Minggu, 14 Desember 2014

Membongkar Nalar Kritis Mahasiswa



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Menarik untuk ditanggapi opini mimbar mahasiswa Solopos edisi Selasa (14/10/2014) dan edisi Selasa (28/10/2014), yang melibatkan penulis saudara Muthimatun Nadhifah dan saudara Qibtiyatul Maisaroh. Karena perdebatan diskursus kritisisme mahasiswa terhadap persoalan yang dihadapi sangat dinamis. Tak ayal jika dialektika yang berbentuk diskusi tak puas dalam memberikan solusi, maka dialektika teks menjadi salah satu bentuk alternatif yang mampu memberikan jawaban.
Dialektika teks yang tertuang dalam lembaran kertas dan penuh kata-kata sangat mungkin pula untuk dikritisi dengan lembaran teks yang lain dengan melibatkan nalar penulis. Oleh sebab itu jangan kaget jika R. Barthes menulis Kematian Sang Pengarang (2005), yang mengatakan bahwa menulis adalah penghancuran setiap suara, setiap asal-usul. Setelah penulis menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, kemudian di transformasikan pada ruang publik, sah untuk gagasannya tersebut di kritisi. Yang pada akhirnya saya bermaksud menulis gagasan ini.
Membaca kembali artikel yang ditulis oleh saudara Nadhifah yang berjudul Mahasiswa, Motor, Mobil dan Intelektualitas. Maka kita akan melihat pencarian basis yang tidak kokoh dalam melihat persoalan kendaraan bermotor dan urusan parkir di kampus. Terutama dalam persoalan epistemologi. Proses berfikir dalam tulisan yang bersifat intelektualisme klasik sangat menonjol dalam analisanya terhadap permasalahan. Intelektualisme klasik yang bertitik tolak pada pengambilan kehebatan akal, intuisi intelektual dan keunggulan pengetahuan teoritis sangat kentara. (Hans Albert, 2014)
Bisa kita lihat dalam argumentasinya yang mengusahakan mahasiswa dalam berkendara untuk menengok kembali perbuatan Soe Hok Gie dan Hernowo. Serta bagaimana pengkhawatiran nasib intelektualitas mahasiswa diantara kebisingan motor dan mobil yang berdesak-desakkan. Bahkan teori yang ia kemukakan pun sarat dengan humanistis-empatis, empiris atau penuh pengalaman sebagai mahasiswa yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan. Jadi terkesan mahasiswa yang berkendara didiskriminatifkan tak berintelektual. Saya merasa bangunan berfikir yang dituangkan dalam tulisan tersebut penuh kenaifan belaka.
Pertanyaan reflektifnya, apakah saudara Nadhifah dalam meretas jalan ilmu pengetahuan layaknya Gie yang sering berjalan kaki menuju kampus UI? Saya pikir tidak, melalui penalarannya saja kita bisa membaca bahwa beliau sepakat jika alat transportasi seperti mobil dan motor barangkali memang menjadi hal yang utama bagi mahasiswa masa kini daripada pemenuhan gizi otak. Dugaan saya saudara Nadhifah menuju kampus atau toko-toko buku loakan menggunakan sepeda motor dengan penuh wajah kenaifan.
Kemudian seberapa terpengaruhnya kepemilikan kendaraan terhadap proses peretasan jalan ilmu pengetahuan? Saya rasa beliau juga sudah menjawab dengan mengenang Hernowo melalui kenangan Haidar Bagir, yang memiliki motor dan gaya hidup yang langka pada zaman itu tak membuat dia berjarak untuk aktif di masjid Salman ITB: menapaki waktu di jalan-jalan ilmu pengetahuan, buku-buku dan pemikiran keagamaan. Lantas, apa yang menjadi pertanyaan mendasar jika jawabannya sudah terjawab sendiri oleh penulis. Saya menduga saudara Nadhifah terjebak dalam nalar berfikir yang positivistik.
Sedangkan jika kita menelaah kembali tulisan karya Qibtiyatul Maisaroh yang berjudul Mobil dan Nalar yang Tergelincir. Maka kita akan disuguhkan pada perasaan belas-kasihan pengalaman pribadi penulis yang naturalistik-moralis. Proses berfikir yang ia tuangkan dalam bentuk gagasan tersebut pada kenyataanya gagal dalam perbenturan realita. Kemagisan dalam bentuk kesadaran sosial pun rasanya tepat untuk beliau, terlebih jika kita membaca permohonan seorang mahasiswa terhadap dosennya untuk lebih giat lagi dalam memproduksi ilmu pengetahuan (karya literer). Dan permintaan seorang mahasiswa terhadap dosennya untuk menumpang di mobilnya, seperti yang ia kisahkan pada sosok Koentjaraningrat dan mahasiswanya.
Sungguh, persoalan berfikir menyebabkan kecerobohan mahasiswa dalam mengkritisi permasalahan. Yang pada akhirnya persoalan yang menjadi titik tekannya tak tersentuh sama sekali. Jika saudara Nadhifah terjebak metode penyelesaian masalah dengan mengacu pada intelektualisme klasik, yang berorientasi pada dogmatisme intelektual. Maka saudara Maisaroh menanggapi dengan masih terkungkung dalam model rasionalitas yang empirisme klasik, yang mana dalam proses penalarannya lebih menekankan keunggulan observasi, persepsi indera dan keunggulan fakta yang berorientasi dogmatisme empiris. Maka yang terjadi adalah kedua penulis tersebut belum mampu bernalar kritis strukturalis yang hadap masalah.
Rekonstruksi Nalar Kritis
            Menengok Soe Hok Gie, maka kita akan menengok kembali perselisihan antara Gie dan Ong Hok Ham yang berbeda prinsip justifikasi. Jika Gie menyebut Ong sebagai orang yang tradisionalis, maka Ong menyebut Gie sebagai orang moralis yang mempunyai agama baru: logika (Gie, 1964). Pertarungan ide kedua tokoh yang mempertaruhkan prinsip justifikasi ini adalah salah satu bentuk pengujian nalar kritis yang patut kita tiru.
Dalam bukunya Hans Albert yang berjudul Rekonstruksi Nalar Kritis (2014) dijelaskan bahwa sebuah argumen deduktif yang valid, suatu inferensi logis adalah suatu rangkaian statemen, premis dan kesimpulan, yang diatara ketiganya terjalin hubungan logis tertentu, dimana kesimpulan bisa dideduksikan dari premis dengan bantuan aturan-aturan logis. “Premis” dan “kesimpulan” dipahami sebagai konsep deduktif relatif. Ia mengacu kepada peran logis statemen-statemen dalam suatu konteks inferensial partikular, bukan kepada statemen-statemen per se.
Korelasi kendaraan bermotor, urusan parkir dan posisi-peranan mahasiswa tak bisa dilepaskan dengan analisa ilmiah yang ditekuni mahasiswa dalam proses pergumulan ilmu. Jika banyaknya kendaraan bermotor di dalam parkiran kampus, menyebabkan penatnya aktivitas ilmiah. Maka yang perlu dipertanyakan bukan se per se yang harus ditelisik lebih dalam, melainkan bagaimana kita dapat masuk dalam relasi kuasa pendidikan yang mengatur otoritas kesadaran kita.
Sementara proses kesadaran terbentuk bukan hanya melalui teks yang kaku, melainkan bagaimana teks dapat bergumul dengan realita sosial yang ada dengan relasi kuasa yang membentuknya. Pertanyaan reflektifnya, apakah pengetahuan yang mempengaruhi relasi kuasa? atau relasi kuasa yang mempengaruhi pengetahuan? Jika kedua penulis mampu menjawab pertanyaan reflektif ini. Maka premis dan kesimpulan yang diusulkan bukan hanya pada tataran kesadaran magis atau naif, melainkan melampaui pada kesadaran kritis.
            Persoalan kampus IAIN Surakarta tidak ada bedanya dengan UMS yang menghadapi pembludakan motor diparkiran. Tetapi pada suatu saat ada sekelompok mahasiswa yang menemui saya untuk memperbincangkan persoalan parkiran kampus yang sesak. Diakhir perbincangan, kita sepakat untuk beraudiensi dengan pihak rektorat dan mengusulkan pemberian sepeda onthel kepada mahasiswa baru, dengan mengambil sebagian biaya pendidikan mahasiswa baru atau bekerja sama dengan bank yang terdaftar di kampus seperti yang sudah dilakukan oleh UGM. Setelah itu kita akan membentuk komunitas bike to campus guna mewadahi mahasiswa yang mengendarai sepeda ke kampus, dan memperkecil ruang parkir yang semakin sempit oleh sepeda motor. Dan yang paling utama adalah memperlebar lahan penghijauan kampus dengan ide-ide kreatif mahasiswa ini. Saya pikir nalar kritis yang dibangun oleh mahasiswa yang peduli terhadap masalah parkiran ini, sudah memasuki ranah pengetahuan dan komitmen yang rasional untuk perbaikan kampus yang kondusif bagi peretas ilmu pengetahuan. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
Dan bergiat aktif di Grup Diskusi Griya Pena (GDGP) Pabelan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar