Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Dewasa ini, negara-dan negara yang
dimaksudkan disini adalah negara nasional yang berdaulat-adalah sesuatu yang
diperlukan tetapi yang sekaligus tidak memadai. Negara adalah suatu instrumen
yang sangat diperlukan untuk melaksanakan banyak hal, untuk memberikan
pelayanan, dan untuk menangani banyak masalah nyata. Tetapi negara, sekaligus
juga tidak memadai untuk mengatasi banyaknya masalah kehidupan dan kematian
lainnya yang dihadapi penduduknya. Tidak satu negara pun dewasa ini dapat
melindungi kehidupan warga negaranya bila ia terlibat dalam perang melawan
korupsi, atau melindungi warga negaranya dari keracunan KKN (korupsi, kolusi,
dan nepotisme) yang terjadi didalam batas-batas wilayahnya. Tidak satu negara
pun dapat melindungi ekologi dunia dari ancaman bencana alam dan atmosfir dari
bahaya panas global. Tidak pula ada suatu negara pun yang dapat memecahkan
masalah pertumbuhan penduduk dunia, kekurangan bahan baku, energi, dan pangan.
Dalam semuanya itu, alasan pertama dan utama pemerintah-untuk melindungi
kehidupan warga negaranya adalah suatu ilusi.
Dari kondisi ini dan kondisi lainnya
muncullah krisis negara modern. Dalam krisis negara modern ini kita dapat
namakan sebagai situasi yang mempunyai tiga karakteristik: keadaan hubungan
yang tidak lagi dapat di pertahankan, atau dalam waktu dekat tidak dapat lagi
dipertahankan tidak diketahui atau tampaknya tidak dapat dilaksanakan, karena
diabaikan, kurangnya sarana, kurangnya konsensus, atau tekanan kepentingan yang
menetralka; dan pencarian akan semacam pola yang aktif dan praktis, yang
pemapanannya dalam praktek dan keputusan yang berhubungan dengan tugas ini
harus dilaksankan secara cepat dan mendesak. Sedangkan tidak tersedia banyak
waktu untuk memecahkan bahaya ini. Para ahli dapat mengamati dan sebagian
memperhitungkan banyak aspek krisis dihadapan kita. Semakin banyak orang
merasakannya melalui instuisi atau pengalaman. Dalam situasi krisis ini,
pengembangan teori negara yang lebih memadai menjadi tugas yang sangat penting.
Terlebih jika kita menengok kembali perseteruan antar lembaga hukum di negeri
ini (KPK dan Polri).
Dalam melihat kasus tersebut
pendekatan teoritis yang diketengahkan disini adalah dengan menguraikan
struktur dan fungsi negara, dan membagi struktur kedalam unsur struktural
utama, serta kelas fungsi kedalam fungsi dan tujuan. Struktur negara jika
melihat kasus KPK dan Polri ini dapat dibagi kedalam kelompok: orang-orang
bersenjata dan perlengkapan mereka, yang diorganisasi sebagai kekuatan militer
atau polisi; para pengambil keputusan, legislator, dan penguasa dalam peran
yang kurang lebih purna waktu; personal sipil dan perlengkapan mereka, yang
diorganisasi dalam pelayanan administrasi dan koordinasi, legislator dan para
pengambil keputusan lainnya, militer dan sipil, hakim dan pegawai pengadilan;
serta penduduk yang mematuhi negara hukum sampai kadar tertentu yang
memungkinkan negara dapat berfungsi, saling pengaruh ketaatan rakyat dengan
kekuasaan negara dan pelayanan negara inilah yang merupakan esensi negara.
Fungsi negara ditandai oleh
pluralitasnya. Yang kita maksud dengan fungsi ialah suatu proses yang bertugas
memelihara suatu sistem yang lebih besar dimana ia jumpai, atau untuk membantu
mengejar tujuan suatu sistem. Sejauh mengenai tujuan ini maka suatu proses
dinamakan fungsional, dan disebut disfungsional bila tujuan bertentangan dengan
arah yang diinginkan. Sedangkan kalau kita melihat fungsi negara dalam
menangani kisruh KPK dan Polri ini adalah tidak ada pemeliharaan tatanan dan
prediktabilitas dalam masyarakat-pemeliharaan pola menurut istilah Talcot
Parsons-terhadap ancaman luar dan ancaman didalam. Justru kebalikannya adalah
sangat penting. Karena dalam masyarakat yang timpang ada beberapa kelompok atau
kelas sosial yang lebih makmur atau mempunyai hak yang lebih istimewa dari kelas
lainnya, maka untuk memelihara tatanan ini negara juga memelihara hak istimewa
kelompok atau kelas. Pada gilirannya hal ini mungkin pula didukung oleh
kelompok dan kelas yang punya hak istimewa tadi dan berbagai beberapa
personalnya dengan mereka.
Negara Sebagai Struktur
Penggabung Fungsi
Untuk menghasilkan
negara yang transformatif perlu kiranya negara sebagai struktur penggabung
fungsi. Struktur penggabung fungsi dapat diartikan sebagai seperangkat unsur
yang relatif stabil, bersama dengan seperangkat hukum yang menggambarkan
kemungkinan kombinasi dan transformasi unsur itu, serta seluruh kelompok
transformasi yang dihasilkan unsur-unsur dan hukum-hukum tersebut. Dalam kasus
kisruh KPK dan Polri seyogianya dapat dikelola dengan penyederhanaan: dalam
setiap masyarakat, fungsi yang berbeda tidak akan sama pentingnya dan dapat
digolongkan menurut arti pentingnya sebagaimana diukur atau ditaksir
berdasarkan waktu, perhatian, atau sumber yang diberikan pada masing-masing
fungsi itu, atau berdasarkan persentase variansi aktivitas negara yang diamati,
yang dapat diterangkan oleh fungsi itu.
Singkatnya, penegakan hukum hanya
akan dapat dijalankan bila ia diarahkan melawan beberapa orang yang korup dan didukung
oleh ketaatan banyak orang, biasanya setidak-tidaknya oleh mayoritas, dan ada
dukungan aktif dari setidak-tidaknya sekelompok besar penduduk. Kemungkinan
keberhasilan penegakan hukum juga cenderung menurun karena adanya jarak sosial
atau jarak budaya dan ekonomi, sehingga menyumbang terhadap krisis negara.
Keterbatasan kemampuan organisasi negara dalam menghadapi krisis ini dapat
menyebabkan beban yang berlebihan pada tingkat pemerintah pusat atau pada
administrasi regional dan lokalnya. Semakin banyak hubungan ekonomi dan politik
serta konflik nyata dan potensial terjadi dengan negara-negara atau rakyat
lainnya, maka semakin mungkinlah negara tersebut mengabaikan masalah
penduduknya yang menduduki ranking rendah dalam skala prioritas, dan yang
karenanya, marjinal dalam urutan kepentingan negara, secara politis dan
ekonomis.
Di
sini kita dapat berbicara mengenai “hukum penurunan perhatian dan ketanggapan”
terhadap kebutuhan komponen-komponen marjinal dari negara “kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Perhatian yang menurun inilah dan penurunan
selanjutnya dalam prestasi pemerintah serta pelayanan terhadap daerah dan
penduduk marjinal yang akan cenderung mengurangi loyalitas dan meningkatkan
perlawanan, dan kiranya membatasi kekuasaan negara. Begitu.
*Penulis adalah Mahasiswa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar