Selasa, 01 Juli 2014

Pendidikan Politik Ibu-ibu PKK

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Berbicara pendidikan politik bukan menjadi pembicaraan para elit-elit yang mempunyai kepentingan. Bukan hanya para birokrat-birokrat politik, bukan hanya para bapak-bapak yang berkecimpung di dunia politik dan bukan hanya para pejuang yang mengatasnamakan kepentingan rakyat tapi nir kepentingan kerakyatan. Melainkan berbicara politik, ibu-ibu yang berkecimpung di Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) juga gemar membicarakan pendidikan politik. Hal itu dibuktikan dengan diadakannya fasilitasi training pendidikan politik yang dilakukan oleh YSKK di desa Karangmojo kemarin (24/06/2014) yang mengangkat tema UU Desa: Mewujudkan Demokrasi yang Sehat Membutuhkan Perempuan yang Hebat.
            Tetapi yang menjadi garis bawah dalam pendidikan politik ibu-ibu PKK ini adalah ibu-ibu menjalankan proses belajar politik dengan sendiri, kemudian dari YSKK hanya mendampingi dan menambahi yang sekiranya kurang disampaikan oleh ibu-ibu yang memfasilitatori. Kemudian daripada itu selain belajar bersama memahami kehidupan politik yang nyata secara mandiri, ibu-ibu yang bagian dari keluarga perangkat desa; isteri atau keponakan perangkat desa juga menceritakan bagaimana kondisi perempuan di desa Karangmojo. Sehingga berawal dari keresahan ibu-ibu dalam menceritakan kondisi perempuan di desa Karangmojo. Training yang berasaskan pendidikan politik perempuan segera diagendakan, selain untuk mengawal UU Desa.
            Ketika berbicara pendidikan politik maka konsekuensi logisnya adalah bagaimana kita memahami kondisi dari perpolitikan yang terjadi saat ini. Dan bagaimana kita mengupayakan untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. (Rusadi Kartaprawira: 1988:54). Merujuk pada semua pengertian pendidikan politik yang disampaikan oleh Rusadi Kartaprawira diatas, pada akhirnya saya menyimpulkan sementara yang mendasar. Bahwa yang dimaksud dengan pendidikan politik adalah suatu upaya sadar yang dilakukan antara pemerintah dan para anggota masyarakat secara terencana, sistematis dan dialogis dalam rangka untuk mempelajari dan menurunkan berbagai konsep, simbol, hal-hal dan norma-norma politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya. (sumber: Blog Rumah Kita)

            Konteks ibu-ibu PKK yang terlembaga dalam suatu lembaga pemerintah desa dapat mempengaruhi perkembangan pendidikan politik. Karena lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan yang ada di negara tersebut. (sumber: Blog Rumah Kita). Implementasi dari pendidikan politik melalui kelembagaan itulah yang dinisiasi oleh YSKK dalam membangun partisipasi dalam pemerintahan desa. Dengan mengadakan pelatihan, dan lewat diskusi-diskusi tematik maka peran ibu-ibu tersebut dalam berpartisipasi aktif membangun demokrasi yang sehat dapat terwujud.
            Kontekstualisasi di desa Karangmojo kemarin, ibu-ibu yang sudah di bina dan di latih dengan materi-materi pelatihan tentang kefasilitatoran yang membahas tentang demokrasi oleh YSKK. Mengawali pendidikan politik bersama ibu-ibu PKK yang lain dengan bahasan agenda pertemuan pertama kemarin adalah potensi besar apa yang dimiliki oleh desa Karangmojo dalam persiapannya mengawal UU Desa. Kemudian daripada itu selain membahas potensi desa Karangmojo, sebelumnya ibu-ibu PKK membedah kondisi dan kebutuhan apa yang di butuhkan oleh masyarakat Karangmojo. Kondisi yang terjadi (hasil dari training ibu-ibu kemarin) adalah kondisi kemiskinan di Karangmojo, Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), kurang perhatiannya kesehatan produksi bagi para ibu-ibu dan butuhnya pendampingan dari pemerintah dan lembaga lain.

*Volunteer YSKK

Tanpa DISPERINDAGKOP, Mina Mandiri pun Bisa Berkembang Besar dan Pesat

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Pada kesempatan kali ini Jum’at (20/06/2014) saya berkunjung ke daerah Tanjungsari kabupaten Gunung Kidul. Seperti biasanya tugas lapangan riset tentang ekonomi kerakyatan yang mengangkat “Peluang dan Tantangan Pengembangan Koperasi Perempuan di Kabupaten Gunung Kidul”  melakukan wawancara dengan pengurus, pengawas, dan pengelola koperasi serta mencari data tentang koperasi terkait  yang seperlunya dapat menambah khasanah penelitian kami.
            Koperasi yang kami tuju pada kesempatan kali ini adalah koperasi wanita “Mina Mandiri” yang terletak di sebelah utara dari pantai Baron, Gunung Kidul. Semua orang tahu bahwa pantai Baron adalah salah satu pantai yang eksotik nan indah di Gunung Kidulm banyak dari pengunjung baik itu dari dalam Gunung Kidul maupun dari luar Gunung Kidul. Yang perlu di garisbawahi pada saat kami berkunjung ke koperasi tersebut adalah perkembangan koperasi yang berkembang begitu pesat. Dengan jumlah modal yang begitu besar kisaran 2 M serta anggotanya yang sebagian besar adalah pedagang ikan laut dan memiliki penghasilan yang cukup besar. Menjadi ketertarikan tersendiri bagi saya untuk mengamati kondisi koperasi ini selanjutnya.
            Saat saya bertanya tentang proses berkembangnya koperasi “Mina Mandiri” dengan salah satu dari pihak pengurus, pengawas koperasi pada saat itu “Bu, melihat koperasi ibu yang memiliki modal sangat besar ini, siapa yang paling berpengaruh terhadap proses perkembangan koperasi ini?.” Beliau menjawab tanpa dugaan saya sebelumnya “Begini mas, sebenarnya koperasi kita ini berkembang pesat, hingga modal bertambah besar, itu berkat dinas perikanan, karena sebelumnya kita mendirikan koperasi itu bukan inisiasi dari dinas koperasi maupun lembaga lain yang mendampingi kita, melainkan dinas perikananlah yang menginisiasi kami semua (pedagang ikan) untuk membentuk koperasi, toh kalau masnya tahu, kita ini semua itu hanya lulusan SD, ya itu semua berkat dinas perikanan yang mampu melihat potensi kita.” Sungguh mengagetkan saya jawaban ibu pengawas itu.
            Bagaimana tidak, setahu yang saya pahami selama ini semenjak menjadi volunteer YSKK. Koperasi-koperasi perempuan yang berada di Kabupaten Gunung Kidul adalah tugas dan fungsi dari DISPERINDAGKOP dalam memberikan pengawasan, pengarahan, pengawalan serta pengembangan produktivitas koperasi perempuan dalam memajukan perekonomian yang berbasis kerakyatan. Tetapi setelah ibu-ibu yang bergerak diranah koperasi memberikan pernyataan tersebut. Seolah-olah pemahaman yang saya pahami selama ini runtuh seketika. Terlebih ketika saya sangkutkan pada permasalahan pada hari Selasa (17/06/2014) dimana ketika kita sedang mewawancarai dari pihak koperasi kemudian mendapatkan jawaban tentang kong-kalikong antar pihak pengurus dinas dalam memanipulasi data koperasi, semisal tentang pengucuran dana BANSOS yang melibatkan koperasi harus memba yar uang Pungli dengan ancaman-ancaman tertentu. Menambah keyakinan tersendiri bagi saya sebenarnya koperasi perempuan itu tidak perlu dampingan langsung dari DISPERINDAGKOP. Cukup dengan dampingan dari lembaga lain (seperti YSKK) atau dinas lain yang bersangkutan dengan potensi kealaman dalam wilayah tersebut.
            Terlebih lagi kita ketahui bahwa wacana reformasi birokrasi yang di galakkan sekarang ini, terutama mendekati PILPRES 2014 mungkin di jalankan sepenuhnya. Melihat kondisi kedinasan koperasi yang belum selesai menjalankan tugas dan fungsinya kepada masyarakat. Kemungkinan untuk di hapuskan saja dinas terkait yang melakukan manipulasi dan meminta suap kepada masyarakat, mungkin di jalankan. Terlebih dengan dihapuskannya UU No. 17 tahun 2012 melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi terbuka lebar bagi para pelaku perdagangan untuk tidak tergantung pada keberadaan dinas perindustrian dan koperasi. Teruntuk persoalan koperasi yang menjadi sokoguru perekonomian Indonesia tersebut adalah bagaimana koperasi memang di jadikan sebagai the way of economics  Indonesian. Dan itu adalah tugas kita semua sebagai pendukung cita-cita luhur bangsa Indonesia yang termaktub dalam konstitusi negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) UUD 1945.
*Volunteer YSKK

Potret Koperasi Perempuan Kabupaten Gunung Kidul

Jum’at, 13 Juni 2014
            Kesempatan pagi dalam tugas lapangan riset kali ini kita berkunjung ke daerah Ponjong, tepatnya menuju ke “KOPWAN KUWAT”. Dengan tetap bersama kawan Miftahul Saleh dan kawan Yuliana kita melakukan wawancara. Pada kesempatan saat itu kita bertemu dengan ketua koperasi dan pengawas koperasi. Selain wawancara tentang perkoperasian yang berada di KOPWAN “KUAT” kami bertiga juga berbincang-bincang tentang Usaha Dagang (UD) yang dijalankan oleh pengawas koperasi, karena pada saat itu tempat wawancara bertepatan di rumahnya pengawas koperasi. Pengolahan makanan yang menjadi unggulan UD. MIROSO (nama UD) adalah dari berbahan dari kacang-kacangan yang dibuat dengan berbagai macam jenis makanan yang di buat dengan menggunakan manual (tanpa mesin) dan sangat sederhana. Tetapi yang perlu digarisbawahi selain itu adalah distribusi yang dilakukan tidak hanya lingkup DI Yogyakarta dan sekitarnya, melainkan sudah sampai Jakarta.  
            Kemudian pada kegiatan lapangan selain itu pada Jum’at kemarin, kami seperti biasanya melakukan wawancara kepada pengurus koperasi wanita yang berada di Kabupaten Gunung Kidul. Pada kegiatan yang kali ini kami berkesempatan mewawancarai pengurus koperasi di Koperasi Wanita (KOPWAN) Mitra Usaha Perempuan (MUP), tepatnya kepada ibu Sulastri yang beralamat di Dusun Gunung Gambar, RT 03/06 desa Kampung Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Beliau yang sudah berusia 46 tahun dengan pendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan jabatan di MUP sebagai sekretaris koperasi menambah pengalaman saya bertemu dengan orang lain. Dengan di tambahkannya ibu Sulastri dalam wawancara ini berarti secara langsung bertambah pula data primer dalam riset tentang ekonomi kerakyatan studi kasus Kopwan.
          Dalam obrolan saya dengan ibu Sulastri di Gunung Gambar adalah bagaimana peran, fungsi dan tujuan Kopwan didirikan, dan apa manfaat dari keberadaan Kopwan di masyarakat terutama bagi kaum ibu. Penguatan pada segi pemberdayaan masyarakat terutama dalam hal pengolahan makanan ringan seperti manggleng, rambak, dan keripik adalah tujuan Kopwan didirikan. Selain daripada itu untuk melakukan transaksi simpan-pinjam kepada anggota, supaya usaha yang dijalankan oleh anggota berjalan dengan baik adalah fungsi keberadaan Kopwan ada di Gunung Gambar. Kemudian untuk memobilisasi masyarakat terutama kaum ibu dalam kesadarannya membangun dan menumbuh-kembangkan usaha dan layanan masyarakat adalah peran Kopwan hadir di masyarakat Gunung Gambar dan sekitarnya.
            Curahan hati dari seorang ibu Sulastri yang bercerita tentang alur ekonomi yang dilakukan sendiri, mulai dari produksi sampai distribusi mengingatkan saya kepada Sukarno yang bertemu dengan Kang Marhaen. Hingga akhirnya tersebut kaum Marhaen dan kaum Kromo dalam politik perjuangannya. Sampai-sampai dalam program berbuatnya beliau (Sukarno) mencanangkan program berdikari dalam bidang ekonomi yang tertuang dalam TRIKORA. Konteks ibu Sulastri yaitu bagaimana ia membuat manggleng dengan bahan singkong yang di beli dari pengecer yang salah satunya di beli dari modal koperasi, dan kita ketahui bahwa koperasi adalah sokoguru perekonomian Indonesia. Serta dalam alat produksi milik sendiri. Dan dalam distribusi dilakukan sendiri. Bagaimana kalau yang seperti ini tidak disebut sebagai upaya berdikari dalam bidang ekonomi. Terlebih menggunakan konsep perekenomian Indonesia yang digagas oleh Drs. H. Moh. Hatta.
            Terlebih harus kita ketahui pula bahwa Gunung Gambar adalah salah satu dusun yang paling sulit dalam hal akses di Kecamatan Ngawen. Terbukti dengan letak dusun yang terletak di daerah perbukitan dengan jalan yang memiliki kemiringan kira-kira 75 derajat dan rusak. Menambah kesulitan tersendiri dalam hal akses transportasi dan komunikasi, hal itu berdampak pada sulitnya memutarkan barang dagangan dan pola komunikasi antar masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya. Saya pikir peranan didirikannya koperasi dalam pengembangan masyarakat dusun Gunung Gambar adalah tepat, karena itu dapat membuat jalannya roda perekonomian di Gunung Gambar secara khusus dan Kabupaten Gunung Kidul secara umum berjalan dengan baik.

Senin, 16 Juni 2014
            Pada hari Senin kemarin kita berkunjung ke kecamatan Rongkop dan kecamatan Playen, yang mana tepatnya mengunjungi ke Kopwan “Lestari” (Kec. Rongkop) dan Kopwan “Srikandi” (Kec. Playen). Sayang sekali saat berkunjung ke kecamatan Rongkop kita bertiga tidak mendapatkan data tentang Kopwan “Lestari” disebutkan oleh pemerintahan desa setempat Kopwan yang ingin diteliti sudah bubar, tetapi pembubarannya tidak melaporkan kepada pemerintah desa setempat atau DISPERINDAGKOP jadi nama koperasi masih tertera didalam dokumen pemerintah desa.
            Selanjutnya sebelum kita berkunjung ke Kopwan “Srikandi” kita singgah ke DISPERINDAGKOP. Dengan tujuan yang sama mencari data primer dalam penelitian ekonomi kerakyatan. Salah dua dari kita mewawancarai dari pihak dinas untuk mengklarifikasi data-data yang telah ditemukan dilapangan oleh tim riset kita dan mencari data-data yang belum terlengkapi.
            Kemudian terakhir pada hari itu, kita berkunjung ke Kopwan “Srikandi” yang terletak di desa Siyono Wetan. Sasaran wawancara terhadap Kopwan “Srikandi” adalah ketua koperasi. Dengan di suguhi hasil pertanian sendiri yaitu kacang kita membicarakan bagaimana tentang perkoperasian. Tetapi yang perlu menjadi titik tekan pada wawancara dengan ketua koperasi Kopwan “Srikandi” adalah bagaimana beliau menjelaskan awal proses berdirinya koperasi dan bagaimana perkembangan koperasi sampai hari ini. Pada awal berdirinya Kopwan “Srikandi” yang menjadi keheranan saya adalah pelopor berdirinya bukan dari golongan ibu-ibu, melainkan dari bapak-bapak. Padahal kita ketahuai koperasi tersebut adalah koperasi perempuan.
            Selain daripada itu adalah Kopwan “Srikandi” ini banyak beranggotakan dari isteri-isteri Pegawai Negeri Sipil (PNS), entah itu yang berasal dari guru dan pejabat daerah setempat. Otomatis dalam akses informasi dan komunikasi tentang perkoperasian berjalan dengan lancar, tanpa ada halangan dan gangguan sedikitpun. Kemudian yang paling saya ingat adalah saat-saat terakhir kesempatan beliau (ketua koperasi) berpesan kepada kita bertemu yaitu “mumpung masih muda, silahkan beridealisme.” Melalui pesan itu menjadi bahan perenungan saya semalaman penuh, pertanyaan mendasarnya “apakah kalau sudah tua tidak beridealisme lagi?.” Dan sampai detik inipun saya masih memikirkannya.  
Selasa, 17 Juni 2014
            Rencana awal pada pagi ini (Selasa, 27/06/2014) adalah berkunjung ke DPRD Kab. Gunung Kidul untuk mewawancarai ketua komisi B dan 1 anggota komisi B yang mana beliau-beliau adalah anggota DPRD yang bertugas membahas anggaran daerah Kab. Gunung Kidul. Sebelum melakukan wawancara, kita mengikuti audiensi dari divisi program kepemimpinan perempuan YSKK bersama dengan PANSUS 8 yang membahas tentang Perubahan Pilkades. Setelah mengikuti acara audiensi tersebut, kita bergerak menuju DISPERINDAGKOP melanjutkan wawancara dengan pejabat daerah terkait.
            Yang menjadi keresahan saya saat bertemu dengan para pejabat daerah di dinas perkoperasian, yang pada saat itu adalah sesi kawan Yuli menanyakan tentang perihal Pungutan Liar (PUNGLI) yang dilakukan oleh pejabat terkait kepada Kopwan-kopwan yang berada di Kab. Gunung Kidul. Lagi-lagi yang menjadi titik perhatian saya pada kesempatan itu bertatap muka langsung dengan pejabat terkait adalah: Pertama, mafia Pungli yang berada di suatu pemerintahan daerah tidak bisa dipungkiri. Kedua, dalam hal menjalankan aktivitasnya itu semua pihak yang terlibat sangat sistematis. Ketiga, pihak-pihak yang menjalankan Pungli tersebut biasanya menggunakan ancaman yang bersifat tekanan psikologis kepada pihak Kopwan, dan akhirnya dari pihak Kopwan sendiri pun merasa takut. Ketiga, budaya Jawa yang ewuh-pekewuh serta belum memahaminya regulasi dan kebijakan tentang adanya Pungli, sebagian dari masyarakat lebih mengedepankan memberi daripada mempermasalahkan yang ada.

Adhitya Yoga Pratama

Volunteer Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) 

Alvin Toffler dan Kejutan Masa Depan (Tanggapan Terhadap Opini Saudara Bhayastrij Ika Nurul S)

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Alvin Toffler, seorang kritikus sosial dan futuris dalam bukunya yang berjudul Kejutan Masa Depan mengatakan bahwa kita tidak dapat dan tidak boleh mematikan tombol kemajuan teknologi. Hanya kaum romantic dungu yang mengoceh tentang kembali ke “keadaan alamiah.” Keadaan alamiah adalah keadaan dimana anak-anak kurus kering dan mati karena tidak ada perawatan medis-elementer, dimana kekurangan gizi menghambat kerja otak dan dimana seperti diingatkan oleh Hobbes, kehidupan itu “miskin, curang, kejam, dan pendek.” Mengingkari teknologi tidak saja bodoh, tetapi juga tidak bermoral.
            Pernyataan Alvin Toffler di atas bukannya tak berdasar. Laporan dari reuters yang dikutip Koran Tempo, tentang pembelian pesawat jet tempur F-35, tercatatat Amerika Serikat memesan 1.763 F-35 model A, Inggris memesan 138 F-35 model B dan Italia memesan F-35. Membuktikan bahwa kemajuan teknologi semakin berkembang pesat dengan berbagai inovasi yang ada. Perlombaan senjata yang semakin berseteru menandakan bahwa teknologi sudah tidak hanya sebatas hiburan atau mainan belaka, melainkan sudah menjadi mesin pemusnah.  Benturan peradaban pun semakin tak dapat dihindari, ketika akan menghindari pun justru terjebak dalam pusaran teknologi yang semakin berkembang.
            Mengingat bahwa mayoritas manusia yang hidup dalam abad ke-21 ini, yang mana semakin meningkatnya kecepatan tersebarnya kemajuan teknologi. Misal cobalah hitung berapa jumlah produksi dan distribusi merk motor Yamaha di Indonesia sekarang bandingkan dengan awal masuk ke Indonesia. Peningkatan yang cukup tajam bukan. Sampai-sampai duta iklan Yamaha Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo didatangkan dari negaranya untuk  beriklan di TV dengan jargon “semakin didepan.” Kalau bukan karena peningkatan permintaan barang semakin tinggi di Indonesia. Lalu apalagi.
            Mereka yang melangsir igauan anti-teknologi demi kepentingan beberapa “nilai kemanusiaan dan nilai moralitas” yang samar-samar, perlu ditanyai: “manusia yang mana?, atau masyarakat yang mana?.” Toh, selama ini masyarakat masih merasa enjoy dengan keberadaan teknologi, bahkan selalu update terhadap kebaruan teknologi, apalagi yang belum memiliki mereka berusaha untuk mencari dan mempelajari. Dengan sengaja penulis opini yang berjudul “Ubah Kebiasaan atau Matikan TV” pada Mimbar Mahasiswa edisi Selasa, 10 Juni 2014 memberikan pilahan yang semuanya nir-solusi untuk masyarakat. Ironis!.
            Justru pilihan-pilihan tersebut akan menyebabkan masyarakat Indonesia mengalami kebingungan dan kesengsaraan yang terpaksa serta permanen. Kita jelas memerlukan lebih banyak teknologi, bukan mengurangi teknologi. Terlebih dengan mengusulkan untuk mengubah kebiasaan dan mematikan TV adalah suatu kedangkalan dalam berfikir yang ilmiah. Kita ketahui bahwa mengubah kebiasaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Karena kebiasaan sendiri dibentuk oleh tatanan nilai dan norma yang diulang-ulang, dan ketika ingin mengubahnya maka proses yang harus dilakukan sangat panjang, entah itu melalui pengalaman maupun pengetahuan dan pendidikan atau dengan penggabungan  kebudayaan (difusi). Karena kebiasaan itu sendiri adalah bagian dari kebudayaan yang mana kebudayaan adalah proses berfikir yang kemudian dijalankan.
Sedangkan kita ketahui bahwa ketika objek dimatikan, dalam hal ini TV dimatikan, sementara kebutuhan akan informasi yang baru dari dunia luar semakin tinggi. Apakah hal ini sanggup untuk direalisasikan. Terlebih ketika dibenturkan dengan PILPRES 2014, dimana rakyat Indonesia akan memilih calon pemimpin bangsa dan negara, kalau TV kita matikan apakah kita akan mengetahui rekam jejak sejarah dan aktivitas apa yang dilakukan oleh calon presiden. Apakah kita akan memilih calon pemimpin bangsa dan negara yang besar ini, tanpa kita ketahui raut wajahnya saat berhadapan dengan rakyat, saat berkomunikasi dengan rakyat. Terlebih kita ketahui lagi bahwa hal yang berbau visualitas itu banyak digemari oleh orang banyak. Apalagi kalau saudara Bhayastrij Ika Nurul S menyinggung soal perasaan bahagia, akhir-akhir ini piala dunia 2014 sudah bergulir, penggila bola merasa terhibur dan bahagia kala sang idola bermain dirumput hijau terlebih ketika sang idola mencetak gol dan akhirnya tim favorit menjadi pemenangnya. Perasaan bahagia itu muncul ketika dia melihat pertandingan sepak bola di TV. Apakah yang seperti ini belum disebut perasaan bahagia. Lantas pertanyaannya apakah kita masih ingin mematikan TV?
Memilih Gaya Kultural
            Ya, kita sebagai anak muda yang resah akan tontonan TV yang tidak sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Tetapi keresahan yang semakin memuncak itu apakah kita akan luapkan dengan perasaan emosi dan benci hingga akhirnya, sudahlah matikan saja TV. Cara-cara yang reaksioner seperti itu sudah tidak menjamin bahwa perubahan akan segera terwujud. Butuh waktu yang lama untuk mengubah tatanan sosial yang semrawut ini. Jawaban akan pertanyaan besar dari Saudara Bhayastrij Ika Nurul S tentang siapa yang salah dari layanan hiburan di TV adalah bahwa masyarakat sekarang harus menyeleksi dengan baik dan benar mesin, proses, teknik, sistem dan programnya terutama dalam hal ini konteksnya dengan TV sebagai satu kelompok atau gugusan, bukan satu persatu. Masyarakat harus memilih sebagaimana seseorang memilih gaya hidupnya. Ia harus membuat super keputusan mengenai masa depannya.
            Lagi pula sebagaimana seseorang melakukan pilihan dengan sadar di antara beberapa alternatif gaya hidup, masyarakat dewasa ini dapat mengadakan pilihan dengan sadar di antara beberapa alternatif gaya kultural. Hal ini merupakan fakta yang baru dalam sejarah. Dimasa lampau kebudayaan muncul tanpa premeditasi. Dewasa ini, untuk pertama kali, kita dapat mengangkat prose itu ke tingkat kesadaran. Dengan penerapan kebijaksanaan teknologi secara sadar, bersamaan dengan tindakan yang lain, kita dapat menggambar kontur masa depan (Alfin Toffler: 1970). Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa aktif UMS
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
Bergiat aktif di Grup Diskusi Griya Pena (GDGP)

Pabelan

Mahasiswa: Kader Umat dan Kader Bangsa

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Melihat fenomena politik nasional yang gegap-gempita (PILEG 2014) ternyata meninggalkan luka yang mendalam bagi mahasiswa Indonesia. Bagaimana tidak? Kasus yang terjadi di salah satu organisasi pergerakan mahasiswa, dimana status kemahasiswaan masih melekat dalam identitas organisasi tersebut. Salah satu anggota dari organisasi pergerakan mahasiswa terbesar di Indonesia terindikasi mencalonkan anggota legislatif ditingkat daerah dari salah satu partai politik peserta pemilu 2014.
            Hal ini menarik untuk dikaji lebih mendalam dan mendasar. Mengapa? Karena status mahasiswa yang dalam setiap aktivitasnya berkonsekuensi mempertaruhkan daya intelektual dan moril didalam setiap aksinya dimasyarakat. Justru yang terjadi salah satu anggota organisasi gerakan mahasiswa, bahkan pucuk pimpinan komunitas tersebut mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif (PILEG). Sungguh ironis, disaat mahasiswa yang harusnya lebih memperdalam kembali ilmu-ilmu yang telah dipelajari dikampus kemudian diabdikan dalam masyarakat kelak, justru yang terjadi terjun kedunia politik.
            Kenyataan yang semacam ini kontras sekali dengan apa yang dilakukan oleh seorang Hariman Siregar, aktivis Grup Diskusi UI (GDUI) era 1974. Yang berhasil menjabat sebagai ketua Dewan Mahasiswa (DEMA) UI dari luar organisasi pergerakan mahasiswa. Yang mana sebelumnya ia juga masuk dalam keanggotaan Golkar. Tetapi setelah menjabat sebagai ketua DEMA UI, ia rela melepaskan keanggotaan Golkarnya demi status kelembagaan mahasiswa secara khusus dan identitas mahasiswa secara luas yang independent dan tidak memihak satu golongan tertentu.
            Menurut bahasa Perancis kader diambil dari kata Cadre yang artinya adalah golongan terdidik yang terpilih. Sedangkan menurut bahasa Latin kader diambil dari kata Quadrum yang artinya adalah segiempat. Jadi bisa kita tarik kesimpulan bahwa kader adalah pondasi suatu komunitas dari golongan yang terdidik dan terpilih. Konteks mahasiswa sebagai kader umat dan kader bangsa adalah tepat sebagai penopang dan penguat bangunan berbangsa dan bernegara.
            Tak heran jika Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai kader-kader yang militan dan progresif seperti halnya Tan Malaka, Semaoen, Alimin dan lain-lain. Karena didalam perkaderan partainya mengedepankan kader sebagai tulang punggung revolusi yang harus dididik sesuai dengan kedisiplinan organisasi dan rasa solidaritas yang tinggi.
            Melihat yang baru saja selesai (PILEG 2014) terkhusus bagi mahasiswa sebagai salah satu bagian dari bangsa Indonesia yang hari ini sudah banyak bergeser jauh dari posisi, peran dan fungsinya sebagai agent of change dan agent of social control yang hidup dimasyarakat ilmu. Terciderai dengan hadirnya calon-calon legislatif yang berangkat dari mahasiswa. Seolah-olah memang golongan terdidik yang terpilih untuk umat dan bangsa ini, dimana untuk memperjuangkan umat yang tertindas dan bangsa yang terjajah pun jauh dari harapan.
            Bagi saya bukannya untuk mengharamkan aksi politik mahasiswa yang bersifat parlementarisme. Dimana mahasiswa ikut andil dalam perumusan, pembuatan dan penetapan kebijakan nasional. Walaupun hal yang semacam ini juga sudah pernah dilakukan oleh mahasiswa Indonesia era Orde Baru. Melainkan yang saya tekankan adalah mahasiswa dan gerakan mahasiswa mempunyai karakteristik tersendiri dalam membuat suatu perubahan. Kalau yang terjadi justru ikut andil dalam pemerintahan, yang saya takutkan adalah mahasiswa dengan pengalaman yang sedikit tentang politik akan cepat tergerus arus besar politik nasional yang kejam.
Back To Campus
          Kembali ke kampus adalah aksi real yang harus segera dilakukan oleh mahasiswa masa kini. Back to campus dalam artianmelakukankerjaakademisdenganpergulatanilmudanpengetahuan yang semakinbertambahpesatsertatetap mempertahankan ritme posisi, peran, fungsi dan tujuan mahasiswa sebagai kader umat dan kader bangsa, dimana yang sudah termaktub dalam tridharma perguruan tinggi yaitu tentang dunia pendidikan, dunia penelitian dan dunia pengabdian masyarakat. Sembari tetap mengembangkan daya nalar kritis dan analitis mahasiswa dengan berbagai persoalan yang hadir disekitarnya.
            Dan bagi mereka yang sudah terjun kepolitik tetap teguhkan arah dan gerak sesuai dengan idealisme kemahasiswaan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaandengancaramengkajikembaliilmudanpengetahuan yang sudahditerimadibangkuperkuliahan.Jangansampaikekhawatiran WS.Rendramenjadikenyataan, sampai-sampaibeliauberpesan; ilmu-ilmu yang kaupelajariberpihakdipihak yang mana? Jangan mau ikut arus tragedi politik nasional yang menipu dan korup. Karena sekali masuk pada kubangan lumpur yang kotor, janganlah kau untuk beranjak dari kekotoran itu. Melainkan bagaimana tetap bertahan dengan daya kekuatan idealisme yang kau miliki. Begitu kalau Soe Hok Gie pernah berkata. Jadilah pemenang diantara para pecundang yang menipu rakyat. Perjuangan mahasiswa adalah perjuangan kemanusiaan dan kemerdekaan.
            Saya yakin setiap gejolak atau perubahan besar pasti akan terwujud, jika mahasiswa sebagai garda depan mengisi bahan bakarnya sesuai dengan takarannya. Dan bahan bakarnya itu adalah ilmu pengetahuan yang dilandasi dengan iman, islam dan ihsan. Tak bisa dipungkiri pasti perubahan akan terjadi. Maka dari itu mahasiswa sebagai kader umat dan kader bangsa itu harus segera memastikan terlebih dahulu posisinya berada dimana. Apakah berada pada posisi umat yang tertindas dan bangsa yang terjajah atau umat yang menindas dan bangsa yang menjajah. Mungkin begitu.
*Mahasiswa UMS FKIP Pendidikan Kewarganegaraan

Bergiat aktif dalam Grup Diskusi Griya Pena (GDGP)

Muktamar IMM Sebagai Wadah Pertarungan Intelektual

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
                Muktamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang akan diselenggarakan di kota Solo tepat pada tanggal 26-30 Mei mendatang, menuai banyak harapan dan masa depan perjuangan. Seperti pada organisasi kepemudaan yang lain, forum-forum besar kepemudaan se-tingkat nasional menjadi titik tolak perjuangan pemuda dalam menjawab tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara masa kini. Bagaimana tidak? Mitos pemuda sebagai tulang punggung peradaban bangsa sampai detik ini masih bergaung keras bunyinya.
            Nah, bagaimana dengan posisi strategis IMM sebagai salah satu wadah organisasi kepemudaan yang berkecimpung langsung dengan dunia kampus dan kemahasiswaan, yang akan menyelenggarakan muktamarnya ke setengah abad di kota Solo. Secara historiografi kota Solo adalah kota pergerakan. Kita tahu bahwa pecahan dari salah satu kerajaan Mataram Kuno masih tertinggal dengan baik yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran, selain itu masih ada yang lain yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, yang mana kedua tempat terakhir itu berada di kota Yogyakarta. Hal itu menandakan bahwa kota Solo adalah kota yang masih layak untuk melakukan pergerakan dan perubahan sosial.
            Disebutkan pula didalam bukunya Takashi Shiraishi yang berjudul Zaman Bergerak, yang menjelaskan Sarekat Islam secara kritis, beliau juga menyuguhkan gambaran yang memukau tentang pergerakan di wilayah Surakarta dengan menyoroti kemunculan dan kehancuran sejumlah partai berikut perhimpunan politik, termasuk Sarekat Islam (SI) Surakarta, Insulinde, national-indische partij (NIP), Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Sarekat Rakyat (SR). Dan yang tidak kurang menarik beliau juga mengulas mengenai “kata dan perbuatan” tiga pemimpin pergerakan terkemuka, yakni Marco Kartodikromo (tokoh pers yang agitatif), Tjipto Mangunkusumo (tokoh pergerakan nasional yang menghancurkan feodalisme), dan Haji Mohammad Misbach (ulama yang radikal dan progresif) yang semuanya itu berasal dari kota Solo.
            Maka dari itu mustahil jika penyelenggaraan muktamar IMM (forum tertinggi tingkat nasional di organisasi tersebut) tanpa sebab untuk memutuskan kota Solo sebagai tempat untuk merumuskan gerakan organisasi ke depannya. Bagi mereka yang tidak mengetahui sejarah pergerakan nasional, pasti akan mencela dan mengkritik apa yang menarik dari kota Solo yang sepi.
            Bahkan ketika kita melihat sejarah perkembangan organisasi kepemudaan yang serupa yang bergerak diranah kemahasiswaan yang lainnya, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), maka kita akan melihat bahwa kota Solo sangat berperan besar dalam penyelenggaraan kongres PB HMI, dimana pada saat itu yang akhirnya terpilih sebagai ketua umum PB HMI adalah Dr. Nurcholis Madjid, tokoh pembaharu Islam dan tokoh reformasi di Indonesia.
            Disebutkan dalam bukunya M. Alfan Alfian yang berjudul HMI 1963-1969; Menegakkan Pancasila ditengah Prahara. Menjelaskan bahwa pada saat itu isu pembubaran HMI semakin santer, kala Inpres No. 8/1964 dikeluarkan. Terlebih desakan dari organisasi kepemudaan PKI yang memohon kepada Presiden RI pertama Sukarno untuk membubarkan HMI. Dan provokasi D.N Aidit kepada CGMI (organisasi pemuda PKI) untuk memakai sarung saja jika tidak berhasil membubarkan HMI. Tetapi kenyataanya HMI tidak jadi dibubarkan, melainkan yang terjadi berbanding terbalik kepada PKI dan organisasi pendukungnya sendiri. Setelah Presiden Sukarno lengser dari kursi kekuasaanya, kemudian digantikan oleh Suharto. PKI dan organisasi pendukungnya runtuh berkeping-keping. Disebutkan kembali bahwa setelah itu PB HMI menggelar kongres PB HMI di kota Solo yang diberi nama sebagai kongres kemenangan dari melawan organisasi yang berupaya membubarkan HMI.
            Lantas, bagaimana jika sejarah perkembangan organisasi HMI tersebut dikontekskan dengan akan diselenggarakannya muktamar IMM yang ke setengah abad di kota Solo ini? Judul opini muktamar IMM sebagai wadah pertarungan intelektual rasanya tepat untuk dijadikan sebagai judul tulisan ini. Terlebih lagi jika kita melihat hari ini maka kita akan melihat perbedaan dengan hari kemarin dan hari esok. Dimana hari ini kita tahu bahwa gejolak politik nasional yang mana pemilihan presiden (PILPRES 2014) akan segera diselenggarakan pada tanggal 9 Juli 2014. Apakah muktamar IMM mampu merumuskan gerakannya sebagai salah satu organisasi mahasiswa atau justru terbuai dengan kenikmatan politik praksis yang hanya bersifat sementara. Disinilah muktamar IMM menjadi wadah pertarungan antara intelektual dan politik.

Kembali Ke Barak Intelektual
            Kembali menengok Solo, ternyata IMM pernah menggoreskan tinta emas sebagai platform gerakannya dalam politik keberpihakan di kota budaya ini. Munas (muktamar) I yang digelar pada tanggal 1-5 Mei 1965 berhasil menelorkan Deklarasi Kota Barat (Solo, 1965) yang isi dekralasi tersebut yaitu: 1) IMM, adalah gerakan mahasiswa Islam; 2) kepribadian Muhammadiyah, adalah landasan perjuangan IMM; 3) fungsi IMM adalah sebagai eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah (stabilisator dan dinamisator); 4) ilmu adalah amaliah IMM dan amal adalah ilmiah IMM; 5) IMM adalah organisasi yang sah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan dan falsafah negara yang berlaku; serta 6) amal IMM dilahirkan dan diabadikan untuk kepentingan agama, nusa dan bangsa.
            Kembali ke khittah perjuangan IMM, maka kembali pada Deklarasi Kota Barat yang dibacakan oleh KH. Ahmad Badawi (ketua PP Muhammadiyah pada saat itu). Oleh sebab itu di kembalikannya muktamar IMM di kota Solo berarti mengembalikan khittah perjuangan IMM bahwa IMM adalah eksponen mahasiswa dalam Muhammadiyah bukan dalam partai politik tertentu.
Yang mana kita tahu bahwa para politikus kita hari ini adalah insan yang sulit untuk mengaca diri. Atau kalau mereka mau berkaca, yang mereka lihat hanyalah kecantikan atau kebaikannya saja. Entah kemana wajah mereka mereka yang sesungguhnya, yang juga buruk dan busuk. Mungkin karena politikus itu pada hakikatnya adalah “pakar yang keahlian utamanya adalah serakah, terutama serakah untuk menarik perhatian” (Der Spiegel, 45/2006). Mungkin begitu.  
*penulis adalah mahasiswa UMS
Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Dan sekarang bergiat aktif di Grup Diskusi Griya Pena (GDGP)

Mahasiswa dan Toleransi Antar Umat Beragama

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
          Kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang beranekaragam ras, suku, budaya dan agama, tidak menutup kemungkinan bagi rakyat Indonesia harus mempunyai sifat dan sikap saling menghargai dan saling menghormati antar sesama manusia. Harapan besar pada kehidupan yang berkeamanan dan berkenyamanan dapat diraih. Hal itu bisa terwujud jika pikiran dan perbuatan yang saling toleran dan penghargaan terhadap perbedaan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
          Perbedaan yang kompleks inilah memanggil mahasiswa untuk beraktualisasi didalam masyarakat yang multikultural dan multi-agama. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan di masyarakat dituntut. Dimana hal yang serupa untuk menjadi calon pemimpin dan penggerak di masyarakat, indikator pencapaiannya harus diperhatikan, selain saling menghargai dan menghormati antar sesama. Hal yang harus diperhatikan lainnya adalah kompeten, bervisi, menghargai yang lain, menghargai diri sendiri, melihat berbagai sisi (out of the box), melakukan aksi dan memahami.
          Fenomena sosial yang terjadi akhir-akhir ini antar umat beragama, yang membuat resah dan gelisah warga negara yang memiliki keyakinan beragama di Indonesia. Dimana penyerangan terhadap umat beragama Katholik, yang sedang beribadah di Sleman Yogyakarta, pekan lalu, adalah bukti kesekian kali bahwa intoleransi dan militansi itu ibarat kanker. Dan di situlah mahasiswa dituntut untuk cerdas dan teliti dalam melihat konflik antar umat beragama. Bukan sebagai saksi, mediator, hakim, atau penyedia (fasilitatif resolusi konflik) melainkan sebagai pengajar yang masih banyak belajar dalam multikulturalisme Indonesia.
          Menurut laporan The Wahid Institute praktik intoleransi sepanjang 2013 terhadap kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, Kristen dan mereka yang dituduh mengajarkan aliran sesat ada 245 kasus. Artinya hampir setiap hari kelompok minoritas diserang.
          Padahal kalau kita mengingat-ingat kembali pesan K.H Agus Salim yaitu yang ditulis dalam artikel yang berjudul Kementerian Agama dalam Republik Indonesia, yaitu yang berbunyi “Sebab undang-undang dasar kita, sebagai juga undang-undang dasar tiap-tiap negara yang mempunyai adab dan kesopanan mengakui dan menjamin kemerdekaan keyakinan agama, sekedar dengan batas, yang tersebut tadi itu, yaitu asal jangan melanggar hak-hak pergaulan dan orang masing-masing, jangan melanggar adab kesopanan ramai, tertib, keamanan dan damai.
          Jelas dan tegas sekali bukan apa yang sudah dipesankan K.H Agus Salim kepada kita semua tersebut bahwa bukan hanya hak untuk beragama yang berbeda, tetapi hak untuk menganut paham yang berpaham atheisme dan politheisme pun tetap di akui sebagai masyarakat Indonesia, dimana harus kita akui bahwa masyarakat Indonesia mempunyai banyak agama, bahkan sebelum datangnya agama-agama dunia, masyarakat Indonesia sudah memiliki keyakinan terhadap Tuhan melalui agama yang dibangun atas dasar persepsi masing-masing lokus kedaerahan.
          Melihat masyarakat Indonesia yang multi agama, keyakinan beragama seringkali diartikan secara dangkal. Seakan-akan hak itu hanyalah hak pengikut agama mayoritas atau hak akan sebuah kebenaran. Kedangkalan itu hanya akan terkait pada istilah otoritas kebenaran beragama. Padahal dalam konteks beragama dengan kehidupan antar sesame manusia, yang paling penting adalah bagaimana pembangunan sumber daya manusianya serta pembangunan agama itu sendiri baik secara kelembagaan (agama sebagai fungsi legitimasi), perkaderan, pemahaman dan pemikiran yang kreatif (agama sebagai fungsi kritik).
          Hak dasar orang untuk kebebasan beragama mengandaikan hak orang tersebut untuk menghayati, menangkap pesan, dan pada gilirannya, memperbaharui pemahaman agamanya. Karena orang beragama itu selain dengan pengalaman juga dengan pemahaman, kedua-duanya itu berdampak pada tingkat kesadaran orang beragama. Oleh sebab itu kenapa tidak ada paksaan dalam beragama.
          Kasus pembaruan pemikiran yang dilakukan oleh Nurcholish Madjid di awal tahun 70-an, serta kasus buku harian Ahmad Wahib yang berjudul Pergolakan Pemikiran Islam di awal 80-an. Mencerminkan kegelisahan beliau bahwa beragama itu harusnya dengan pengalaman dan pemahaman yang rasional.
          Pada dasarnya setiap orang atau kelompok berhak mengkomunikasikan kebenaran yang dicapainya. Sebab itu buah kreativitas. Dan tanpa kreativitas, agama akan mandul dan irrelevant. Namun ironisnya kekuatan kreativitas itu seringkali dihambat atau bahkan ditumpas oleh kalangan keagamaan yang lain. Jangankan dengan kekuatan kreativitas yang rasional, perbedaan keyakinan saja bisa saling menghina, menghasut dan menyerang.
Tugas Mahasiswa
          Tugas mahasiswa ketika melihat fenomena yang menerpa tubuh garuda Indonesia dalam bingkai kebhinekaan tunggal ini adalah bagaimana posisi mahasiswa yang strategis tidak larut dalam euphoria semata, entah atas nama apapun. Melainkan bagaimana dengan jeli melihat kepentingan-kepentingan dibalik itu. Terlebih jika melihat mahasiswa selaku calon pemimpin masa depan, maka kepemimpinan yang otentik, kepemimpinan bagi semua, kepemimpinan yang menghibur dan tentunya kepemimpinan dengan hati.  
          Dan selaku pengajar yang tidak lelah untuk belajar, mahasiswa harus bisa bagaimana mencegah agar tidak terjadi konflik yang bersifat destruktif. Pencegahan itu dapat dilakukan dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat preventif dengan menggunakan media pengajaran dan edukasi untuk memberikan transformasi nilai-nilai kedamaian . Serta sebagai pejuang perdamaian, mahasiswa harus mengetahui dan memahami akar penyebab konflik dan menciptakan pondasi bagi pengelolaan perbedaan yang kooperatif. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS

Pendidikan Kewarganegaraan