Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Aktivisme mahasiswa dalam politik
sudah merupakan tradisi lama di Indonesia. Sejak era kebangkitan nasional
sampai era reformasi aktivisme mahasiswa tersebut terbuktikan. Mahasiswa universitas
adalah sekelompok elite di Indonesia, dalam arti mereka mempunyai waktu
senggang untuk belajar dan bukan bekerja. Walaupun jumlah mereka berbeda dari
satu negara ke negara lainnya, namun menurut perkiraan angka partisipasi untuk
perguruan tinggi hanya 18, 7% dari populasi pemuda mempunyai kesempatan untuk
mengecap pendidikan tinggi.
Mahasiswa cenderung mempunyai
kekuasaan melebihi jumlah mereka. Mereka adalah kelompok yang sangat
berprestasi, yang secara tradisional dihargai tinggi dalam warisan sejarah
perjuangan bangsa ini dan dianggap sebagai calon-calon pemimpin generasi
mendatang. Mereka sering dipandang oleh para buruh dan petani sebagai pemimpin
mereka. Universitas-universitas terkemuka di Indonesia berlokasi di ibukota dan
kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, Solo, Malang, Surabaya dan
Makassar. Karena sebagian besar politik Indonesia merupakan politik kekuasaan
terpusat (perkotaan), mahasiswa adalah tempat yang tepat untuk mendapatkan
masukan maksimum dengan demonstrasi turun ke jalan dan, kadang-kadang,
aktivitas gerilya perkotaan dan pedesaan. Otonomi tradisional kampus-kampus
universitas berarti militer dan polisi tidak dapat masuk untuk menahan
mahasiswa, bahkan pada saat gerilya perkotaan sedang di kejar-kejar pun.
Walaupun sebagian besar mahasiswa
cenderung beraliran ke kiri-kirian dalam merumuskan aksi-aksi politik, namun
partai politik dari semua ideologi telah mencoba memasukkan mahasiswa dalam
jajaran mereka. Masing-masing pihak cenderung mempunyai cabang mahasiswanya
sendiri. Partai juga mensponsori “mahasiswa professional” yang lebih
mengabdikan waktu mereka untuk berorganisasi ketimbang belajar. Usaha untuk
mengorganisasi mahasiswa ini didasarkan pada kemampuannya mereka yang telah
terbukti dalam bidang politik, walaupun mahasiswa cenderung lebih berhasil
menentang dari pada mendukung kelompok-kelompok dalam pemerintah.
Tetapi mahasiswa tidak sama kuatnya
dengan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Pembinaan politis yang mendalam
di kalangan mahasiswa tidak memungkinkan mereka secara berlanjut dan
benar-benar melaksanakan kekuasaan mereka, seperti kenyataan bahwa mahasiswa
hanyalah kelompok transisi saja, dimana hampir 100% lulus sudah lulus dalam
empat sampai tujuh tahun. Inilah kelemahan bagi suatu kelompok, karena
perekrutan pada aktivitas politik dan pembinaannya harus terus dilakukan. Dan
akhirnya mahasiswa kurang berpengaruh di banding semestinya, sebab sebagian
dari mereka lebih memikirkan pendidikan sebagai suatu cara untuk mendapatkan
mobilitas sosial atau untuk melestarikan status sosial mereka di banding
politik.
Vis-a
Vis
Kelompok Kepentingan Lainnya
Tradisi
politik Indonesia sangat berbeda dengan tradisi politik Amerika Serikat dan
Eropa Barat. Tradisi politik Indonesia jelas tercermin dalam komposisi dan
antar hubungan kelompok-kelompok politik diarena wilayah ini.
Masih banyak perbedaan pendapat
mengenai apakah Indonesia mempunyai suatu politik perjuangan kelompok
kepentingan pasca era kolonialisme dan imperialism. Memang ada persaingan diantara
berbagai kelompok dan fraksi di Indonesia. Di Indonesia titik beratnya dsering
diletakkan pada usaha penciptaan suatu negara administrative diatas partai dan
politik kelompok kepentingan. Dan di Indonesia lembaga-lembaga seperti, lembaga
keagamaan, militer, universitas, dan bahkan serikat buruh, tani sering lebih
dari sekedar kelompok kepentingan: mereka adalah bagian dari sebuah sistem
negara dan tidak dapat dipisahkan dari negara. Memang terdapat tingkat-tingkat
control pemerintah terhadap kelompok-kelompok ini, yang berkisar mulai dari
control yang hampir mutlak seperti dalam liberalism.
Dalam beberapa hal,
kelompok-kelompok baru ini menolak di kooptasikan dan gagal menerima aturan
permainan. Sebaliknya mereka perlahan-lahan menunjukkan kepada kelompok-kelompok
yang telah mapan dan para pemimpinnya bahwa mereka itu dapat bertindak melawan
kepentingan kelompok elite yang telah mapan tersebut. Terlebih dalam konteks
tradisi yang sering patrimonial dan korporatif inilah yang selaras
tumpang-tindih dengan perangkap-perangkap liberalism (dan di negara tertentu
lebih dari sekedar perangkap saja), dan dengan seperangkat aturan permainan
yang rumit walaupun tidak tertulis kita harus melihat kelompok-kelompok yang
relevan secara politis di Indonesia. Setelah kemerdekaan empat kelompok yang
sering dinamakan “oligarkhi abad ke-21” menonjol sekali: yaitu militer, partai
politik, lembaga keagamaan, dan para pemegang saham besar. Keempat kelompok ini
pernah bersatu sebagai penantang status quo, namun sekarang mereka itu lebih
heterogen.
Melalui proses pertumbuhan ekonomi
dan perubahan, muncullah kelompok-kelompok baru: yang pertama adalah elite
komersial, kemudian muncul elite industri, mahasiswa, sector berpendapatan
menengah, serikat buruh industry dan petani. Dan mahasiswa dapat diharapkan
tetap sebagai kelompok yang relevan secara politik, khususnya jika pertumbuhan
ekonomi lamban atau tidak ada. Dengan adanya kerja sama antara mahasiswa,
dengan para buruh dan petani, mereka dapat memainkan suatu peranan penting
menggusur status quo. Universitas-universitas di Indonesia, walaupun hanya
mendidik sejumlah kecil populasi, menghasilkan lebih banyak bekerja kantoran
yang potensial dari pada yang di butuhkan birokrasi pemerintah dan perusahaan
swasta. Mahasiswa yang melihat hanya sedikit kemungkinan merintis karier
professional setelah lulus mungkin akan tertarik ke dalam bidang politik karena
frustasi dan tiadanya jaminan hari depan. Begitu.
*Penulis adalah Mahasiswa Aktif
FKIP
Pendidikan Kewarganegaraan UMS
Dan Bergiat aktif di Grup Diskusi
Griya Pena
(GDGP) Pabelan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar