Jumat, 19 Desember 2014

Nyai Gowok dan Tradisi Seksualitas Jawa


Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Dalam tradisi jawa jaman dahulu ada tradisi yang mana seorang lelaki remaja diasuh oleh seorang perempuan dewasa yang bernama Gowok. Gowok adalah seorang perempuan yang bertugas mengajarkan kepada anak laki-laki yang sedang beranjak dewasa tentang katuragan wanita. Tradisi ini disebut Nyantrik. Tugas seorang Gowok selain mengajarkan bagian-bagian tubuh perempuan mana yang jika disentuh akan muncul kenikmatan pada yang disentuhnya, adalah mengajarkan juga tentang bagimana laki-laki menjadi lelananging jagad yang sejati. Jadi dalam berhubungan intim seorang laki-laki juga harus bisa membahagiakan batin seorang perempuan, tidak hanya sekedar kebahagiaan lahir. Dalam berhubungan suami-isteri tidak hanya sekedar bagimana memuaskan nafsu berahi semata. Melainkan setiap kenikmatan dikerjakan secara bersama-sama hingga titik kepuasan yang klimaks. Bukan layaknya singa yang kelaparan mencari mangsa, setelah mendapatkan mangsanya ia tinggal tidur dengan pulasnya. Lantas, bedanya manusia dengan hewan apa? Kalau dalam segi naluri saja sama-sama kebinatangannya.
            Hal ini diceritakan dengan apik oleh Budi Sardjono dalam novelnya yang berjudul Nyai Gowok; Novel Kamasutra dari Jawa (2014). Novel yang berlatar di Temanggung, Jawa Tengah ini mengangkat sosok Bagus Sasongko seorang putra dari Kawedanan Randu Pitu yang bernama Ndoro Dono. Dalam kebiasaan adat Jawa setempat seorang laki-laki remaja yang seusai melaksanakan sunat dan menjalankan prosesi adat Jawa yang lainnya, akan dititipkan oleh seorang Gowok. Dalam cerita ini Nyai Lindri berperan sebagai Gowok tersebut yang bertempat tinggal di Gowangan. Pada saat pertemuannya dengan seorang Gowok tersebut, Bagus Sasongko terpana oleh kecantikannya dengan warna kulit kuning langsatnya. Tinggal beberapa minggu di Gowangan dan sempat berpergian ke Yogyakarta Bagus Sasongko mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam hal memperlakukan wanita dengan baik. Terlebih ketika kelak ia mempunyai isteri. Nyai Lindri seorang pengajar yang baik dengan sabar memandu pelajaran tahap demi tahap dengan tekun. Sedangkan Bagus Sasongko yang sedang beranjak dewasa adalah seorang laki-laki yang trengginas terhadap hal-hal yang baru.
            Pelajaran pertama dalam tradisi seksualitas Jawa yang diceritakan oleh novel ini adalah bagaimana seorang laki-laki jika menghadapi wanita harus bisa menahan diri. Artinya dapat mengontrol pernapasan dengan baik. Jika tidak mampu menguasai diri biasanya akan segera capek dan tidak tahan lama. Kemudian langkah selanjutnya yang penting untuk diperhatikan adalah jangan grusa-grusu dalam menyentuh bagian tubuh perempuan. Sesungguhnya ada titik-titik tertentu bagian tubuh perempuan jika disentuh dengan mesra perempuan akan tergelepar ibarat ikan, dan ini sering terlupakan oleh laki-laki. Bagian pertama adalah bibir, karena itu wanita suka dicium. Bagian kedua adalah bagian belakang telinga, ia akan senang sekali dicium pada bagian itu. Setelah bagian belakang telinga, wanita juga senang jika disentuh dagunya pelan-pelan.
            Setelah dagu baru leher adalah bagian penting yang keempat yang disukai perempuan. Bagian sensitif yang lain adalah dada. Yang perlu diperhatikan adalah tidak hanya laki-laki yang suka dengan buah dada, melainkan perempuan juga suka. Lihat waktu ibu-ibu menyusui anaknya diwaktu balita, ia merasa senang karena dapat menyusui anaknya dengan baik. Begitupun jika hal tersebut dilakukan oleh laki-laki yang penuh mesranya. Kemudian perut adalah bagian penting yang harus dilakukan oleh laki-laki, karena biasanya laki-laki sering lupa pada bagian ini. Sentuhlah dengan lembut, maka perempuan akan merasa senang karena mengingatkan pada naluri keibuannya yang pernah mengandung.
            Dari perut pelan-pelan turun ke bawah, disinilah bagian yang paling peka dari seorang wanita. Namun ingat, harus memperlakukan dengan halus dan lembut. Pada bagian ini wanita sangat senang jika lelaki mau bermain-main dulu disitu. Bisa dengan jari, bisa dengan bibir dan lidah. Tahapan-tahapan itu jika dilakukan dengan baik secara sistematis dan rapi dari atas, kalau dari bawah bisa dimulai dari punggung kaki kemudian lalu naik ke betis. Karena betis wanita itu menjadi salah satu dari daya tarik tersendiri terutama bagi perempuan yang gemuk. Entah dari mana akan memulai, entah dari atas atau dari bawah tujuannya tetap sama yaitu membuat wanita menjadi nyaman, bisa menikmati dan akhirnya mau melayani suami dengan penuh gairah.
            Pelanjaran selanjutnya dalam tradisi Nyantrik yang oleh novel ini coba dipaparkan adalah bagaimana seorang laki-laki bisa memberi kepuasan bathin kepada pasangan hidupnya. Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk memuaskan bathin kepada pasangan hidup. Cara ini diambil dari ajaran Hindu Kuno yang berada dalam kitab Rahasya Sanggama. Tiga cara tersebut yaitu angguliprawesa yang artinya lelaki bisa menggunakan jari-jari tangannya untuk memperoleh kenikmatan. Yang kedua yaitu jihprawesa yang artinya lelaki dapat menggunakan lidahnya untuk membuat gairah pasangannya terbakar. Dan ketiga lelaki bisa purusaprawesa, menggunakan alat kelaminnya untuk mengantar pasangannya menuju puncak. Ajaran-ajaran inilah bagaimana caranya memulai, memanaskan dan akhirnya mengakhiri dengan penuh kenikmatan.
            Setelah semua pelajaran hal-ihwal katuragan wanita sudah dibeberkan dengan jelas, bahkan dipraktekkan secara langsung oleh Bagus Sasongko. Begitu juga mantra-mantra yang berguna untuk kehidupan suami-isteri nanti. Bahkan jamu dan beberapa ramuan untuk kaum lelakipun sudah di beritahukannya. Sekarang tinggal bagaimana Bagus Sasongko mengolah raga dan jiwanya untuk menghadapi masa depannya sebagai lelananging jagad disaat dunia sudah tidak mampu membendung hawa nafsu seorang laki-laki.
            Pesan terakhir dari novel ini adalah yang disampaikan oleh Nyai Lindri kepada Bagus Sasongko adalah “menjadi seorang lelaki yang bisa disebut lelananging jagad itu kalau dia bisa mengendalikan hawa nafsunya. Mas, ingat ya!” Pesan Nyai Lindri serius. “Hargailah wanita, jangan sekali-kali memandang bahwa mereka hanya sekedar objek pemuas nafsu. Jangan! Bagaimanapun, mas Bagus lahir dari rahim seorang wanita, bukan lahir dari batu gunung. Lelaki kalau memandang wanita hanya sebagai alat pemuas nafsu, maka lelaki seperti itu sejatinya derajatnya hanya setara dengan hewan. Para pejantan mengawini betina karena naluri. Karena mereka tidak punya pikiran, tidak punya hati dan jiwa. Jadi, soal kawin itu karena semata-mata di dorong oleh kehendak nafsu belaka. Apakah mas Bagus akan meniru hewan-hewan itu?” “Tidak akan, Nyai!” “Maka dari itu jadilah lelananging jagad yang sejati!” Tegasku.

*Penulis adalah pengelola Taman Baca Masyarakat (TBM)
Perisai Pena
Nilasari Pabelan, Kartasura Sukoharjo

2 komentar:

  1. Tradisi,a bagus sgt membntu bt kaum perempuan..lbh trharu dgn pesan trkhir dr novelnya:😊

    BalasHapus