Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang akan
diselenggarakan di kota Solo tepat pada tanggal 26-30 Mei mendatang, menuai
banyak harapan dan masa depan perjuangan. Seperti pada organisasi kepemudaan
yang lain, forum-forum besar kepemudaan se-tingkat nasional menjadi titik tolak
perjuangan pemuda dalam menjawab tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara
masa kini. Bagaimana tidak? Mitos pemuda sebagai tulang punggung peradaban
bangsa sampai detik ini masih bergaung keras bunyinya.
Nah, bagaimana
dengan posisi strategis IMM sebagai salah satu wadah organisasi kepemudaan yang
berkecimpung langsung dengan dunia kampus dan kemahasiswaan, yang akan
menyelenggarakan muktamarnya ke setengah abad di kota Solo. Secara
historiografi kota Solo adalah kota pergerakan. Kita tahu bahwa pecahan dari
salah satu kerajaan Mataram Kuno masih tertinggal dengan baik yaitu Kasunanan
Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran, selain itu masih ada yang lain
yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, yang mana kedua tempat terakhir itu
berada di kota Yogyakarta. Hal itu menandakan bahwa kota Solo adalah kota yang
masih layak untuk melakukan pergerakan dan perubahan sosial.
Disebutkan pula
didalam bukunya Takashi Shiraishi yang berjudul Zaman Bergerak, yang
menjelaskan Sarekat Islam secara kritis, beliau juga menyuguhkan gambaran yang
memukau tentang pergerakan di wilayah Surakarta dengan menyoroti kemunculan dan
kehancuran sejumlah partai berikut perhimpunan politik, termasuk Sarekat Islam
(SI) Surakarta, Insulinde, national-indische partij (NIP), Partai
Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Rakyat (SR). Dan yang tidak kurang menarik
beliau juga mengulas mengenai “kata dan perbuatan” tiga pemimpin pergerakan
terkemuka, yakni Marco Kartodikromo (tokoh pers yang agitatif), Tjipto
Mangunkusumo (tokoh pergerakan nasional yang menghancurkan feodalisme), dan
Haji Mohammad Misbach (ulama yang radikal dan progresif) yang semuanya itu
berasal dari kota Solo.
Maka dari itu
mustahil jika penyelenggaraan muktamar IMM (forum tertinggi tingkat nasional di
organisasi tersebut) tanpa sebab untuk memutuskan kota Solo sebagai tempat
untuk merumuskan gerakan organisasi ke depannya. Bagi mereka yang tidak mengetahui
sejarah pergerakan nasional, pasti akan mencela dan mengkritik apa yang menarik
dari kota Solo yang sepi.
Bahkan ketika kita
melihat sejarah perkembangan organisasi kepemudaan yang serupa yang bergerak
diranah kemahasiswaan yang lainnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
maka kita akan melihat bahwa kota Solo sangat berperan besar dalam
penyelenggaraan kongres PB HMI, dimana pada saat itu yang akhirnya terpilih
sebagai ketua umum PB HMI adalah Dr. Nurcholis Madjid, tokoh pembaharu Islam
dan tokoh reformasi di Indonesia.
Disebutkan dalam
bukunya M. Alfan Alfian yang berjudul HMI 1963-1969; Menegakkan Pancasila
ditengah Prahara. Menjelaskan bahwa pada saat itu isu pembubaran HMI
semakin santer, kala Inpres No. 8/1964 dikeluarkan. Terlebih desakan dari
organisasi kepemudaan PKI yang memohon kepada Presiden RI pertama Sukarno untuk
membubarkan HMI. Dan provokasi D.N Aidit kepada CGMI (organisasi pemuda PKI)
untuk memakai sarung saja jika tidak berhasil membubarkan HMI. Tetapi
kenyataanya HMI tidak jadi dibubarkan, melainkan yang terjadi berbanding
terbalik kepada PKI dan organisasi pendukungnya sendiri. Setelah Presiden
Sukarno lengser dari kursi kekuasaanya, kemudian digantikan oleh Suharto. PKI
dan organisasi pendukungnya runtuh berkeping-keping. Disebutkan kembali bahwa
setelah itu PB HMI menggelar kongres PB HMI di kota Solo yang diberi nama
sebagai kongres kemenangan dari melawan organisasi yang berupaya membubarkan
HMI.
Lantas, bagaimana
jika sejarah perkembangan organisasi HMI tersebut dikontekskan dengan akan
diselenggarakannya muktamar IMM yang ke setengah abad di kota Solo ini? Judul
opini muktamar IMM sebagai wadah pertarungan intelektual rasanya tepat untuk
dijadikan sebagai judul tulisan ini. Terlebih lagi jika kita melihat hari ini
maka kita akan melihat perbedaan dengan hari kemarin dan hari esok. Dimana hari
ini kita tahu bahwa gejolak politik nasional yang mana pemilihan presiden
(PILPRES 2014) akan segera diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014. Apakah
muktamar IMM mampu merumuskan gerakannya sebagai salah satu organisasi
mahasiswa atau justru terbuai dengan kenikmatan politik praksis yang hanya
bersifat sementara. Disinilah muktamar IMM menjadi wadah pertarungan antara
intelektual dan politik.
Kembali Ke Barak Intelektual
Kembali menengok
Solo, ternyata IMM pernah menggoreskan tinta emas sebagai platform gerakannya
dalam politik keberpihakan di kota budaya ini. Munas (muktamar) I yang digelar
pada tanggal 1-5 Mei 1965 berhasil menelorkan Deklarasi Kota Barat (Solo, 1965)
yang isi dekralasi tersebut yaitu: 1) IMM, adalah gerakan mahasiswa Islam; 2)
kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan perjuangan IMM; 3) fungsi IMM adalah
sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator);
4) ilmu adalah amaliah IMM dan amal adalah ilmiah IMM; 5) IMM adalah organisasi
yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah
negara yang berlaku; serta 6) amal IMM dilahirkan dan diabadikan untuk
kepentingan agama, nusa dan bangsa.
Kembali ke khittah
perjuangan IMM, maka kembali pada Deklarasi Kota Barat yang dibacakan oleh KH.
Ahmad Badawi (ketua PP Muhammadiyah pada saat itu). Oleh sebab itu di
kembalikannya muktamar IMM di kota Solo berarti mengembalikan khittah
perjuangan IMM bahwa IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah bukan dalam
partai politik tertentu.
Yang mana kita tahu bahwa para politikus kita hari ini adalah insan
yang sulit untuk mengaca diri. Atau kalau mereka mau berkaca, yang mereka lihat
hanyalah kecantikan atau kebaikannya saja. Entah kemana wajah mereka mereka
yang sesungguhnya, yang juga buruk dan busuk. Mungkin karena politikus itu pada
hakikatnya adalah “pakar yang keahlian utamanya adalah serakah, terutama
serakah untuk menarik perhatian” (Der Spiegel, 45/2006). Mungkin begitu.
*penulis adalah
mahasiswa UMS
Kader Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Dan sekarang
bergiat aktif di Grup Diskusi Griya Pena (GDGP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar