Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Sekiranya saya
tidak menanggapi dua opini di mimbar mahasiswa Solopos yang berjudul Mahasiswa,
Motor, Mobil dan Intelektualitas (21/10/2014) yang ditulis oleh saudara
Muthimatun Nadhifah serta Mobil dan Nalar yang Tergelincir (28/10/2014)
yang diuraikan oleh saudara Qibriyatul Maisaroh, mungkin polemik yang terjadi
digagasan ini tidak akan berkepanjangan sampai hari ini.
Karena tulisan
saya yang berjudul Membongkar Nalar Kritis Mahasiswa (04/11/2014)
ditanggapi oleh saudara Imawati Rofiqoh yang berjudul Makelar Intelektual
dan Antropolog Amatir (18/11/2014) yang oleh saudara Irfan Anshori di
tulisannya yang berjudul Esais dan Kritik (09/12/2014) menyebutkan esai
rofiqoh kurang etis dengan pelabelan yang digunakan terlampau tendensius yakni
penyebutan “makelar” serta “amatir”.
Membuat
ketertarikan kembali bagi saya untuk menanggapi esai Rofiqoh tersebut dengan
judul Berpikir Kritis atau Apatis (25/11/2014), dimana saya lebih
memberikan tahapan-tahapan bagaimana berfikir dialektis supaya dapat berfikir
kritis dalam menghadapi persoalan sebelum menetapkan paradigma. Di tanggapi di
kemudian hari oleh yang empunya kegelisahan awal yaitu saudara Muthimatun,
dengan judul Tak Perlu Njlimet untuk yang Sederhana (02/12/2014),
lagi-lagi beliau berkilah pada kedangkalan berfikirnya sendiri yang kurang
mengakar dan mendalam, yang mana hal tersebut harus diperhatikan dengan baik
oleh seorang esais.
Sampai pada
akhirnya tulisan Irfan Anshori mencoba memberikan tanggapan yang kurang lebih
bernada kuasi-retoris, dengan mengembalikan tugas esais dan fungsi kritik.
Bagiku tulisan tersebut juga terlalu naif bagi seorang esais yang bersinggungan
langsung dengan karut-marutnya perparkiran di kampus dan eksistensi ruang
parkir.
Dunia
tulis-menulis membuat gelisah. Begitu daya khayal sudah tercampur-aduk dengan
daya ingat, kalimat-kaimat tampil dalam otak dengan sekuat inspirasi murni.
Begitu sekiranya Jean Paul Sartre berujar.
Dan daya ingatku
terhadap kenyataan parkiran di kampus terbentur dengan daya khayal seorang
esais lain, yang memaksaku untuk menulis kalimat-kalimat yang bertikai kembali.
Sungguh dunia tulis-menulis adalah tentang imajinasi dan pertikaian.
Imajinasi-ideal
yang mengharapkan perubahan-perubahan kenyataan yang radikal. Dan pertikaian
yang mengharuskan kritikus bertikai dengan kesadaran dan keadaan dengan nalar
yang mengakar, mendalam dan spekulatif menjadikan imajinasiku bertambah liar
dan terbendung.
Kegelisahanku pada
pertarungan gagasan kali ini merujuk pada debat nalar argumentatif, bukan
melainkan pada debat kusir yang tak berujung dan terkesan membosankan. Dimana
seorang esais yang berfikir kritis bukan lagi menjadikan kritik sebagai
gugatan, refleksi, argumentasi nakal serta gubahan atas marginalisasi sebuah
fenomena seperti yang diungkapkan oleh saudara Irfan.
Hal yang seperti itu sudah menjadi keharusan bagi seorang esais.
Melainkan disini saya lebih menekankan pada kritik dapat berfungsi dengan tegas
menempatkan kecenderungan modern kritik-baru, dimana strukturalisme dan
konstruksi, bukan humanisme universal semata ditempatkan didalam perspektif
sosial dan historis, jadi tidak terkesan a-sosial dan a-historis.
Debat Nalar
Dalam buku yang berjudul Fungsi Kritik karya Terry
Eagleton (2003). Beliau menerangkan bahwa diantara beberapa faktor-faktor
yang bertanggung jawab atas disintegrasi bertahap situasi publik klasik, ada
dua hal yang relevan bagi sejarah kritik Inggris. Yang pertama bersifat
ekonomis: selagi masyarakat kapitalis berkembang dan kekuatan-kekuatan pasar
menjadi semakin menentukan nasib-nasib hasil sastra, tidak mungkin lagi
mengandaikan bahwa “selera” dan “pengolahan” merupakan hasil dari dialog yang
berbudaya dan debat nalar.
Sedangkan alasan
yang kedua bagi mundurnya ruang publik adalah bersifat politis. Seperti semua
bentuk ideologis, ruang publik borjuis bertumbuh secara buta terhadap normanya
sendiri. Oleh sebab itu perubahan dari perlindungan sastra ke hukum pasar
menandai pergeseran dari keadaan dimana seorang penulis (esais) mungkin melihat
pekerjaannya sebagai hasil pergaulan dengan mereka yang sejiwa kedalam situasi
dimana “publik” sekarang tampak sebagai kekuatan anonim tetapi keras kepala,
dan lebih sebagai objek daripada ko-subjek dari seni menulis.
Oleh sebab itu
debat nalar yang saya inginkan bermula dari tulisan saya yang berjudul Membongkar
Nalar Kritis Mahasiswa, yang mana dalam persoalan parkiran dan
intelektualitas mahasiswa harus menempatkan subjek yang terlibat didalamnya.
Boleh saya ulangi pada usulan saya pada persoalan parkiran yaitu bagaimana
kampus memperlakukan mahasiswa sebagai pelaku pengendara yang baik dengan
memberikan sarana dan prasarana yang memadai guna menunjang keberlangsungan
kehidupan akademis yang lebih baik. Pemberian sepeda onthel baru kepada setiap
mahasiswa baru supaya lahan parkiran tidak sesak dengan sepeda motor dan mobil.
Kemudian daripada
itu dalam menempatkan ko-subjek yang lainnya terdapat dalam tulisan saya yang
berjudul Berpikir Kritis atau Apatis, yang mana lebih mempertanyakan
secara reflektif supaya dapat berpikir kritis terhadap persoalan kepada penulis
sebelumnya, tentang kesejahteraan bapak-bapak tukang parkir yang bergumul
langsung dengan persoalan parkiran.
Bagaimana diwaktu pagi harus menata rapi motor yang berserakaran
disaat mahasiswa berlarian menuju kelas masing-masing takut akan terlambat
dalam proses belajar-mengajar. Dengan keringat yang mengucur deras harus
menerima upah yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Padahal beliau-beliau juga bagian dari karyawan di kampus. Kenapa
dalam urusan gaji harus diserahkan pada Comanditee Venture (CV) dalam
penanganannya. Apakah kampus tidak mampu untuk mengurus itu sendirian, lantas
dimana peran dan fungsi perguruan tinggi yang didalammnya terdapat manusia
bergelar tinggi? Aku mempertanyakan kembali pada semuanya.
Ingat, mahasiswa adalah agent of change dan agent of control, bukan
aktor yang hanya menyederhanakan persoalan dengan jalan hanya memberikan
argumentasi nakal semata. Konsekuensi jika mahasiswa ingin berfikiran seorang
agent, seharusnya mulai dari sekarang menggunakan nalar berfikir yang logis dan
sistematis. Dan masa kelam sejarah kritik Inggris klasik tidak terulang kembali
dalam pertarungan gagasan yang sedang berlangsung saat ini. Supaya debat yang
kita inginkan bukan debat kusir melainkan debat nalar. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan
Pendidikan Kewarganegaraan
FKIP UMS
Dan Pengelola Taman Baca Masyarakat
(TBM) Perisai Pena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar