapat mengangkat prose itu ke tingkat kesadaran. Dengan penerapan kebijaksanaan teknologi secara sadar, bersamaan dengan tindakan yang lain, kita dapat menggambar kontur masa depan (Alfin Toffler: 1970). Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa aktif UMS
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
Bergiat aktif di Grup Diskusi Griya Pena (GDGP)

Pabelan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar