Jumat, 19 Desember 2014

Debat Nalar Bukan Debat Kusir

Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Sekiranya saya tidak menanggapi dua opini di mimbar mahasiswa Solopos yang berjudul Mahasiswa, Motor, Mobil dan Intelektualitas (21/10/2014) yang ditulis oleh saudara Muthimatun Nadhifah serta Mobil dan Nalar yang Tergelincir (28/10/2014) yang diuraikan oleh saudara Qibriyatul Maisaroh, mungkin polemik yang terjadi digagasan ini tidak akan berkepanjangan sampai hari ini.
            Karena tulisan saya yang berjudul Membongkar Nalar Kritis Mahasiswa (04/11/2014) ditanggapi oleh saudara Imawati Rofiqoh yang berjudul Makelar Intelektual dan Antropolog Amatir (18/11/2014) yang oleh saudara Irfan Anshori di tulisannya yang berjudul Esais dan Kritik (09/12/2014) menyebutkan esai rofiqoh kurang etis dengan pelabelan yang digunakan terlampau tendensius yakni penyebutan “makelar” serta “amatir”.
            Membuat ketertarikan kembali bagi saya untuk menanggapi esai Rofiqoh tersebut dengan judul Berpikir Kritis atau Apatis (25/11/2014), dimana saya lebih memberikan tahapan-tahapan bagaimana berfikir dialektis supaya dapat berfikir kritis dalam menghadapi persoalan sebelum menetapkan paradigma. Di tanggapi di kemudian hari oleh yang empunya kegelisahan awal yaitu saudara Muthimatun, dengan judul Tak Perlu Njlimet untuk yang Sederhana (02/12/2014), lagi-lagi beliau berkilah pada kedangkalan berfikirnya sendiri yang kurang mengakar dan mendalam, yang mana hal tersebut harus diperhatikan dengan baik oleh seorang esais.
            Sampai pada akhirnya tulisan Irfan Anshori mencoba memberikan tanggapan yang kurang lebih bernada kuasi-retoris, dengan mengembalikan tugas esais dan fungsi kritik. Bagiku tulisan tersebut juga terlalu naif bagi seorang esais yang bersinggungan langsung dengan karut-marutnya perparkiran di kampus dan eksistensi ruang parkir.
            Dunia tulis-menulis membuat gelisah. Begitu daya khayal sudah tercampur-aduk dengan daya ingat, kalimat-kaimat tampil dalam otak dengan sekuat inspirasi murni. Begitu sekiranya Jean Paul Sartre berujar.
            Dan daya ingatku terhadap kenyataan parkiran di kampus terbentur dengan daya khayal seorang esais lain, yang memaksaku untuk menulis kalimat-kalimat yang bertikai kembali. Sungguh dunia tulis-menulis adalah tentang imajinasi dan pertikaian.
            Imajinasi-ideal yang mengharapkan perubahan-perubahan kenyataan yang radikal. Dan pertikaian yang mengharuskan kritikus bertikai dengan kesadaran dan keadaan dengan nalar yang mengakar, mendalam dan spekulatif menjadikan imajinasiku bertambah liar dan terbendung.
            Kegelisahanku pada pertarungan gagasan kali ini merujuk pada debat nalar argumentatif, bukan melainkan pada debat kusir yang tak berujung dan terkesan membosankan. Dimana seorang esais yang berfikir kritis bukan lagi menjadikan kritik sebagai gugatan, refleksi, argumentasi nakal serta gubahan atas marginalisasi sebuah fenomena seperti yang diungkapkan oleh saudara Irfan.
Hal yang seperti itu sudah menjadi keharusan bagi seorang esais. Melainkan disini saya lebih menekankan pada kritik dapat berfungsi dengan tegas menempatkan kecenderungan modern kritik-baru, dimana strukturalisme dan konstruksi, bukan humanisme universal semata ditempatkan didalam perspektif sosial dan historis, jadi tidak terkesan a-sosial dan a-historis.
Debat Nalar
            Dalam buku yang berjudul Fungsi Kritik karya Terry Eagleton (2003). Beliau menerangkan bahwa diantara beberapa faktor-faktor yang bertanggung jawab atas disintegrasi bertahap situasi publik klasik, ada dua hal yang relevan bagi sejarah kritik Inggris. Yang pertama bersifat ekonomis: selagi masyarakat kapitalis berkembang dan kekuatan-kekuatan pasar menjadi semakin menentukan nasib-nasib hasil sastra, tidak mungkin lagi mengandaikan bahwa “selera” dan “pengolahan” merupakan hasil dari dialog yang berbudaya dan debat nalar.
            Sedangkan alasan yang kedua bagi mundurnya ruang publik adalah bersifat politis. Seperti semua bentuk ideologis, ruang publik borjuis bertumbuh secara buta terhadap normanya sendiri. Oleh sebab itu perubahan dari perlindungan sastra ke hukum pasar menandai pergeseran dari keadaan dimana seorang penulis (esais) mungkin melihat pekerjaannya sebagai hasil pergaulan dengan mereka yang sejiwa kedalam situasi dimana “publik” sekarang tampak sebagai kekuatan anonim tetapi keras kepala, dan lebih sebagai objek daripada ko-subjek dari seni menulis.
            Oleh sebab itu debat nalar yang saya inginkan bermula dari tulisan saya yang berjudul Membongkar Nalar Kritis Mahasiswa, yang mana dalam persoalan parkiran dan intelektualitas mahasiswa harus menempatkan subjek yang terlibat didalamnya. Boleh saya ulangi pada usulan saya pada persoalan parkiran yaitu bagaimana kampus memperlakukan mahasiswa sebagai pelaku pengendara yang baik dengan memberikan sarana dan prasarana yang memadai guna menunjang keberlangsungan kehidupan akademis yang lebih baik. Pemberian sepeda onthel baru kepada setiap mahasiswa baru supaya lahan parkiran tidak sesak dengan sepeda motor dan mobil.
          Kemudian daripada itu dalam menempatkan ko-subjek yang lainnya terdapat dalam tulisan saya yang berjudul Berpikir Kritis atau Apatis, yang mana lebih mempertanyakan secara reflektif supaya dapat berpikir kritis terhadap persoalan kepada penulis sebelumnya, tentang kesejahteraan bapak-bapak tukang parkir yang bergumul langsung dengan persoalan parkiran.
Bagaimana diwaktu pagi harus menata rapi motor yang berserakaran disaat mahasiswa berlarian menuju kelas masing-masing takut akan terlambat dalam proses belajar-mengajar. Dengan keringat yang mengucur deras harus menerima upah yang tidak sesuai dengan Upah Minimum Kabupaten (UMK).
Padahal beliau-beliau juga bagian dari karyawan di kampus. Kenapa dalam urusan gaji harus diserahkan pada Comanditee Venture (CV) dalam penanganannya. Apakah kampus tidak mampu untuk mengurus itu sendirian, lantas dimana peran dan fungsi perguruan tinggi yang didalammnya terdapat manusia bergelar tinggi? Aku mempertanyakan kembali pada semuanya.
Ingat, mahasiswa adalah agent of change dan agent of control, bukan aktor yang hanya menyederhanakan persoalan dengan jalan hanya memberikan argumentasi nakal semata. Konsekuensi jika mahasiswa ingin berfikiran seorang agent, seharusnya mulai dari sekarang menggunakan nalar berfikir yang logis dan sistematis. Dan masa kelam sejarah kritik Inggris klasik tidak terulang kembali dalam pertarungan gagasan yang sedang berlangsung saat ini. Supaya debat yang kita inginkan bukan debat kusir melainkan debat nalar. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Kewarganegaraan
FKIP UMS
Dan Pengelola Taman Baca Masyarakat (TBM) Perisai Pena

Tidak ada komentar:

Posting Komentar