Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Dalam tradisi jawa jaman dahulu ada
tradisi yang mana seorang lelaki remaja diasuh oleh seorang perempuan dewasa
yang bernama Gowok. Gowok adalah seorang perempuan yang bertugas mengajarkan
kepada anak laki-laki yang sedang beranjak dewasa tentang katuragan wanita. Tradisi ini disebut Nyantrik. Tugas seorang Gowok selain mengajarkan bagian-bagian
tubuh perempuan mana yang jika disentuh akan muncul kenikmatan pada yang
disentuhnya, adalah mengajarkan juga tentang bagimana laki-laki menjadi lelananging jagad yang sejati. Jadi
dalam berhubungan intim seorang laki-laki juga harus bisa membahagiakan batin
seorang perempuan, tidak hanya sekedar kebahagiaan lahir. Dalam berhubungan
suami-isteri tidak hanya sekedar bagimana memuaskan nafsu berahi semata.
Melainkan setiap kenikmatan dikerjakan secara bersama-sama hingga titik
kepuasan yang klimaks. Bukan layaknya singa yang kelaparan mencari mangsa,
setelah mendapatkan mangsanya ia tinggal tidur dengan pulasnya. Lantas, bedanya
manusia dengan hewan apa? Kalau dalam segi naluri saja sama-sama
kebinatangannya.
Hal ini diceritakan dengan apik oleh
Budi Sardjono dalam novelnya yang berjudul Nyai
Gowok; Novel Kamasutra dari Jawa (2014). Novel yang berlatar di Temanggung,
Jawa Tengah ini mengangkat sosok Bagus Sasongko seorang putra dari Kawedanan
Randu Pitu yang bernama Ndoro Dono. Dalam kebiasaan adat Jawa setempat seorang
laki-laki remaja yang seusai melaksanakan sunat dan menjalankan prosesi adat
Jawa yang lainnya, akan dititipkan oleh seorang Gowok. Dalam cerita ini Nyai
Lindri berperan sebagai Gowok tersebut yang bertempat tinggal di Gowangan. Pada
saat pertemuannya dengan seorang Gowok tersebut, Bagus Sasongko terpana oleh
kecantikannya dengan warna kulit kuning langsatnya. Tinggal beberapa minggu di
Gowangan dan sempat berpergian ke Yogyakarta Bagus Sasongko mendapatkan
pelajaran yang sangat berharga dalam hal memperlakukan wanita dengan baik.
Terlebih ketika kelak ia mempunyai isteri. Nyai Lindri seorang pengajar yang
baik dengan sabar memandu pelajaran tahap demi tahap dengan tekun. Sedangkan
Bagus Sasongko yang sedang beranjak dewasa adalah seorang laki-laki yang
trengginas terhadap hal-hal yang baru.
Pelajaran pertama dalam tradisi
seksualitas Jawa yang diceritakan oleh novel ini adalah bagaimana seorang
laki-laki jika menghadapi wanita harus bisa menahan diri. Artinya dapat
mengontrol pernapasan dengan baik. Jika tidak mampu menguasai diri biasanya
akan segera capek dan tidak tahan lama. Kemudian langkah selanjutnya yang
penting untuk diperhatikan adalah jangan grusa-grusu dalam menyentuh bagian
tubuh perempuan. Sesungguhnya ada titik-titik tertentu bagian tubuh perempuan
jika disentuh dengan mesra perempuan akan tergelepar ibarat ikan, dan ini
sering terlupakan oleh laki-laki. Bagian pertama adalah bibir, karena itu
wanita suka dicium. Bagian kedua adalah bagian belakang telinga, ia akan senang
sekali dicium pada bagian itu. Setelah bagian belakang telinga, wanita juga
senang jika disentuh dagunya pelan-pelan.
Setelah dagu baru leher adalah
bagian penting yang keempat yang disukai perempuan. Bagian sensitif yang lain
adalah dada. Yang perlu diperhatikan adalah tidak hanya laki-laki yang suka
dengan buah dada, melainkan perempuan juga suka. Lihat waktu ibu-ibu menyusui
anaknya diwaktu balita, ia merasa senang karena dapat menyusui anaknya dengan
baik. Begitupun jika hal tersebut dilakukan oleh laki-laki yang penuh mesranya.
Kemudian perut adalah bagian penting yang harus dilakukan oleh laki-laki,
karena biasanya laki-laki sering lupa pada bagian ini. Sentuhlah dengan lembut,
maka perempuan akan merasa senang karena mengingatkan pada naluri keibuannya
yang pernah mengandung.
Dari perut pelan-pelan turun ke
bawah, disinilah bagian yang paling peka dari seorang wanita. Namun ingat,
harus memperlakukan dengan halus dan lembut. Pada bagian ini wanita sangat
senang jika lelaki mau bermain-main dulu disitu. Bisa dengan jari, bisa dengan
bibir dan lidah. Tahapan-tahapan itu jika dilakukan dengan baik secara
sistematis dan rapi dari atas, kalau dari bawah bisa dimulai dari punggung kaki
kemudian lalu naik ke betis. Karena betis wanita itu menjadi salah satu dari
daya tarik tersendiri terutama bagi perempuan yang gemuk. Entah dari mana akan
memulai, entah dari atas atau dari bawah tujuannya tetap sama yaitu membuat
wanita menjadi nyaman, bisa menikmati dan akhirnya mau melayani suami dengan
penuh gairah.
Pelanjaran selanjutnya dalam tradisi
Nyantrik yang oleh novel ini coba
dipaparkan adalah bagaimana seorang laki-laki bisa memberi kepuasan bathin
kepada pasangan hidupnya. Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk memuaskan
bathin kepada pasangan hidup. Cara ini diambil dari ajaran Hindu Kuno yang
berada dalam kitab Rahasya Sanggama.
Tiga cara tersebut yaitu angguliprawesa
yang artinya lelaki bisa menggunakan jari-jari tangannya untuk memperoleh
kenikmatan. Yang kedua yaitu jihprawesa
yang artinya lelaki dapat menggunakan lidahnya untuk membuat gairah pasangannya
terbakar. Dan ketiga lelaki bisa purusaprawesa,
menggunakan alat kelaminnya untuk mengantar pasangannya menuju puncak.
Ajaran-ajaran inilah bagaimana caranya memulai, memanaskan dan akhirnya
mengakhiri dengan penuh kenikmatan.
Setelah semua pelajaran hal-ihwal katuragan wanita sudah dibeberkan dengan
jelas, bahkan dipraktekkan secara langsung oleh Bagus Sasongko. Begitu juga
mantra-mantra yang berguna untuk kehidupan suami-isteri nanti. Bahkan jamu dan
beberapa ramuan untuk kaum lelakipun sudah di beritahukannya. Sekarang tinggal
bagaimana Bagus Sasongko mengolah raga dan jiwanya untuk menghadapi masa
depannya sebagai lelananging jagad disaat dunia sudah tidak mampu membendung
hawa nafsu seorang laki-laki.
Pesan terakhir dari novel ini adalah
yang disampaikan oleh Nyai Lindri kepada Bagus Sasongko adalah “menjadi seorang
lelaki yang bisa disebut lelananging jagad itu kalau dia bisa mengendalikan
hawa nafsunya. Mas, ingat ya!” Pesan Nyai Lindri serius. “Hargailah wanita,
jangan sekali-kali memandang bahwa mereka hanya sekedar objek pemuas nafsu.
Jangan! Bagaimanapun, mas Bagus lahir dari rahim seorang wanita, bukan lahir
dari batu gunung. Lelaki kalau memandang wanita hanya sebagai alat pemuas
nafsu, maka lelaki seperti itu sejatinya derajatnya hanya setara dengan hewan.
Para pejantan mengawini betina karena naluri. Karena mereka tidak punya
pikiran, tidak punya hati dan jiwa. Jadi, soal kawin itu karena semata-mata di
dorong oleh kehendak nafsu belaka. Apakah mas Bagus akan meniru hewan-hewan
itu?” “Tidak akan, Nyai!” “Maka dari itu jadilah lelananging jagad yang sejati!” Tegasku.
*Penulis adalah pengelola Taman
Baca Masyarakat (TBM)
Perisai Pena
Nilasari Pabelan, Kartasura
Sukoharjo
inilah keturunan gawok
BalasHapusTradisi,a bagus sgt membntu bt kaum perempuan..lbh trharu dgn pesan trkhir dr novelnya:😊
BalasHapus