Selasa, 01 Juli 2014

Muktamar IMM Sebagai Wadah Pertarungan Intelektual

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
                Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang akan diselenggarakan di kota Solo tepat pada tanggal 26-30 Mei mendatang, menuai banyak harapan dan masa depan perjuangan. Seperti pada organisasi kepemudaan yang lain, forum-forum besar kepemudaan se-tingkat nasional menjadi titik tolak perjuangan pemuda dalam menjawab tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara masa kini. Bagaimana tidak? Mitos pemuda sebagai tulang punggung peradaban bangsa sampai detik ini masih bergaung keras bunyinya.
            Nah, bagaimana dengan posisi strategis IMM sebagai salah satu wadah organisasi kepemudaan yang berkecimpung langsung dengan dunia kampus dan kemahasiswaan, yang akan menyelenggarakan muktamarnya ke setengah abad di kota Solo. Secara historiografi kota Solo adalah kota pergerakan. Kita tahu bahwa pecahan dari salah satu kerajaan Mataram Kuno masih tertinggal dengan baik yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran, selain itu masih ada yang lain yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, yang mana kedua tempat terakhir itu berada di kota Yogyakarta. Hal itu menandakan bahwa kota Solo adalah kota yang masih layak untuk melakukan pergerakan dan perubahan sosial.
            Disebutkan pula didalam bukunya Takashi Shiraishi yang berjudul Zaman Bergerak, yang menjelaskan Sarekat Islam secara kritis, beliau juga menyuguhkan gambaran yang memukau tentang pergerakan di wilayah Surakarta dengan menyoroti kemunculan dan kehancuran sejumlah partai berikut perhimpunan politik, termasuk Sarekat Islam (SI) Surakarta, Insulinde, national-indische partij (NIP), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Rakyat (SR). Dan yang tidak kurang menarik beliau juga mengulas mengenai “kata dan perbuatan” tiga pemimpin pergerakan terkemuka, yakni Marco Kartodikromo (tokoh pers yang agitatif), Tjipto Mangunkusumo (tokoh pergerakan nasional yang menghancurkan feodalisme), dan Haji Mohammad Misbach (ulama yang radikal dan progresif) yang semuanya itu berasal dari kota Solo.
            Maka dari itu mustahil jika penyelenggaraan muktamar IMM (forum tertinggi tingkat nasional di organisasi tersebut) tanpa sebab untuk memutuskan kota Solo sebagai tempat untuk merumuskan gerakan organisasi ke depannya. Bagi mereka yang tidak mengetahui sejarah pergerakan nasional, pasti akan mencela dan mengkritik apa yang menarik dari kota Solo yang sepi.
            Bahkan ketika kita melihat sejarah perkembangan organisasi kepemudaan yang serupa yang bergerak diranah kemahasiswaan yang lainnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), maka kita akan melihat bahwa kota Solo sangat berperan besar dalam penyelenggaraan kongres PB HMI, dimana pada saat itu yang akhirnya terpilih sebagai ketua umum PB HMI adalah Dr. Nurcholis Madjid, tokoh pembaharu Islam dan tokoh reformasi di Indonesia.
            Disebutkan dalam bukunya M. Alfan Alfian yang berjudul HMI 1963-1969; Menegakkan Pancasila ditengah Prahara. Menjelaskan bahwa pada saat itu isu pembubaran HMI semakin santer, kala Inpres No. 8/1964 dikeluarkan. Terlebih desakan dari organisasi kepemudaan PKI yang memohon kepada Presiden RI pertama Sukarno untuk membubarkan HMI. Dan provokasi D.N Aidit kepada CGMI (organisasi pemuda PKI) untuk memakai sarung saja jika tidak berhasil membubarkan HMI. Tetapi kenyataanya HMI tidak jadi dibubarkan, melainkan yang terjadi berbanding terbalik kepada PKI dan organisasi pendukungnya sendiri. Setelah Presiden Sukarno lengser dari kursi kekuasaanya, kemudian digantikan oleh Suharto. PKI dan organisasi pendukungnya runtuh berkeping-keping. Disebutkan kembali bahwa setelah itu PB HMI menggelar kongres PB HMI di kota Solo yang diberi nama sebagai kongres kemenangan dari melawan organisasi yang berupaya membubarkan HMI.
            Lantas, bagaimana jika sejarah perkembangan organisasi HMI tersebut dikontekskan dengan akan diselenggarakannya muktamar IMM yang ke setengah abad di kota Solo ini? Judul opini muktamar IMM sebagai wadah pertarungan intelektual rasanya tepat untuk dijadikan sebagai judul tulisan ini. Terlebih lagi jika kita melihat hari ini maka kita akan melihat perbedaan dengan hari kemarin dan hari esok. Dimana hari ini kita tahu bahwa gejolak politik nasional yang mana pemilihan presiden (PILPRES 2014) akan segera diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014. Apakah muktamar IMM mampu merumuskan gerakannya sebagai salah satu organisasi mahasiswa atau justru terbuai dengan kenikmatan politik praksis yang hanya bersifat sementara. Disinilah muktamar IMM menjadi wadah pertarungan antara intelektual dan politik.

Kembali Ke Barak Intelektual
            Kembali menengok Solo, ternyata IMM pernah menggoreskan tinta emas sebagai platform gerakannya dalam politik keberpihakan di kota budaya ini. Munas (muktamar) I yang digelar pada tanggal 1-5 Mei 1965 berhasil menelorkan Deklarasi Kota Barat (Solo, 1965) yang isi dekralasi tersebut yaitu: 1) IMM, adalah gerakan mahasiswa Islam; 2) kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan perjuangan IMM; 3) fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator); 4) ilmu adalah amaliah IMM dan amal adalah ilmiah IMM; 5) IMM adalah organisasi yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku; serta 6) amal IMM dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
            Kembali ke khittah perjuangan IMM, maka kembali pada Deklarasi Kota Barat yang dibacakan oleh KH. Ahmad Badawi (ketua PP Muhammadiyah pada saat itu). Oleh sebab itu di kembalikannya muktamar IMM di kota Solo berarti mengembalikan khittah perjuangan IMM bahwa IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah bukan dalam partai politik tertentu.
Yang mana kita tahu bahwa para politikus kita hari ini adalah insan yang sulit untuk mengaca diri. Atau kalau mereka mau berkaca, yang mereka lihat hanyalah kecantikan atau kebaikannya saja. Entah kemana wajah mereka mereka yang sesungguhnya, yang juga buruk dan busuk. Mungkin karena politikus itu pada hakikatnya adalah “pakar yang keahlian utamanya adalah serakah, terutama serakah untuk menarik perhatian” (Der Spiegel, 45/2006). Mungkin begitu.  
*penulis adalah mahasiswa UMS
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Dan sekarang bergiat aktif di Grup Diskusi Griya Pena (GDGP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar