Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Menarik
untuk ditanggapi opini mimbar mahasiswa Solopos edisi Selasa (14/10/2014) dan
edisi Selasa (28/10/2014), yang melibatkan penulis saudara Muthimatun Nadhifah
dan saudara Qibtiyatul Maisaroh. Karena perdebatan diskursus kritisisme
mahasiswa terhadap persoalan yang dihadapi sangat dinamis. Tak ayal jika
dialektika yang berbentuk diskusi tak puas dalam memberikan solusi, maka
dialektika teks menjadi salah satu bentuk alternatif yang mampu memberikan
jawaban.
Dialektika
teks yang tertuang dalam lembaran kertas dan penuh kata-kata sangat mungkin
pula untuk dikritisi dengan lembaran teks yang lain dengan melibatkan nalar
penulis. Oleh sebab itu jangan kaget jika R. Barthes menulis Kematian Sang Pengarang (2005), yang
mengatakan bahwa menulis adalah penghancuran setiap suara, setiap asal-usul.
Setelah penulis menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan, kemudian di
transformasikan pada ruang publik, sah untuk gagasannya tersebut di kritisi.
Yang pada akhirnya saya bermaksud menulis gagasan ini.
Membaca
kembali artikel yang ditulis oleh saudara Nadhifah yang berjudul Mahasiswa,
Motor, Mobil dan Intelektualitas. Maka kita akan melihat pencarian basis yang
tidak kokoh dalam melihat persoalan kendaraan bermotor dan urusan parkir di
kampus. Terutama dalam persoalan epistemologi. Proses berfikir dalam tulisan yang
bersifat intelektualisme klasik sangat menonjol dalam analisanya terhadap
permasalahan. Intelektualisme klasik yang bertitik tolak pada pengambilan
kehebatan akal, intuisi intelektual dan keunggulan pengetahuan teoritis sangat
kentara. (Hans Albert, 2014)
Bisa
kita lihat dalam argumentasinya yang mengusahakan mahasiswa dalam berkendara
untuk menengok kembali perbuatan Soe Hok Gie dan Hernowo. Serta bagaimana
pengkhawatiran nasib intelektualitas mahasiswa diantara kebisingan motor dan
mobil yang berdesak-desakkan. Bahkan teori yang ia kemukakan pun sarat dengan
humanistis-empatis, empiris atau penuh pengalaman sebagai mahasiswa yang sangat
peduli dengan ilmu pengetahuan. Jadi terkesan mahasiswa yang berkendara
didiskriminatifkan tak berintelektual. Saya merasa bangunan berfikir yang
dituangkan dalam tulisan tersebut penuh kenaifan belaka.
Pertanyaan
reflektifnya, apakah saudara Nadhifah dalam meretas jalan ilmu pengetahuan
layaknya Gie yang sering berjalan kaki menuju kampus UI? Saya pikir tidak,
melalui penalarannya saja kita bisa membaca bahwa beliau sepakat jika alat
transportasi seperti mobil dan motor barangkali memang menjadi hal yang utama
bagi mahasiswa masa kini daripada pemenuhan gizi otak. Dugaan saya saudara
Nadhifah menuju kampus atau toko-toko buku loakan menggunakan sepeda motor
dengan penuh wajah kenaifan.
Kemudian
seberapa terpengaruhnya kepemilikan kendaraan terhadap proses peretasan jalan
ilmu pengetahuan? Saya rasa beliau juga sudah menjawab dengan mengenang Hernowo
melalui kenangan Haidar Bagir, yang memiliki motor dan gaya hidup yang langka
pada zaman itu tak membuat dia berjarak untuk aktif di masjid Salman ITB:
menapaki waktu di jalan-jalan ilmu pengetahuan, buku-buku dan pemikiran
keagamaan. Lantas, apa yang menjadi pertanyaan mendasar jika jawabannya sudah
terjawab sendiri oleh penulis. Saya menduga saudara Nadhifah terjebak dalam
nalar berfikir yang positivistik.
Sedangkan
jika kita menelaah kembali tulisan karya Qibtiyatul Maisaroh yang berjudul
Mobil dan Nalar yang Tergelincir. Maka kita akan disuguhkan pada perasaan belas-kasihan
pengalaman pribadi penulis yang naturalistik-moralis. Proses berfikir yang ia
tuangkan dalam bentuk gagasan tersebut pada kenyataanya gagal dalam perbenturan
realita. Kemagisan dalam bentuk kesadaran sosial pun rasanya tepat untuk
beliau, terlebih jika kita membaca permohonan seorang mahasiswa terhadap
dosennya untuk lebih giat lagi dalam memproduksi ilmu pengetahuan (karya
literer). Dan permintaan seorang mahasiswa terhadap dosennya untuk menumpang di
mobilnya, seperti yang ia kisahkan pada sosok Koentjaraningrat dan
mahasiswanya.
Sungguh,
persoalan berfikir menyebabkan kecerobohan mahasiswa dalam mengkritisi
permasalahan. Yang pada akhirnya persoalan yang menjadi titik tekannya tak tersentuh
sama sekali. Jika saudara Nadhifah terjebak metode penyelesaian masalah dengan
mengacu pada intelektualisme klasik, yang berorientasi pada dogmatisme
intelektual. Maka saudara Maisaroh menanggapi dengan masih terkungkung dalam
model rasionalitas yang empirisme klasik, yang mana dalam proses penalarannya
lebih menekankan keunggulan observasi, persepsi indera dan keunggulan fakta
yang berorientasi dogmatisme empiris. Maka yang terjadi adalah kedua penulis
tersebut belum mampu bernalar kritis strukturalis yang hadap masalah.
Rekonstruksi Nalar Kritis
Menengok Soe Hok Gie, maka kita akan
menengok kembali perselisihan antara Gie dan Ong Hok Ham yang berbeda prinsip
justifikasi. Jika Gie menyebut Ong sebagai orang yang tradisionalis, maka Ong
menyebut Gie sebagai orang moralis yang mempunyai agama baru: logika (Gie,
1964). Pertarungan ide kedua tokoh yang mempertaruhkan prinsip justifikasi ini
adalah salah satu bentuk pengujian nalar kritis yang patut kita tiru.
Dalam
bukunya Hans Albert yang berjudul Rekonstruksi
Nalar Kritis (2014) dijelaskan bahwa sebuah argumen deduktif yang valid,
suatu inferensi logis adalah suatu rangkaian statemen, premis dan kesimpulan,
yang diatara ketiganya terjalin hubungan logis tertentu, dimana kesimpulan bisa
dideduksikan dari premis dengan bantuan aturan-aturan logis. “Premis” dan
“kesimpulan” dipahami sebagai konsep deduktif relatif. Ia mengacu kepada peran
logis statemen-statemen dalam suatu konteks inferensial partikular, bukan
kepada statemen-statemen per se.
Korelasi
kendaraan bermotor, urusan parkir dan posisi-peranan mahasiswa tak bisa
dilepaskan dengan analisa ilmiah yang ditekuni mahasiswa dalam proses
pergumulan ilmu. Jika banyaknya kendaraan bermotor di dalam parkiran kampus,
menyebabkan penatnya aktivitas ilmiah. Maka yang perlu dipertanyakan bukan se per se yang harus ditelisik lebih
dalam, melainkan bagaimana kita dapat masuk dalam relasi kuasa pendidikan yang
mengatur otoritas kesadaran kita.
Sementara
proses kesadaran terbentuk bukan hanya melalui teks yang kaku, melainkan
bagaimana teks dapat bergumul dengan realita sosial yang ada dengan relasi
kuasa yang membentuknya. Pertanyaan reflektifnya, apakah pengetahuan yang
mempengaruhi relasi kuasa? atau relasi kuasa yang mempengaruhi pengetahuan?
Jika kedua penulis mampu menjawab pertanyaan reflektif ini. Maka premis dan
kesimpulan yang diusulkan bukan hanya pada tataran kesadaran magis atau naif,
melainkan melampaui pada kesadaran kritis.
Persoalan kampus IAIN Surakarta
tidak ada bedanya dengan UMS yang menghadapi pembludakan motor diparkiran.
Tetapi pada suatu saat ada sekelompok mahasiswa yang menemui saya untuk
memperbincangkan persoalan parkiran kampus yang sesak. Diakhir perbincangan,
kita sepakat untuk beraudiensi dengan pihak rektorat dan mengusulkan pemberian
sepeda onthel kepada mahasiswa baru, dengan mengambil sebagian biaya pendidikan
mahasiswa baru atau bekerja sama dengan bank yang terdaftar di kampus seperti
yang sudah dilakukan oleh UGM. Setelah itu kita akan membentuk komunitas bike to campus guna mewadahi mahasiswa
yang mengendarai sepeda ke kampus, dan memperkecil ruang parkir yang semakin
sempit oleh sepeda motor. Dan yang paling utama adalah memperlebar lahan
penghijauan kampus dengan ide-ide kreatif mahasiswa ini. Saya pikir nalar kritis
yang dibangun oleh mahasiswa yang peduli terhadap masalah parkiran ini, sudah
memasuki ranah pengetahuan dan komitmen yang rasional untuk perbaikan kampus
yang kondusif bagi peretas ilmu pengetahuan. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS
Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
Dan bergiat aktif di Grup Diskusi
Griya Pena (GDGP) Pabelan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar