(Tanggapan Terhadap Saudara Imawati Rofiqoh)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Pilihan yang sukar
yang dua-duanya sama-sama tidak menyenangkan adalah suatu dilema. Begitulah
sekiranya hipotesa awal saya saat membaca artikel dari saudara Imawati Rofiqoh,
yang berjudul Makelar Intelektual, Antropolog Amatir (Solopos, 18
November 2014). Dilematis penulis dalam menganalisis artikel-artikel sebelumnya
yaitu terletak pada terburu-burunya Rofiqoh dalam menjustifikasi
penulis-penulis sebelumnya,
Dan lagi-lagi
Rofiqoh sama halnya dengan Mutimatun dan Qibtiyatul yang terjebak dalam
struktur berfikir yang tidak hadap masalah. Bisa kita lihat posisi Rofiqoh yang
juga sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah
Soloraya, tidak mampu mengatasi persoalan urusan kendaraan bermotor dan
parkiran dengan solusi yang jitu. Sehingga pada akhirnya pihak kampus berfikir
ulang untuk menata taman parkir yang sesak dan mengevaluasi total peran dan
fungsi kampus sebagai institusi pendidikan.
Justru kita
ketahui tulisan Rofiqoh lari dari persoalan itu dengan mengusulkan ada hal lain
yang lebih urgent untuk dibahas yaitu tentang mata kuliah, ijazah dan imajinasi
pekerjaan. Ya, memang itu juga sangat penting untuk dikaji. Tetapi jika
persoalan yang satu belum selesai dibahas dan belum menemukan solusi yang
tepat. Kemudian loncat-loncat dengan beda topik pembahasan dan menjustifikasi
beberapa pihak. Apakah pantas penulis disebut mahasiswa yang berfikir kritis?
Bagiku tidak, melainkan mahasiswa berfikir apatis mungkin tepat untuk beliau
dalam pergumulan gagasan ini.
Kemudian
dilematisasi Rofiqoh dalam pergumulan gagasan ini terletak pada proses berfikir
penulis yang kurang matang. Sebelumnya, jangan membicarakan terlebih dahulu
ketepatan paradigma jika proses berfikir yang dilakukan belum memenuhi
tahapan-tahapan yang sesuai secara kaidah ilmiah. Apalagi jika ingin masuk ke
dalam tataran berfikir kritis. Sekali lagi hal ini dapat kita lihat dalam
tulisannya yang dilematis, bagaimana ia sulit membenturkan teori yang ia
pelajari dengan realitas kampus yang ia alami. Terbukti dengan kegundahan beliau
saat berhadapan dengan realitas kampus; mahasiswa dan dosen tidak sesuai dengan
harapannya.
Proses berfikir
yang diawali dengan pergumulan teks dengan konteks, teori dengan praxis maka
akan timbul suatu kesadaran berfikir yang dialektis. Kesadaran berfikir
dialektis adalah modal awal dalam membangun proses kesadaran yang kritis.
Pemikiran dialektis menekankan pada kehidupan nyata yang saling bernegasi,
berkontradiksi dan bermediasi. Jika Rofiqoh mampu berdialektika sedikit saja
dalam berfikir tentang pertarungan gagasan ini, tanpa harus menyimpulkan
secepat mungkin. Niscaya beliau akan mampu berfikir kritis melampaui
penulis-penulis sebelumnya; Muthimatun dan Qibtiyatul. Sayangnya, beliau tidak
melalui tahapan-tahapan berfikir dialektis. Sehingga yang tertulis di
artikelnya adalah keprematuran itu sendiri.
Berfikir Dialektis
Disini saya tidak akan menerangkan pemikiran materialisme
historisnya Hegel, materialisme dialektikanya Karl Marx atau materialisme,
dialektika dan logikanya Tan Malaka. Melainkan akan saya sederhanakan
pemikiran-pemikiran para tokoh perubahan sosial dunia itu melalui
tahapan-tahapan yang mudah dicerna oleh Rofiqoh. Supaya beliau dapat berfikir
dialektis dan pada akhirnya mampu berfikir kritis bukan justru apatis.
Sindhunata (1982)
menuturkan bahwa berfikir dialektis itu yang harus dilakukan adalah Pertama,
berfikir secara dialektika berarti berfikir dalam totalitas. Totalitas ini
bukan berarti semata-mata keseluruhan, dimana unsur-unsurnya yang bertentangan
berdiri sejajar. Tapi totalitas itu berarti keseluruhan yang mempunyai
unsur-unsur yang saling bernegasi (mengingkari dan diingkari), saling
berkontradiksi (melawan dan dilawan), dan saling bermediasi (memperantari dan
diperantarai)
Kedua,
seluruh proses dialektis itu sebenarnya merupakan “realitas yang sedang
bekerja” (working reality). Disini akan menjadi jelas bahwa proses
dialektis yang meliputi kontradiksi, negasi dan mediasi itu bukan semata-mata
abstrak, melainkan terjadi dalam realitas.
Ketiga,
berfikir dialektis berarti berfikir dalam perspektif empiris-historis. Disini
perlu dibedakan antara kontradiksi dialektis dan kontradiksi logis. Menurut
logika tradisional dua proposisi (tesis dan antitesis) tidak pernah benar
kedua-duanya. Menurut pemikiran dialektis, anggapan tersebut sangat tidak
memadai dengan kenyataan empiris-historis.
Keempat,
berfikir dialektis berarti berfikir dalam kerangka kesatuan teori dan praksis.
Sering terjadi kesalahpahaman bahwa persoalan kesatuan teori dan praksis
dianggap sebagai persoalan bagaimana suatu teori itu applicable (dapat
diaplikasikan atau diterapkan) untuk suatu kehidupan praktis.
Demikian yang
harus diperhatikan jika kita ingin mampu berfikir dialektis. Karena
sesungguhnya Paulo Freire dalam merumuskan pendidikan hadap masalah atau
Gustavo Guiterrez dalam memformulasikan teologi pembebasan kristiani, tidak
akan menimbulkan kesadaran kritis bagi insan perubahan, kalau tidak menggunakan
konsep dialektis ini.
Dan saya pikir
ketika Rofiqoh mampu berfikir dialektis maka dia akan mampu memberikan rumusan
masalah yang mendasar, menyeluruh dan spekulatif. Jika dia berfikir tentang
persoalan kendaraan bermotor dan parkiran yang penuh dan sesak, maka ia akan
mempertanyakan relasi kuasa dan pengetahuan itu, apakah dapat menunjang
realitas yang bekerja untuk perkembangan intelektualitas unsur-unsur yang
berada didalam sistem tersebut.
Mendasar disini
artinya berfikir pada realitas yang bekerja haruslah mampu diterjemahkan secara
mengakar dan mendalam, kemudian disimpulkan akar persoalannya untuk
diselesaikan. Menyeluruh artinya berfikir pada realitas yang bekerja mampu
dijabarkan apa dampak-dampaknya yang dapat mempengaruhi perkembangan kehidupan.
Dan spekulatif adalah proses berfikir terhadap realitas yang bekerja,
kesimpulan sementara apa yang dapat untuk segera diselesaikan.
Berfikir Kritis
Saat tulisan saya yang berjudul Membongkar Nalar Kritis
Mahasiswa (Solopos, 4 November 2014), yang mana dalam tulisan itu saya
memberikan usulan dalam menyelesaikan persoalan parkiran. Secara langsung
dikampus saya terjadi perubahan dalam parkiran yaitu semakin diperlebarnya
parkiran khusus mahasiswa. Walau itu tidak sesuai dengan usulan yang saya
harapkan.
Jika kita berfikir kritis maka kita akan berfikir ulang dan
mempertanyakan kenapa yang harus diperlebar parkirannya? Apakah hal yang
semacam itu akan menyelesaikan persoalan secara keseluruhan, terlebih tahun
penerimaan mahasiswa baru akan segera dibuka. Implikasi logisnya adalah
mahasiswa baru hadir maka kendaraan bermotor akan semakin bertambah.
Penulis jangan
hanya hidup di menara gading. Penulis juga harus mampu bergumul dengan realitas
sosial yang berada di sekitarnya. Benar, penulis bukanlah pengkhotbah atau
penceramah yang mengakhiri ceramah dengan nasihat-nasihat bagi umatnya. Pertanyaan
reflektifnya apakah Rofiqoh adalah penulis yang hidup dengan persoalan
parkiran; mengobrol dengan bapak-bapak tukang parkir kampus yang curhat tentang
upahnya di bawah standar UMR, membantu bapak-bapak tukang parkir merapikan
kendaraan bermotor ? Tentu bukan saya yang menjawabnya. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa FKIP PKn UMS
Dan Pengelola Taman Baca Masyarakat (TBM) Perisai Pena,
Nilasari Pabelan, Kartasura
Sukoharjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar