Minggu, 14 Desember 2014

Dilema Mahasiswa: Antara Berfikir Kritis Atau Apatis



(Tanggapan Terhadap Saudara Imawati Rofiqoh)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Pilihan yang sukar yang dua-duanya sama-sama tidak menyenangkan adalah suatu dilema. Begitulah sekiranya hipotesa awal saya saat membaca artikel dari saudara Imawati Rofiqoh, yang berjudul Makelar Intelektual, Antropolog Amatir (Solopos, 18 November 2014). Dilematis penulis dalam menganalisis artikel-artikel sebelumnya yaitu terletak pada terburu-burunya Rofiqoh dalam menjustifikasi penulis-penulis sebelumnya,
            Dan lagi-lagi Rofiqoh sama halnya dengan Mutimatun dan Qibtiyatul yang terjebak dalam struktur berfikir yang tidak hadap masalah. Bisa kita lihat posisi Rofiqoh yang juga sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah Soloraya, tidak mampu mengatasi persoalan urusan kendaraan bermotor dan parkiran dengan solusi yang jitu. Sehingga pada akhirnya pihak kampus berfikir ulang untuk menata taman parkir yang sesak dan mengevaluasi total peran dan fungsi kampus sebagai institusi pendidikan.
            Justru kita ketahui tulisan Rofiqoh lari dari persoalan itu dengan mengusulkan ada hal lain yang lebih urgent untuk dibahas yaitu tentang mata kuliah, ijazah dan imajinasi pekerjaan. Ya, memang itu juga sangat penting untuk dikaji. Tetapi jika persoalan yang satu belum selesai dibahas dan belum menemukan solusi yang tepat. Kemudian loncat-loncat dengan beda topik pembahasan dan menjustifikasi beberapa pihak. Apakah pantas penulis disebut mahasiswa yang berfikir kritis? Bagiku tidak, melainkan mahasiswa berfikir apatis mungkin tepat untuk beliau dalam pergumulan gagasan ini.
            Kemudian dilematisasi Rofiqoh dalam pergumulan gagasan ini terletak pada proses berfikir penulis yang kurang matang. Sebelumnya, jangan membicarakan terlebih dahulu ketepatan paradigma jika proses berfikir yang dilakukan belum memenuhi tahapan-tahapan yang sesuai secara kaidah ilmiah. Apalagi jika ingin masuk ke dalam tataran berfikir kritis. Sekali lagi hal ini dapat kita lihat dalam tulisannya yang dilematis, bagaimana ia sulit membenturkan teori yang ia pelajari dengan realitas kampus yang ia alami. Terbukti dengan kegundahan beliau saat berhadapan dengan realitas kampus; mahasiswa dan dosen tidak sesuai dengan harapannya.
            Proses berfikir yang diawali dengan pergumulan teks dengan konteks, teori dengan praxis maka akan timbul suatu kesadaran berfikir yang dialektis. Kesadaran berfikir dialektis adalah modal awal dalam membangun proses kesadaran yang kritis. Pemikiran dialektis menekankan pada kehidupan nyata yang saling bernegasi, berkontradiksi dan bermediasi. Jika Rofiqoh mampu berdialektika sedikit saja dalam berfikir tentang pertarungan gagasan ini, tanpa harus menyimpulkan secepat mungkin. Niscaya beliau akan mampu berfikir kritis melampaui penulis-penulis sebelumnya; Muthimatun dan Qibtiyatul. Sayangnya, beliau tidak melalui tahapan-tahapan berfikir dialektis. Sehingga yang tertulis di artikelnya adalah keprematuran itu sendiri.
Berfikir Dialektis
            Disini saya tidak akan menerangkan pemikiran materialisme historisnya Hegel, materialisme dialektikanya Karl Marx atau materialisme, dialektika dan logikanya Tan Malaka. Melainkan akan saya sederhanakan pemikiran-pemikiran para tokoh perubahan sosial dunia itu melalui tahapan-tahapan yang mudah dicerna oleh Rofiqoh. Supaya beliau dapat berfikir dialektis dan pada akhirnya mampu berfikir kritis bukan justru apatis.
            Sindhunata (1982) menuturkan bahwa berfikir dialektis itu yang harus dilakukan adalah Pertama, berfikir secara dialektika berarti berfikir dalam totalitas. Totalitas ini bukan berarti semata-mata keseluruhan, dimana unsur-unsurnya yang bertentangan berdiri sejajar. Tapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantari dan diperantarai)
            Kedua, seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan “realitas yang sedang bekerja” (working reality). Disini akan menjadi jelas bahwa proses dialektis yang meliputi kontradiksi, negasi dan mediasi itu bukan semata-mata abstrak, melainkan terjadi dalam realitas.
            Ketiga, berfikir dialektis berarti berfikir dalam perspektif empiris-historis. Disini perlu dibedakan antara kontradiksi dialektis dan kontradiksi logis. Menurut logika tradisional dua proposisi (tesis dan antitesis) tidak pernah benar kedua-duanya. Menurut pemikiran dialektis, anggapan tersebut sangat tidak memadai dengan kenyataan empiris-historis.
            Keempat, berfikir dialektis berarti berfikir dalam kerangka kesatuan teori dan praksis. Sering terjadi kesalahpahaman bahwa persoalan kesatuan teori dan praksis dianggap sebagai persoalan bagaimana suatu teori itu applicable (dapat diaplikasikan atau diterapkan) untuk suatu kehidupan praktis.
            Demikian yang harus diperhatikan jika kita ingin mampu berfikir dialektis. Karena sesungguhnya Paulo Freire dalam merumuskan pendidikan hadap masalah atau Gustavo Guiterrez dalam memformulasikan teologi pembebasan kristiani, tidak akan menimbulkan kesadaran kritis bagi insan perubahan, kalau tidak menggunakan konsep dialektis ini.
            Dan saya pikir ketika Rofiqoh mampu berfikir dialektis maka dia akan mampu memberikan rumusan masalah yang mendasar, menyeluruh dan spekulatif. Jika dia berfikir tentang persoalan kendaraan bermotor dan parkiran yang penuh dan sesak, maka ia akan mempertanyakan relasi kuasa dan pengetahuan itu, apakah dapat menunjang realitas yang bekerja untuk perkembangan intelektualitas unsur-unsur yang berada didalam sistem tersebut.
            Mendasar disini artinya berfikir pada realitas yang bekerja haruslah mampu diterjemahkan secara mengakar dan mendalam, kemudian disimpulkan akar persoalannya untuk diselesaikan. Menyeluruh artinya berfikir pada realitas yang bekerja mampu dijabarkan apa dampak-dampaknya yang dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan. Dan spekulatif adalah proses berfikir terhadap realitas yang bekerja, kesimpulan sementara apa yang dapat untuk segera diselesaikan.
Berfikir Kritis
            Saat tulisan saya yang berjudul Membongkar Nalar Kritis Mahasiswa (Solopos, 4 November 2014), yang mana dalam tulisan itu saya memberikan usulan dalam menyelesaikan persoalan parkiran. Secara langsung dikampus saya terjadi perubahan dalam parkiran yaitu semakin diperlebarnya parkiran khusus mahasiswa. Walau itu tidak sesuai dengan usulan yang saya harapkan.
Jika kita berfikir kritis maka kita akan berfikir ulang dan mempertanyakan kenapa yang harus diperlebar parkirannya? Apakah hal yang semacam itu akan menyelesaikan persoalan secara keseluruhan, terlebih tahun penerimaan mahasiswa baru akan segera dibuka. Implikasi logisnya adalah mahasiswa baru hadir maka kendaraan bermotor akan semakin bertambah.
            Penulis jangan hanya hidup di menara gading. Penulis juga harus mampu bergumul dengan realitas sosial yang berada di sekitarnya. Benar, penulis bukanlah pengkhotbah atau penceramah yang mengakhiri ceramah dengan nasihat-nasihat bagi umatnya. Pertanyaan reflektifnya apakah Rofiqoh adalah penulis yang hidup dengan persoalan parkiran; mengobrol dengan bapak-bapak tukang parkir kampus yang curhat tentang upahnya di bawah standar UMR, membantu bapak-bapak tukang parkir merapikan kendaraan bermotor ? Tentu bukan saya yang menjawabnya. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa FKIP PKn UMS
Dan Pengelola Taman Baca Masyarakat (TBM) Perisai Pena,
Nilasari Pabelan, Kartasura
Sukoharjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar