Sabtu, 14 Februari 2015

Mahasiswa dan Kelompok Kepentingan


Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Aktivisme mahasiswa dalam politik sudah merupakan tradisi lama di Indonesia. Sejak era kebangkitan nasional sampai era reformasi aktivisme mahasiswa tersebut terbuktikan. Mahasiswa universitas adalah sekelompok elite di Indonesia, dalam arti mereka mempunyai waktu senggang untuk belajar dan bukan bekerja. Walaupun jumlah mereka berbeda dari satu negara ke negara lainnya, namun menurut perkiraan angka partisipasi untuk perguruan tinggi hanya 18, 7% dari populasi pemuda mempunyai kesempatan untuk mengecap pendidikan tinggi.
            Mahasiswa cenderung mempunyai kekuasaan melebihi jumlah mereka. Mereka adalah kelompok yang sangat berprestasi, yang secara tradisional dihargai tinggi dalam warisan sejarah perjuangan bangsa ini dan dianggap sebagai calon-calon pemimpin generasi mendatang. Mereka sering dipandang oleh para buruh dan petani sebagai pemimpin mereka. Universitas-universitas terkemuka di Indonesia berlokasi di ibukota dan kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya dan Makassar. Karena sebagian besar politik Indonesia merupakan politik kekuasaan terpusat (perkotaan), mahasiswa adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan masukan maksimum dengan demonstrasi turun ke jalan dan, kadang-kadang, aktivitas gerilya perkotaan dan pedesaan. Otonomi tradisional kampus-kampus universitas berarti militer dan polisi tidak dapat masuk untuk menahan mahasiswa, bahkan pada saat gerilya perkotaan sedang di kejar-kejar pun.
            Walaupun sebagian besar mahasiswa cenderung beraliran ke kiri-kirian dalam merumuskan aksi-aksi politik, namun partai politik dari semua ideologi telah mencoba memasukkan mahasiswa dalam jajaran mereka. Masing-masing pihak cenderung mempunyai cabang mahasiswanya sendiri. Partai juga mensponsori “mahasiswa professional” yang lebih mengabdikan waktu mereka untuk berorganisasi ketimbang belajar. Usaha untuk mengorganisasi mahasiswa ini didasarkan pada kemampuannya mereka yang telah terbukti dalam bidang politik, walaupun mahasiswa cenderung lebih berhasil menentang dari pada mendukung kelompok-kelompok dalam pemerintah.
            Tetapi mahasiswa tidak sama kuatnya dengan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Pembinaan politis yang mendalam di kalangan mahasiswa tidak memungkinkan mereka secara berlanjut dan benar-benar melaksanakan kekuasaan mereka, seperti kenyataan bahwa mahasiswa hanyalah kelompok transisi saja, dimana hampir 100% lulus sudah lulus dalam empat sampai tujuh tahun. Inilah kelemahan bagi suatu kelompok, karena perekrutan pada aktivitas politik dan pembinaannya harus terus dilakukan. Dan akhirnya mahasiswa kurang berpengaruh di banding semestinya, sebab sebagian dari mereka lebih memikirkan pendidikan sebagai suatu cara untuk mendapatkan mobilitas sosial atau untuk melestarikan status sosial mereka di banding politik.
Vis-a Vis Kelompok Kepentingan Lainnya
            Tradisi politik Indonesia sangat berbeda dengan tradisi politik Amerika Serikat dan Eropa Barat. Tradisi politik Indonesia jelas tercermin dalam komposisi dan antar hubungan kelompok-kelompok politik diarena wilayah ini.
            Masih banyak perbedaan pendapat mengenai apakah Indonesia mempunyai suatu politik perjuangan kelompok kepentingan pasca era kolonialisme dan imperialism. Memang ada persaingan diantara berbagai kelompok dan fraksi di Indonesia. Di Indonesia titik beratnya dsering diletakkan pada usaha penciptaan suatu negara administrative diatas partai dan politik kelompok kepentingan. Dan di Indonesia lembaga-lembaga seperti, lembaga keagamaan, militer, universitas, dan bahkan serikat buruh, tani sering lebih dari sekedar kelompok kepentingan: mereka adalah bagian dari sebuah sistem negara dan tidak dapat dipisahkan dari negara. Memang terdapat tingkat-tingkat control pemerintah terhadap kelompok-kelompok ini, yang berkisar mulai dari control yang hampir mutlak seperti dalam liberalism.
            Dalam beberapa hal, kelompok-kelompok baru ini menolak di kooptasikan dan gagal menerima aturan permainan. Sebaliknya mereka perlahan-lahan menunjukkan kepada kelompok-kelompok yang telah mapan dan para pemimpinnya bahwa mereka itu dapat bertindak melawan kepentingan kelompok elite yang telah mapan tersebut. Terlebih dalam konteks tradisi yang sering patrimonial dan korporatif inilah yang selaras tumpang-tindih dengan perangkap-perangkap liberalism (dan di negara tertentu lebih dari sekedar perangkap saja), dan dengan seperangkat aturan permainan yang rumit walaupun tidak tertulis kita harus melihat kelompok-kelompok yang relevan secara politis di Indonesia. Setelah kemerdekaan empat kelompok yang sering dinamakan “oligarkhi abad ke-21” menonjol sekali: yaitu militer, partai politik, lembaga keagamaan, dan para pemegang saham besar. Keempat kelompok ini pernah bersatu sebagai penantang status quo, namun sekarang mereka itu lebih heterogen.
            Melalui proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan, muncullah kelompok-kelompok baru: yang pertama adalah elite komersial, kemudian muncul elite industri, mahasiswa, sector berpendapatan menengah, serikat buruh industry dan petani. Dan mahasiswa dapat diharapkan tetap sebagai kelompok yang relevan secara politik, khususnya jika pertumbuhan ekonomi lamban atau tidak ada. Dengan adanya kerja sama antara mahasiswa, dengan para buruh dan petani, mereka dapat memainkan suatu peranan penting menggusur status quo. Universitas-universitas di Indonesia, walaupun hanya mendidik sejumlah kecil populasi, menghasilkan lebih banyak bekerja kantoran yang potensial dari pada yang di butuhkan birokrasi pemerintah dan perusahaan swasta. Mahasiswa yang melihat hanya sedikit kemungkinan merintis karier professional setelah lulus mungkin akan tertarik ke dalam bidang politik karena frustasi dan tiadanya jaminan hari depan. Begitu.
*Penulis adalah Mahasiswa Aktif FKIP
Pendidikan Kewarganegaraan UMS
Dan Bergiat aktif di Grup Diskusi Griya Pena
(GDGP) Pabelan











Tidak ada komentar:

Posting Komentar