Oleh:
Adhitya Yoga Pratama*
Alvin Toffler, seorang kritikus
sosial dan futuris dalam bukunya yang berjudul Kejutan Masa Depan mengatakan bahwa kita tidak dapat dan tidak
boleh mematikan tombol kemajuan teknologi. Hanya kaum romantic dungu yang
mengoceh tentang kembali ke “keadaan alamiah.” Keadaan alamiah adalah keadaan
dimana anak-anak kurus kering dan mati karena tidak ada perawatan
medis-elementer, dimana kekurangan gizi menghambat kerja otak dan dimana
seperti diingatkan oleh Hobbes, kehidupan itu “miskin, curang, kejam, dan
pendek.” Mengingkari teknologi tidak saja bodoh, tetapi juga tidak bermoral.
Pernyataan Alvin Toffler di atas
bukannya tak berdasar. Laporan dari reuters yang dikutip Koran Tempo, tentang
pembelian pesawat jet tempur F-35, tercatatat Amerika Serikat memesan 1.763
F-35 model A, Inggris memesan 138 F-35 model B dan Italia memesan F-35.
Membuktikan bahwa kemajuan teknologi semakin berkembang pesat dengan berbagai
inovasi yang ada. Perlombaan senjata yang semakin berseteru menandakan bahwa
teknologi sudah tidak hanya sebatas hiburan atau mainan belaka, melainkan sudah
menjadi mesin pemusnah. Benturan
peradaban pun semakin tak dapat dihindari, ketika akan menghindari pun justru
terjebak dalam pusaran teknologi yang semakin berkembang.
Mengingat bahwa mayoritas manusia
yang hidup dalam abad ke-21 ini, yang mana semakin meningkatnya kecepatan
tersebarnya kemajuan teknologi. Misal cobalah hitung berapa jumlah produksi dan
distribusi merk motor Yamaha di Indonesia sekarang bandingkan dengan awal masuk
ke Indonesia. Peningkatan yang cukup tajam bukan. Sampai-sampai duta iklan
Yamaha Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo didatangkan dari negaranya untuk beriklan di TV dengan jargon “semakin
didepan.” Kalau bukan karena peningkatan permintaan barang semakin tinggi di
Indonesia. Lalu apalagi.
Mereka yang melangsir igauan
anti-teknologi demi kepentingan beberapa “nilai kemanusiaan dan nilai moralitas”
yang samar-samar, perlu ditanyai: “manusia yang mana?, atau masyarakat yang
mana?.” Toh, selama ini masyarakat masih merasa enjoy dengan keberadaan teknologi, bahkan selalu update terhadap
kebaruan teknologi, apalagi yang belum memiliki mereka berusaha untuk mencari
dan mempelajari. Dengan sengaja penulis opini yang berjudul “Ubah Kebiasaan atau Matikan TV” pada
Mimbar Mahasiswa edisi Selasa, 10 Juni
2014 memberikan pilahan yang semuanya nir-solusi untuk masyarakat. Ironis!.
Justru pilihan-pilihan tersebut akan
menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami kebingungan dan kesengsaraan yang
terpaksa serta permanen. Kita jelas memerlukan lebih banyak teknologi, bukan
mengurangi teknologi. Terlebih dengan mengusulkan untuk mengubah kebiasaan dan
mematikan TV adalah suatu kedangkalan dalam berfikir yang ilmiah. Kita ketahui
bahwa mengubah kebiasaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena
kebiasaan sendiri dibentuk oleh tatanan nilai dan norma yang diulang-ulang, dan
ketika ingin mengubahnya maka proses yang harus dilakukan sangat panjang, entah
itu melalui pengalaman maupun pengetahuan dan pendidikan atau dengan
penggabungan kebudayaan (difusi). Karena
kebiasaan itu sendiri adalah bagian dari kebudayaan yang mana kebudayaan adalah
proses berfikir yang kemudian dijalankan.
Sedangkan
kita ketahui bahwa ketika objek dimatikan, dalam hal ini TV dimatikan,
sementara kebutuhan akan informasi yang baru dari dunia luar semakin tinggi.
Apakah hal ini sanggup untuk direalisasikan. Terlebih ketika dibenturkan dengan
PILPRES 2014, dimana rakyat Indonesia akan memilih calon pemimpin bangsa dan
negara, kalau TV kita matikan apakah kita akan mengetahui rekam jejak sejarah
dan aktivitas apa yang dilakukan oleh calon presiden. Apakah kita akan memilih
calon pemimpin bangsa dan negara yang besar ini, tanpa kita ketahui raut
wajahnya saat berhadapan dengan rakyat, saat berkomunikasi dengan rakyat.
Terlebih kita ketahui lagi bahwa hal yang berbau visualitas itu banyak digemari
oleh orang banyak. Apalagi kalau saudara Bhayastrij Ika Nurul S menyinggung
soal perasaan bahagia, akhir-akhir ini piala dunia 2014 sudah bergulir,
penggila bola merasa terhibur dan bahagia kala sang idola bermain dirumput
hijau terlebih ketika sang idola mencetak gol dan akhirnya tim favorit menjadi
pemenangnya. Perasaan bahagia itu muncul ketika dia melihat pertandingan sepak
bola di TV. Apakah yang seperti ini belum disebut perasaan bahagia. Lantas pertanyaannya
apakah kita masih ingin mematikan TV?
Memilih Gaya Kultural
Ya,
kita sebagai anak muda yang resah akan tontonan TV yang tidak sesuai dengan
aturan-aturan yang berlaku. Tetapi keresahan yang semakin memuncak itu apakah
kita akan luapkan dengan perasaan emosi dan benci hingga akhirnya, sudahlah
matikan saja TV. Cara-cara yang reaksioner seperti itu sudah tidak menjamin
bahwa perubahan akan segera terwujud. Butuh waktu yang lama untuk mengubah
tatanan sosial yang semrawut ini. Jawaban akan pertanyaan besar dari Saudara
Bhayastrij Ika Nurul S tentang siapa yang salah dari layanan hiburan di TV adalah
bahwa masyarakat sekarang harus menyeleksi dengan baik dan benar mesin, proses,
teknik, sistem dan programnya terutama dalam hal ini konteksnya dengan TV
sebagai satu kelompok atau gugusan, bukan satu persatu. Masyarakat harus
memilih sebagaimana seseorang memilih gaya hidupnya. Ia harus membuat super
keputusan mengenai masa depannya.
Lagi pula sebagaimana seseorang
melakukan pilihan dengan sadar di antara beberapa alternatif gaya hidup,
masyarakat dewasa ini dapat mengadakan pilihan dengan sadar di antara beberapa
alternatif gaya kultural. Hal ini merupakan fakta yang baru dalam sejarah.
Dimasa lampau kebudayaan muncul tanpa premeditasi. Dewasa ini, untuk pertama
kali, kita dapat mengangkat prose itu ke tingkat kesadaran. Dengan penerapan
kebijaksanaan teknologi secara sadar, bersamaan dengan tindakan yang lain, kita
dapat menggambar kontur masa depan (Alfin Toffler: 1970). Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa aktif UMS
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
Bergiat aktif di Grup Diskusi Griya
Pena (GDGP)
Pabelan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar