Minggu, 08 Februari 2015

DEMI KEADILAN DAN KEBENARAN: BUKALAH MULUTMU!



Oleh: Prof. (Em). Dr. J.E Sahetapy, S.H., M.A
Pada mula pertama, ketika saya memberikan trase baru berupa orasi perpisahan dengan Saudara Made Darma Waeda, S.H., M.S sebagai asisten saya, saya minta dipertimbangkan agar dirintis semacam tradisi orasi perpisahan bagi seorang guru besar yang akan meninggalkan gelanggang keilmuan. Orasi perpisahan itu, demikian penjelasan saya, hendaknya menyimak kembali apa yang telah dikerjakan oleh guru besar yang bersangkutan, yang menyangkut hal-hal yang esensial dan fundamental dari mimbar keilmuan yang dipercayakan kepadanya. Diharapkan dalam orasi itu juga dikupas dalam segenggam kondisi keilmuan dewasa ini yang sedang diasuh dan yang sedang diasah, terutama oleh para sejawatnya sebagai mantan murid-muridnya.
Itulah sebabnya, pada kesempatan ini, saya hendak menyampaikan rasa terimaksih saya kepada Saudara Dekan yang telah memungkinkan diadakan orasi ini sebagai suatu trase baru, dan diharapkan agar dapat dipelihara dan diteruskan di masa depan. Juga, kepada para sejawat dari jurusan hukum pidana yang telah berlelah mengatur acara orasi ini, saya menyampaikan rasa terima kasih. Akan tetapi, rasa terima kasih saya, terutama saya tujukan kepada para mahasiswa, bukan (saja) karena mereka terlibat dalam perjuangan pergumulan keadilan dan kebenaran melalui berbagai demonstrasi akhir-akhir ini, melainkan juga merekalah yang secara tidak langsung sejak semula saya mulai berkecimpung di dunia keilmuan, kehadiran mereka selalu merangsang saya untuk terus berbicara dan menggugah decorum scholasticus tentang keadilan dan kebenaran.
Dan hal itu telah saya lakukan sejak 39 tahun yang lalu ketika untuk pertama kali saya dipercayakan untuk mulai berhadapan dengan para mahasiswa sebagai asisten dosen. Pada waktu itu, pada tahun 1959, masih dalam status mahasiswa tingkat akhir, mahasiswa Doktoral II, saya mulai mengajar Asas-Asas Hukum Perdata.
Pada tahun 1959 itulah, awal saya mulai memberi kuliah atau memberi asistensi, telah mantap dalam diri saya, telah bulat dalam hati dan jelas dalam pikiran saya bahwa selain saya akan berbicara bertalian dengan transfer of knowlwdge, saya juga harus dan terutama wajib berbicara tentang the truth, and the nothing but the truth sebagai suatu conditio sine quo non
Dalam era permulaan orde lama itu, saya tidak bergeming meskipun dalam usia muda dan tanpa pengalaman mengajar di perguruan tinggi untuk selalu membicarakan keadilan dan kebenaran. Pada waktu itu, hanya dua orang, Robertus The dan saya, yang ditugaskan untuk mengajar (Asas-Asas) Hukum Perdata. Kemudian, setelah kembali dari Amerika Serikat pada akhir tahun 1962, saya mendapat tugas baru sehubungan dengan meninggalnya Prof. Mr. R. Gondowardojo, untuk mengajar Asas-Asas Ekonomi (1963). Di kala itu saya berhadapan secara vis-a-vis dengan para mahasiswa beraliran komunis dengan mengajar mata kuliah Asas-Asas Ekonomi. Berhadapan dengan mereka, saya tetap berpendirian bahwa keadilan dan kebenaran bukan milik suatu golongan, apakah kelompok itu besar atau kecil, atau milik suatu aliran atau komunitas tertentu. Demikian pula pendirian saya sekarang ini tetap tidak berubah.
Keadilan dan kebenaran berdimensi dan bersifat substansial universal. Di kemudian hari, ketika saya dialihkan dengan pertimbangan politis ke hukum pidana dan setelah itu masih diusahakan penjegalan oleh beberapa sejawat, saya tidak pernah menyesal telah menempuh jalan itu. Jalan yang semula berkerikil itu, telah mengasah insan kamil saya ke arah yang lebih peka terhadap hak asasi manusia dan terhadap perjuangan keadilan dan kebenaran. Penjegalan dari beberapa sejawat ternyata tidak berakhir di situ. Selama enam tahun lamanya saya dihalangi dengan berbagai cara dalam rangka memperoleh gelar doktor ilmu hukum. Akan tetapi, Allah Yang Maha Kuasa, Yang Rahmani, dan Yang Rahimi itu memiliki rancangan-Nya sendiri. Begitulah firman Allah:
“Rancangan-Ku bukanlah rancangan-mu. Jalan-Ku bukanlah jalan-mu. Setinggi langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalan-Mu dan rancangan-Ku dari rancangan-mu.”
Barang yang busuk dikemas dengan kemasan yang sebagus apa pun, bahkan jika dikemasi secara ritual sakral sekalipun, kemasan itu akan tetap berbau busuk dan akan hancur pada waktunya.
Dengan demikian, perjuangan keadilan dan kebenaran berdasarkan pergumulan dan yang diterangi oleh Kasih Illahi, pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa dalam penjabarannya, perlu memberi kambi terhadap apa yang saya akronimkan sebagai sobural, yaitu akronim dari skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor struktural suatu masyarakat tertentu.
Sobural memang pada mula pertama dipersiapkan untuk wadah atau sarana pendekatan teoritik dalam rangka memahami kejahatan. Akan tetapi, karena kejahatan merupakan kutub polarisasi terhadap keadilan dan kebenaran, maka dewasa ini menurut hemat saya, sobural dapat pula digunakan sebagai kendaraan pemahaman proses perubahan sosial untuk membedah dan mengkaji problematik implementasi keadilan dan kebenaran. Mungkin hal pendekatan yang demikian akan sulit diterima. Namun, dilihat secara sosio-filosofis dalam suatu legal setting dimana hukum harus mengabdi pada keadilan dan kebenaran, dan bukan pada kekuasaan, apalagi kekuasaan yang tidak berkedaulatan rakyat, dimana kehidupan itu selalu membentangkan dua sisi dari suatu kehidupan bersama, ibarat dua sisi dari satu mata uang, maka apa yang dikedepankan itu dalam kontekstualisasi sobural, bukan suatu hal yang mustahil atau yang sulit dapat dicernakan.

Perbedaan pendapat dalam hal ini adalah wajar. Dan demi kemajuan keilmuan, sudah waktunya kita tinggalkan sifat jumawa orde baru bahwa berbeda pendapat adalah haram dan destruktif. Sangat disayangkan bahwa sampai saat ini, juga di kalangan perguruan tinggi, para akdemisi acap kali dengan cara munafik berusaha merujuk pada nilai subkultur yang kini tengah dominan, lalu merasa kurang legowo bila ada perbedaan pendapat. Padahal, perbedaan pendapat adalah sehat selama ia bertumpu pada argumentasi yang sehat, jujur, dan objektif. Perbedaan pendapat dalam negara demokrasi justru menumbuhkan dan membina civil society atau masyarakat terbuka hanya dalam suatu masyarakat yang fasistik, perbedaan pendapat adalah subversi, makar, dan permusuhan.
Perbedaan pendapat jangan sekali-kali dianggap sebagai sumber konflik dalam proses destruktif. Konflik pendapat tidak boleh dipandang sebagai disfungsional. Perbedaan pendapat dapat dijadikan basis kajian analisis yang bersifat fungsional dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran. Seharusnya pendirian yang demikian, yaitu menghargai pandangan orang lain, harus ditanam dan dipupuk oleh para pendidik dalam rangka menuju dan membina suatu civil society atau suatu masyarakat terbuka. Dalam kontekstualisasi yang demikian, kambi sobural itulah yang mewadahi keadilan dan kebenaran yang transedental itu hendaknya diterjemahkan, dipraksiskan dalam pergumulan aktualisasi interaksi di mana kemudian akan terlihat aspek keadilan dan kebenaran itu akan membebaskan dirinya dari kungkungan kekuasaan yang penuh rekayasa dengan dalih yang serba dicari-cari seperti dewasa ini. 
Keadilan dan kebenaran itu bersifat dan mempunyai jangkauan konsekuensi holistik secara universal sebab kebebasan itu membebaskan. Kebebasan yang membebaskan itu bukanlah suatu komoditas anarkis yang destruktif. Ia bukan pula yang harus didasarkan atas postulat kekuatan (politik) yang besar ataupun kekuasaan bersenjata. Keadilan dan kebenaran harus membebaskan orang dar rasa takut meskipun secara manusiawi rasa takut itu wajar. Akan tetapi, takut terhadap ketakutan itu sendiri justru sulit untuk dipahami dan dibenarkan. Sebab apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku harus menjadi musuhmu? Itulah keadilan dan kebenaran. Oleh sebab itu, dalam buku yang disumbangkan oleh kawan-kawan saya dari Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (Surabaya) bertalian dengan hari ulang tahun saya yang ke-65, saya minta untuk diberi judul buku itu Jangan Menjual Kebenaran (1998). 
Dalam dunia Indonesia, sayang, sesudah tahun lima puluhan atau permulaan tahun enam puluhan, banyak orang yang mau disuap, mau berakomodasi dengan melupakan prinsip integritas dan objektivitas, mau menjual kepribadian dan jati dirinya, bahkan bersedia menjadi Brutus untuk kemudian menjual keadian dan kebenaran untuk sepiring bubur kacang merah. Lihat saja setelah Soeharto tumbang. Lebih tepat kalau dikatakan Soeharto dikudeta secara terselubung dan bukan lengser keprabon, apalagi mandeg pandito. Dikatakan demikian sebab Soeharto bukanlah raja (Jawa) dan juga apa yang diwariskan itu sungguh menyengsarakan rakyat Indonesia secara sosio-politis dan secara struktural ekonomis. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan le roi est mort, vive le roi. Ternyata, le roi baru adalah setali tiga uang. Ia masih melanjutkan pola dan alur pikir orde baru. Para pembantunya sami mawon. Bahkan le roi yang baru ini berputar-putar ibarat kincir angin dalam segala musim.
Di depan sidang MPR (baca: Majelis Permusyawaratan Rezim) orde baru (1998), Soeharto dengan membusungkan dada berucap, Jangankan harta, nyawa sekalipun saya bersedia memberi.
Rakyat kini bertanya, mana konsekuensi ucapanmu itu, Soeharto!?
Belum lagi kalau membicarakan betapa Soeharto telah melakukan semacam genocide terhadap mental dan kultur masyarakat dan bangsa Indonesia. Dan sebagai Pangti ABRI, bagaimana dengan tanggung jawabmu terhadap pelbagai pelanggaran HAM di berbagai pelosok Indonesia? 
Sungguh mengherankan dan masih menakutkan (sekelompok) orang yang begitu ngeri kalau sampai Soeharto bangkit kembali. Namun, Soeharto tidak akan mungkin bangkit kembali lagi, kecuali, sekali lagi, kecuali, bilamana sobural Indonesia sudah dalam keadaan begitu bobrok dan busuk. Dan itu berarti hati nurani manusia Indonesia sudah tidak berfungsi lagi. Dengan perkataan lain, masyarakat Indonesia sudah terperosok dan terbenam dalam kancah Sodom dan Gomoro. Dan meskipun tampaknya seolah-olah Soeharto berusaha untuk bangkit kembali, begitulah ocehan media tulis, Soeharto telah tiba pada point of no return. Mungkin para Durno-nya yang sedang terus berusaha, tetapi itu adalah usaha menjaring angin. 
Soeharto telah mengandangkan, membonzai, dan atau mengarbitkan manusia-manusia Indonesia, termasuk segelintir para pengajar di dunia perguruan tinggi selama tiga dekade lebih. Jadi, dapatlah dimengerti apabila politisi, apalagi politikus, yaitu kualifikasi yang diberikan kepada anak dan istri para pejabat yang ingin berfungsi sebagai politisi yang lalu berbicara bahasa abracadabra bertalian dengan penyalahgunaan kekuasaan dan berbagai aspek kolusi, nepotisme, dan terutama tentang korupsi akhir-akhir ini. Bahkan, para pengajar hukum tata negara dan tata pemerintahan belum juga muncul dalam suatu analisis yang jitu, bermutu, ilmiah, serta bertanggung jawab tentang peristiwa penyerahan kekuasaan dari Soeharto dengan berpakaian safari dan bukan berjas sebagaimana lazimnya dalam proses penyerahan kekuasaan kepada Habibie sebagai prototipe anak didiknya yang paling setia. Sesungguhnya saya masih berharap agar pada suatu waktu yang tidak terlalu lama, pakar-pakar hukum tata negara dan tata pemerintahan, akan mengkaji peristiwa 21 Mei 1998 dan memberi suatu analisis yang rasional objektif demi klarifikasi sejarah hukum ketatanegaraan bangsa kita. 
Tidaklah mengherankan kalau dewasa ini, dalam masyarakat Indonesia, dilihat dari perspektif sobural, terutama yang menyangkut skala nilai sosial, maka kita bukan saja dibingungkan dengan kosakata yang eufimistik, melainkan juga ada pakar dari berbagai ilmu, termasuk ilmu hukum, berbicara ibarat berposisi di segala musim. Para dosen, terutama yang yunior, sudah harus meninggalkan arena abracadabra dan mulai membicarakan dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap bangsa, negara, dan juga kepada Tuhan tentang mimbar kuliah di mana ia dipercayakan untuk mengasuh, mengasah, dan sekaligus mengasihinya sebagai wujud rasa tanggung jawab secara moral dan etis. 
Jika kontekstualisasi seperti sekarang ini masih terus berlaku, keadilan dan kebenaran seperti sulit disuarakan dan perjuangkan. Apalagi fenomena kebenaran dan keadilan ibarat sudah diperjualbelikan di pengadilan. Sangatlah ironis jika sila pertama dari Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sudah dipluntir menjadi Keuangan Yang Mahakuasa. Tidaklah berlebihan kiranya kalau dalam kultur bisu dan yang menakutkan itu dengan momok rekayasa label PKI dan digebuk (istilah Soeharto) dan dilibas (istilah Faisal Tanjung), muncullah berbagai lelucon untuk mengatasi ketegangan dan ketakutan dalam rangka semacam katarsis untuk melemaskan otot-otot kekuatan dan kepedihan hidup. Sebagai sekadar contoh, anda dapat membaca buku Mati Ketawa Cara daripada Suharto (1998).
Dalam pengamatan saya, Sumpah Pemuda (1928) yang menjadi landasan dan leitmotiv filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara sudah di bumbui menjadi Satu Nusa yang kini seperti sedang dalam proses disintegrasi, Satu Bangsa dengan menambah huruf T di belakang kata bangsa, Satu Bahasa ketakutan, dan akhir-akhir ini seperti hendak di tambah dengan paksaan Satu Agama. Kerancuan dan kerancuan sudah mulai melanda bangsa yang majemuk ini, di mana nilai-nilai sakral telah dijadikan sarana dan komoditas sara sebagai kendaraan politik dengan harga yang sangat murah. Beberapa preman putih yang berdasi di Jakarta dengan kaki tangan mereka yang menurut media massa berambut khusus dan gesit bagaikan ninja dan preman-preman biru berwajah sangar yang bersedia dipakai dengan harga berapa saja, telah melecehkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Allah dengan perbuatan-perbuatan keji dan amoral mereka di berbagai tempat di tanah air yang katanya begitu rukun dan damai. 
Sangat disayangkan bahwa dalam kultur kemunafikan yang dipelihara dengan baik melalui subkultur tertentu di era orde baru, dan yang dinafirikan oleh kekuatan politik yang pada waktu yang lalu membusungkan dada, kini seolah-olah mereka telah melupakan kekerasan dan kenajisan yang mereka ciptakan sendiri dan yang telah merusak hampir seluruh nilai dan mengobrak-abrik tata dan sendi budaya yang dikatakan oleh orang luar negeri pada waktu yang lalu sebagai bangsa yang (paling) beradab. Sayang, kini label bangsa yang paling beradab dan yang indah itu sebagai het zachtste volk op aarde, secara serta merta bertransformasi menjadi bangsa (bisa dengan menambah huruf T di belakang kata bangsa) yang tidak beradab. Bahkan, tidak berlebihan kalau dikatakan biadab terhadap para pengacau, para perusak dengan merekayasa melalui kuda tunggangan SARA karena membumihanguskan gedung-gedung dan rumah-rumah dengan nafsu dendam kesumat, memperkosa para perempuan dengan nafsu kebinatangan, kendatipun persoalan kontroversi ini masih tetap dalam proses saling menuduh. Para pengacau dan perusak yang direkayasa preman berdasi menghancurkan rumah-rumah ibadah tanpa rasa berdosa dan takut kepada Allah. Akibat rekayasa para preman intelek ini dengan menggunakan preman-preman bayaran, tanpa merasa ada perasaan bersalah dan atau khawatir akan nilai-nilai sakral yang dituntut oleh Tuhan terhadap siapa saja, dari agama mana saja, dan dari komunitas mana pun. Sungguh aneh bin ajaib bahwa semua itu bisa berjalan sesuai skenario para provokator tanpa disadari dan diketahui oleh aparat intelijen yang katanya terbaik di Asia Tenggara.
Sobural masyarakat yang seharusnya direformasi untuk menampung idee-idee yang luhur, aspirasi-aspirasi yang jujur, adil, dan beradab sebab sudah begitu lama dipendam dalam suatu struktur kekerasan (structureel geweld dari Johann Galtung), kini mau dipaksakan juga dengan ukuran sepatu orde baru dengan berwajah rai gedek. Kini reformasi bertransformasi deformasi tanpa disadari oleh tuan-tuan elit yang berkuasa di Jakarta. Dan paksaan berselubungkan ungkapan gombal konstitusional itu dijalankan dengan berbagai rekayasa disertai bau mesiau bedil dengan tetap menggunakan semboyan pendekatan kestabilan dan keamanan. Kalau demikian keadaannya, mengapa dibiarkan para mahasiswa, para pejuang reformasi total itu memasuki gedung MPR/DPR, padahal sekarang tidak? Mengapa mereka kini disambut dengan bau mesiau dan genangan darah?
Rekayasa demi rekayasa seolah-olah dalam kerangka menutup kebusukan dwifungsi. Apakah rakyat masih percaya terhadap dalih berselimutkan tugas dan panggilan ibu pertiwi, di Aceh, Irian, Timor-timur, Lampung, Tanjung Priok, Madura, Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, Banjarmasin, dan Kalimantan Barat. Para mahasiswa dan rakyat masih sulit menerima argumentasi insiden Trisakti dan insiden Semanggi. Skenario dari preman putih berdasi seperti insiden Ketapang dan berulang di Kupang, penggunaan para pelaku pamswakarsa bagaikan Angkatan Kelima di zaman Orde Lama, dan preman biru yang bersedia dibeli dengan taruhan nyawa sekedar beberapa lembar uang, ternyata tetap dalam pola pikir dan alur praksis skenario yang itu-itu juga. 
Sayang, sebagian dari dunia akademis perguruan tinggi masih tidur terlelap di menara gading. Tidak ada teriakan tentang keadilan dan kebenaran. Juga, pembelaan terhadap perlakuan yang buruk terhadap perempuan didiamkan. Bahkan, diskriminasi gender makin dipolitisasi sampai ikut merembet ke posisi jabatan presiden. Subkultur macho ingin dipertontonkan. Padahal, kondisi ang melecehkan kaum perempuan, kondisi diskrimnasi justru diharamkan oleh agama dan HAM. 
Bahkan, ada pemimpin universitas yang sampai hati dengan tidak mau tahu tentang sepak terjang para mahasiswanya. Namun, dunia akademis harus bersyukur dan berterimaksih bahwa angkatan muda, generasi mahasiswa sekarang, bukan generasi bebek dan tempe. Mereka bukan seperti angkatan sebelumnya yang mencari pangkat dan kedudukan untuk kemudian bertransformasi menjadi brutus atau oportunis ataupun benalu. Mahasiswa angkatan 1998 tidak mau diperkuda dan dikeledaikan. Mereka bukan generasi yang tidak mengerti problematik masa kini. Mereka tidak mau dan tidak bersedia direkayasa untuk makar. Makar adalah tuduhan serba murah karena panik, ibarat maling teriak maling. Para mahasiswa beraktualisasi berdasarkan kepekaan hati nurani dan tuntutan insan kamil yang murni. Mereka bergerak bukan berdasarkan cadaver discipline alias disiplin bangkai seperti yang dikenal dalam kalangan bersenjata. Acap kali ada disiplin bangkai juga di dunia perguruan tinggi yang sudah dikebiri dan dijinakkan. 
Yang sangat mengherankan, mengapa para penguasa begitu takut untuk menuduh makar kepada para mahasiswa. Mengapa para penguasa hanya berani membusungkan dada kepada kelompok kaum lansia, yang nota bene adalah comrade in arms. Apakah ini tidak berarti ada diskriminasi atau disfungsionalisasi dalam saptamarga akibat dari dianak emaskan para aide de camp pada masa orba. Sungguh ironis sikap para penguasa. Itulah sebabnya orasi ini ingin menyediakan tempat penghormatan pula bagi kepahlawanan para mahasiswa yang gugur dalam insiden Trisakti, insiden Semanggi, dan entah insiden dimana lagi. Orasi ini dipresentasikan pula sebagai tanda penghormatan dan duka cita bagi para perempuan yang telah direnggut kehormatan kesucian mereka dengan nafsu rekayasa kebuasan bagaikan binatang. Orasi ini juga ditujukan bagi rakyat kecil yang didiskriminasi dalam berbagai bentuk karena mereka dilahirkan dalam suatu kelompok etnis yang mereka sendiri tidak direncanakan. Juga, kepada mereka yang rumah-rumah ibadah mereka dirusakkan, orasi kebenaran dan keadilan ini disajikan. Para korban rekayasa keganasan dan ketidakadilan sesungguhnya tidak dihina. Sebetulnya, tanpa sadar, para perusak, para pembakar, para pemerkosa, dan para perekayasa sendirilah yang menghina Sang Pencipta mereka sendiri. Mereka pada dasarnya menghina Tuhan Allah mereka sendiri yang mereka puji dan sembah. Semua itu disebabkan meskipun mereka bermata, mereka tidak melihat segala akibat perusakan mereka. Meskipun mereka bertelinga, mereka tidak mendengar tangis dan doa yang disembahkan kepada Tuhan Allah ang sama, Allah Yang Esa, Allah Yang Mahakuasa, Sang Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya. Oleh karena itu, dari tempat ini diserukan agar para akademisi jangan lagi terus mengeluhkan gigi sakit, tetapi bukalah mulut demi keadilan dan kebenaran. 
Selama 32 tahun keadilan dan kebenaran sudah dipluntir dan diperjualbelikan. Bahkan, acap kali diselesaikan dengan berbagai cara rekayasa. Juga, secara brutal dengan cara kekerasan, dengan mengubah dan memutarbalikkan skala nilai sosial, moral, dan etika. Dan bila perlu, mereka memperkuat infrasubkulturdan membongkar pasang suprastruktur masyarakat (sobural) demi mempertahankan status quo mereka. Bahkan, nilai-nilai sakral pun tidak tanggung-tanggung mereka korbankan dan mereka sajikan secara ritual imitatif dan bukan secara sakral substantif untuk kemudian ditampung dengan senyum Esau demi perut mereka sendiri.
Sementara itu, bagaimana dengan nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang seharusnya ditegakkan dan dikembangkan serta diseminasi kepada anak-anak didik melalui pelbagai mata kuliah yang pada hakikatnya memang secara inheren mengandung problematik keadilan dan kebenaran, terutama kalau itu menyangkut mata kuliah hukum an sich, bukan terhadap penguasa, jika para pengajar tidak menghayati nilai-nilai keadilan dan kebenaran, ketika mengajar hukum kepada anak didik mereka. Anak-anak didik mereka pasti akan menyimak sendiri bahwa yang diajarkan itu cuma sekadar retorika yang mungkin karena ketakutan kepada penguasa universitas atau penguasa kekuasaan dan atau penguasa politik. 
Ketakutan mereka juga karena tidak ada jaminan kebebasan dan HAM yang telah diatur dalam pasal 28 UUD 1945. Para sejawat acap kali cuma berkutat dalam kontekstualisasi struktural vertikal dan lupa untuk mengebrak dan mendobrak hambatan dan kendala struktural horizontal, yang sesungguhnya lebih mudah ditangani dibandingkan dengan yang vertikal struktural. Hal terakhir inilah yang tampak disadari benar dan dikelola dengan baik oleh para birikrat dan aparatur kekuasaan sehingga pada akhirnya keadilan dan kebenaran seolah-olah menjadi suatu komoditas yang steril, tak bermakna, dan tak menarik yang pada akhirnya menjadi sekadar hiasan tulisan dinding belaka. Sayang, hiasan tulisan dinding itu tidak ditulis dengan pena kebebasan bertinta kebenaran. Tetapi digores dengan sangkur telanjang dan dengan pentungan kekerasan yang mengucurkan darah dari mereka yang seharusnya dilindungi. 
Semboyan dari para penguasa sepatu bot: berasal dari rakyat, untuk melindungi rakyat, tampak seperti suatu slogan kosong belaka. Sungguh aneh, retorika semboyan itu diucapkan berkali-kali seperti tanpa adanya perasaan bersalah atau guilty feeling. Dalam hal yang demikian, bukan suatu keanehan kalau pada suatu waktu anak didik dan para mahasiswa, bangkit melawan semua norma yang dipandang bohong, artifisial, subkultur yang rancu, dan struktur yang palsu semu, dengan memorak-porandakan tatanan sobural masyarakat dan yang ternayata telah rapuh dimakan rayap ketidakadilan dan ketidakbenaran. Apakah dalam hal yang demikian anak didik para mahasiswa ini harus dihadapi dengan pentungan, sangkur, dan moncong bedil yang ternyata dalam berbagai insiden berdarah tidak bisa membedakan lagi kekuasaan yang zalim dari keadilan dan kebenaran. 
Kultur kemunafikan yang masih membuka peluang untuk mengkritik secara eufimistik, secara srimulat, atau secara terselubung dengan mengacu pada subkultural dominan, ternyata tidak dapat pula digunakan dengan baik dan berkelanjutan karena the king, the mighty man and the stars, can not do wrong. Mereka bersembunyi terselubung di belakang penggalan-penggalan hukum seperti aspek konstitusional. Mereka berapat di gedung mewah Dewan Perwakilan Rezim (DPR) dan bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menjaga dan membela kekuasan yang katanya sah, tetapi sesungguhnya tidak memiliki legitimasi moral, etika, keadilan, dan kebenaran. Sebaliknya, yang terjadi. Keadilan dan kebenaran dikesampingkan dan digeletakkan membusuk sehingga ibarat bau busuknya ikan, sesungguhnya tidak tercium di ekornya ikan, di kalangan rakyat, tetapi justru di kepalanya ikan. 
Para sejawat acap kali lebih suka berkutat dan mengangungkan teori-teori dari Barat yang memang lahir dari interaksi dan stratifikasi sosial di dunia Barat, tanpa menyadari bahwa teori-teori itu pun, apabila harus diserap dan dipraksiskan di Indonesia, memerlukan akomodasi sobural sampai suatu tahap dan tingkat tertentu. Sulitnya dan anehnya, ketika tiba pada substansi universal dan mondial seprti hak asasi manusia, kebebasan beragama, kebebasan dari penindasan dan penganiayaan, dan masih setumpuk deklarasi lainnya dari PBB, tiba-tiba ada semacam Umwertung aller werte. Para pakar serta-merta yang seharusnya melihat bahwa bukan jawaban akhir yang penting, tetapi pola dan alur pikir yang membebaskan dari ketakutan terhadap kekerasan struktural, terjebak dan ikut beramai-ramai dengan penguasa menyanyikan lagu nyanyian angsa yang palsu, bahwa ada HAM universal dan HAM lokal atau yang kultural. 
Tiba di terowongan yang ujungnya seperti masih gelap, saya perlu menyimak kembali mata kuliah kriminologi, terutama viktimologi dan penologi yang telah saya rintis dan asuh kehadirannya di fakultas ini sebab kedua mata kuliah terakhir ini pada mula pertama tidak ada kurikulum FH-Unair. Kalau di kemudian hari diadakan pun, itu bukan anjuran ataupun instruksi yang berwenang. Berbeda dengan mata kuliah klasik, seperti hukum pidana, hukum perdata, dan yang lain, acap kali sulit berkembang karena kendara inherensi. Karena kendala perkembangan eksternal, mata kuliah-mata kuliah hukum secara klasik dan dan yang secara holistik kurang merangsang dan mendukung dalam perkembangan lebih lanjut, maka viktimologi dibanding krimonolgi dan penologi, menjanjikan masa depan yang lebih cerah dalam perjuangannya menegakkan keadilan dan kebenaran serta memorakporandakan kezaliman penguasa. Kejahatan bukan lagi milik rakyat, milik kaum hina, dan papa. Kejahatan bisa juga dimiliki dan dilakukan oleh penguasa, secara sistematik serta berkelanjutan bertahun-tahun. Itulah ciri-ciri penguasa yang fasistik di zaman orde baru. 
Krimonologi, terutama setelah muncul pemikir-pemikir beraliran marxistis, tampaknya seperti akan tinggal landas dan memiliki masa depan yang cerah, ternyara kemudian tinggal kandas. Proposisi yang dibangunkan dan yang disusun secara radikal memiliki dasar yang rapuh. Bahkan, sebelum hancurnya marxisme di uni soviet, krimonolgi marxistis itu sudah menggali kuburannya sendiri. Tidaklah mengherankan kalau kemudian kriminologi seakan-akan menjadi kurang menarik dilihat dalam konteks pemikiran realistik yang kontekstual. Studi-studi kasus dan penelitian empirik yang segmental di dunia barat kemudian menjamur, tanpa dapat dibangun dan disusun suatu teri generali yang memiliki jangkauan yang berdasarkan proposisi-proposisi yang kokoh dan dapat diandaikan. 
Ketidakberhasilan krimonologi membangunkan proposisi-proposisi dengan jangkauan yang luas dan menatap serta menggeneralisasi, untuk sebagian disebabkan bola dunia makin menjadi kecil dan sempit. Akibat dari perkembangan teknologi yang begitu cepat, kemajuan keilmuan yang makin menghapus batas-batas parokial dari berbagai ilmu dan merebaknya globalisasi yang datang bagaikan air bah, menyapu segala halangan dan kendala yang dibangunkan oleh sobural berbagai masyarakat lokal dan mondial. Kampung yang pada waktu lalu terisolasi, kini berubah menjadi kota. Kota kemudian berkembang metropolitan yang penuh dengan kaum rural pelarian. Kota metropolitan selanjutnya meninggalkan ciri-ciri klasik lalu berubah menjadi kota mondial. Kejahatan pun ikut bertransformasi dan tidak mau ketinggalan.
Krimonologi lalu terpaksa memfokuskan kembali sasarannya dan merivisi ulang paradigma teoritiknya, terutama jika itu menyakngkut problematik yang menyangkut kejahatan penguasa, kejahatan pencucian uang atau money laundering, kejahatn (gonocide) antar- (suku) bangsa, dan perkosaan hak asasi manusia, terutama jika itu dilaksanakan terhadap anggota komuniatsnya sendiri, baik oleh penguasa di komunitas itu maupun oleh anggota komunitas itu terhadap sesamanya. Masalahnya bertambahkompleks dan peka jika itu dikemas dengan bungkusan norma-norma keagamaan, seperti yang dapat disaksikan di bebeerapa bagian di dunia ini, di mana perspektif rule of law, demokrasi, dan hak asasi manusia masih merupakan kendala yang terus berputar-putar ibarat kincir angin. 
Dalam perspektif konstelasi yang demikian, maka bukan hukum pidana dengan penologi, bukan pula krimonologi dan sosiologi, melainkan viktimologi lalu menjadi sangat relevan. Dengan demikian viktimologi lalu meninggalkan paradigma parokialnya karena yang dikaji bukan lagi makna kejahatan klasik atau tradisional, melainkan makna baru, seperti makna teror, arti penganiayaan tidak perlu lagi dalam konteks fisik, makna kedamaian hati nurani, serta makna penindasan dan perkosaan, baik yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok orang maupun oleh penguasa berdasarkan motivasi dan pertimbangan yang melanggar norma-norma kemanusiaan itu sendiri alias hak asasi manusia.
Itulah sebabnya apabila tidak dibina atau diasuh mata kuliah hak asasi manusia, diskriminasi gender, dan diskriminasi etnis dan agama, maka viktimologi harus menampungnya, memberi landasan yang zakelijk dan objektif terhadap motivasi dan paradigma yang benar, sehat, adil, dan jujur agar mereka yang mempelajari viktimologi dapat diandalkan menjadi pejuang-pejuang hak asasi manusia di kemudian hari. Kita tidak boleh lupa bahwa manusia boleh saja menguasai dan menggunakan bedil tanpa peri kemanusiaan, tetapi mereka tidak mungkin menguasai dan mengatur pikiran manusia yang selalu mendambakan kebebasan, keadilan, dan kebenaran. Merantai dan memenjarakan rakyat yang tidak berdaya akan membangkitkan the power of the powerless. Semoga para tuan berbintang menyadari hal ini. 
Penologi tidak boleh lagi berkutat dengan teori-teori pemindanaan yang klasik. Penology harus menyorot dan menganalisis putusan-putusan pengadilan yang mengadili tuduhan-tuduhan murah dari penguasa yang fasistik bertalian dengan kejahatan-kehatan politik. Pasal-pasal KUHP tidak boleh dikaji lagi dengan teori-teori Belanda yang memiliki justifikasi konsiderasi kolonial. Harus ada keberanian berdasarkan keadilan dan kebenaran untuk menerangi pasal-pasal apa saja dalam KUHP, bahkan harus menerangi pula hati nurani sang pengajar bahwa yang dipertaruhkan bukan lagi, apakah itu betul atau tidak, melainkan apakah itu benar dan adil. Jangan dilupakan bahwa keadilan dan kebenaran itu membebaskan dari penindasan kekuasaan yang fasistik. Ia membebaskan dari taruhan berapa yang siap anda bayar agar menang dalam berperkara di pengadilan. Ia membebaskan dari kecurigaan dan prasangka-prasangka buruk yang acap kali dikemas dengan norma-norma sacral yang bukan substansi. Harus ada keberanian untuk mengatakan apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku harus menjadi musuhmu?
Pengalaman, terutama pada waktu penulis mengajar program pasca sarjana, membuktikan bahwa banyak dosen yang kurang sekali menguasai bahasa asing casu quo bahasa Inggris. Itu terbukti ketika dilaksanakan ujian terbuka (openbook exam) dimana semua catatan dapat digunakan secara terbuka untuk menjawab pertanyaan ujian. Meskipun demikian, hasil ujian sangat mengecewakan. Tidaklah mengherankan kalau dengan modal penguasaan bahasa asing yang sangat sumir dan memprihatinkan itu, bagaimana mungkin mereka dapat membaca literature asing dalam rangka mempersiapkan bahan perkuliahan mereka dengan baik, bermutu, dan bertanggung jawab. Selama bahasa asing masih menjadi kendala, selama itu pula sulit diharapkan perkuliahan akan berkembang dan bermutu. Yang dikhawatirkan justru akan terjadi hambatan pengelolaan keilmuan sehingga yang disajikan itu adalah bahan-bahan basi berupa pengalaman semata, terutama ketika mereka masih menjadi mahasiswa atau berupa jiplakan aspal. Peningkatan mutu keilmuan dengan penambahan gelar melalui program pascasarjana, berdasarkan pengalaman saya, masih belum cukup dan memadai, kecuali ada peningkatan penguasaan bahasa asing meskipun tidak dalam konteks penguasaan secara aktif. 
Apa yang dikemukakan di atas merupakan suatu tragedy dan ironi yang dewasa ini belum dapat melepaskan diri, terutama oleh dunia hukum kita yang sudah babak belur ini. Dan meskipun ada gebrakan moral dari petinggi kehakiman, ternyata dengan gebrakan moral itu disambut dengan senyum sinis dan praktik usang KKN tetap terus merajalela. Perlu diketahui Australia dengan kultur lugas dan transparan membutuhkan 25 tahun untuk mendandani problematik korupsi. Sulitnya di Indonesia, yaitu maling teriak maling. Tiba-tiba, persada bumi pertiwi diramaikan dengan suara tuduhan maker. KUHP yang ibarat celana kakek Perancis dan bapak penjajah Belanda yang penuh tambal sulam itu, ketika hendak diperagakan dalam arena reformasi terasa hambar, menyakitkan, dan membangkitkan kenangan-kenangan dari orde baru yang penuh dengan bahasa kekerasan structural, seperti libas saja, digebuk, nggege mongso, waton suloyo, sekaligus ungkapan feudal yang artificial yang diciptakan untuk I’etat c’est moi, kendatipun kini sudah lengser keprabon tanpa suatu kepemilikan darah biru. 
Perjalanan yang membebaskan demi keadilan dan kebenaran masih panjang. Dewasa ini seperti tidak terlihat terang di ujung terowongan. MPR alias Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah ditransformasikan oleh sisa-sisa kekuatan orde baru menjadi Majelis Permusyawaratan Rezim. Soeharto masih tetap presiden de jure. Tidak ada usaha untuk mencabut keputusan MPR dalam hal tersebut. Ketetapan untuk memberantas korupsi diserobot oleh ketetapan itu sendiri sebab masih perlu pengaturan oleh undang-undang yang baru. Dan lagu orde baru yang munafik dipuji setinggi langit oleh presiden de facto. Itulah ironi dan tragedy dewasa ini. Kehidupan konstitusional sudah berwayuh dan hanya mempresentasikan seolah-olah kebenaran dan keadilan menjadi miliknya sendiri. Penguasa dapat meludahi siapa saja yang tidak disenangi. Akan tetapi, penguasa tidak berani kepada para mahasiswa yang kini adalah primadona keadilan dan kebenaran yang masih harus diasah, diasuh, dan diasih. Mengasuh, mengasah, dan mengasihi adalah tugas kita bersama, baik yang masih dalam kancah keilmuan akademis maupun karena tuntutan usia, harus memberikan tempat dengan penuh kelegaan kepada yang lebih muda. 
Pada bagian akhir dari orasi ini, bukan sekadar basa-basi, melainkan dari ketulusan dan kasih sejati, saya ingin menyampaikan permohonan maaf kepada siapa saja dari civitas akademica FH-Unair, yang mungkin selama saya bertugas, baik sebagai dosen maupun sebagai dekan pernah membuat anda tidak sejahtera. Khusus kepada para asisten saya, saya tetap berharap agar kalian terus bekerja keras dan tekun sebagaimana biasanya dalam rangka mengasuh, mengasah, dan mengasihi para anak didik kalian agar mereka dikemudia hari dapat menjadi manusia-manusia yang berhati nurani dan yang mengasihi sesama, dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran dengan tetap berpegang pada: “apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku harus menjadi musuhmu?” Selamat berjuang!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar