Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Melihat fenomena
politik nasional yang gegap-gempita (PILEG 2014) ternyata meninggalkan luka
yang mendalam bagi mahasiswa Indonesia. Bagaimana tidak? Kasus yang terjadi di
salah satu organisasi pergerakan mahasiswa, dimana status kemahasiswaan masih
melekat dalam identitas organisasi tersebut. Salah satu anggota dari organisasi
pergerakan mahasiswa terbesar di Indonesia terindikasi mencalonkan anggota
legislatif ditingkat daerah dari salah satu partai politik peserta pemilu 2014.
Hal ini menarik
untuk dikaji lebih mendalam dan mendasar. Mengapa? Karena status mahasiswa yang
dalam setiap aktivitasnya berkonsekuensi mempertaruhkan daya intelektual dan
moril didalam setiap aksinya dimasyarakat. Justru yang terjadi salah satu
anggota organisasi gerakan mahasiswa, bahkan pucuk pimpinan komunitas tersebut
mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif (PILEG). Sungguh ironis, disaat
mahasiswa yang harusnya lebih memperdalam kembali ilmu-ilmu yang telah
dipelajari dikampus kemudian diabdikan dalam masyarakat kelak, justru yang
terjadi terjun kedunia politik.
Kenyataan yang
semacam ini kontras sekali dengan apa yang dilakukan oleh seorang Hariman
Siregar, aktivis Grup Diskusi UI (GDUI) era 1974. Yang berhasil menjabat
sebagai ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) UI dari luar organisasi pergerakan
mahasiswa. Yang mana sebelumnya ia juga masuk dalam keanggotaan Golkar. Tetapi
setelah menjabat sebagai ketua DEMA UI, ia rela melepaskan keanggotaan
Golkarnya demi status kelembagaan mahasiswa secara khusus dan identitas
mahasiswa secara luas yang independent dan tidak memihak satu golongan
tertentu.
Menurut bahasa
Perancis kader diambil dari kata Cadre yang artinya adalah golongan
terdidik yang terpilih. Sedangkan menurut bahasa Latin kader diambil dari kata Quadrum
yang artinya adalah segiempat. Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa kader
adalah pondasi suatu komunitas dari golongan yang terdidik dan terpilih.
Konteks mahasiswa sebagai kader umat dan kader bangsa adalah tepat sebagai
penopang dan penguat bangunan berbangsa dan bernegara.
Tak heran jika
Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai kader-kader yang militan dan progresif
seperti halnya Tan Malaka, Semaoen, Alimin dan lain-lain. Karena didalam
perkaderan partainya mengedepankan kader sebagai tulang punggung revolusi yang
harus dididik sesuai dengan kedisiplinan organisasi dan rasa solidaritas yang
tinggi.
Melihat yang baru
saja selesai (PILEG 2014) terkhusus bagi mahasiswa sebagai salah satu bagian
dari bangsa Indonesia yang hari ini sudah banyak bergeser jauh dari posisi,
peran dan fungsinya sebagai agent of change dan agent of social
control yang hidup dimasyarakat ilmu. Terciderai dengan hadirnya
calon-calon legislatif yang berangkat dari mahasiswa. Seolah-olah memang
golongan terdidik yang terpilih untuk umat dan bangsa ini, dimana untuk
memperjuangkan umat yang tertindas dan bangsa yang terjajah pun jauh dari
harapan.
Bagi saya bukannya
untuk mengharamkan aksi politik mahasiswa yang bersifat parlementarisme. Dimana
mahasiswa ikut andil dalam perumusan, pembuatan dan penetapan kebijakan
nasional. Walaupun hal yang semacam ini juga sudah pernah dilakukan oleh
mahasiswa Indonesia era Orde Baru. Melainkan yang saya tekankan adalah
mahasiswa dan gerakan mahasiswa mempunyai karakteristik tersendiri dalam
membuat suatu perubahan. Kalau yang terjadi justru ikut andil dalam
pemerintahan, yang saya takutkan adalah mahasiswa dengan pengalaman yang
sedikit tentang politik akan cepat tergerus arus besar politik nasional yang
kejam.
Back To Campus
Kembali ke kampus adalah aksi real yang harus segera dilakukan oleh
mahasiswa masa kini. Back to campus dalam artianmelakukankerjaakademisdenganpergulatanilmudanpengetahuan
yang semakinbertambahpesatsertatetap mempertahankan
ritme posisi, peran, fungsi dan tujuan mahasiswa sebagai kader umat dan kader
bangsa, dimana yang sudah termaktub dalam tridharma perguruan tinggi yaitu tentang
dunia pendidikan, dunia penelitian dan dunia pengabdian masyarakat. Sembari
tetap mengembangkan daya nalar kritis dan analitis mahasiswa dengan berbagai
persoalan yang hadir disekitarnya.
Dan bagi mereka
yang sudah terjun kepolitik tetap teguhkan arah dan gerak sesuai dengan
idealisme kemahasiswaan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaandengancaramengkajikembaliilmudanpengetahuan
yang sudahditerimadibangkuperkuliahan.Jangansampaikekhawatiran
WS.Rendramenjadikenyataan, sampai-sampaibeliauberpesan; ilmu-ilmu yang kaupelajariberpihakdipihak yang mana? Jangan mau
ikut arus tragedi politik nasional yang menipu dan korup. Karena sekali masuk
pada kubangan lumpur yang kotor, janganlah kau untuk beranjak dari kekotoran
itu. Melainkan bagaimana tetap bertahan dengan daya kekuatan idealisme yang kau
miliki. Begitu kalau Soe Hok Gie pernah berkata. Jadilah pemenang diantara para
pecundang yang menipu rakyat. Perjuangan mahasiswa adalah perjuangan
kemanusiaan dan kemerdekaan.
Saya yakin setiap
gejolak atau perubahan besar pasti akan terwujud, jika mahasiswa sebagai garda
depan mengisi bahan bakarnya sesuai dengan takarannya. Dan bahan bakarnya itu
adalah ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan iman, islam dan ihsan. Tak bisa
dipungkiri pasti perubahan akan terjadi. Maka dari itu mahasiswa sebagai kader
umat dan kader bangsa itu harus segera memastikan terlebih dahulu posisinya
berada dimana. Apakah berada pada posisi umat yang tertindas dan bangsa yang
terjajah atau umat yang menindas dan bangsa yang menjajah. Mungkin begitu.
*Mahasiswa UMS FKIP Pendidikan Kewarganegaraan
Bergiat aktif dalam Grup Diskusi Griya Pena (GDGP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar