Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Pengetahuan dan keputusan adalah dua
persoalan yang tidak dapat dipisahkan dalam mengetahui persoalan nilai.
Terlebih dalam mengetahui persoalan nilai di negeri ini yang semakin rancu,
dimana antara etika dan moral saling tumpang tindih tak beraturan. Dapat kita
lihat ketika keputusan yang diambil oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nir-pengetahuan
tentang filsafat etika dan moral dalam mengambil keputusan saat pembahasan RUU
Pilkada berlangsung dan pada akhirnya terputuskan Pilkada melalui DPRD. Belum
lagi selesai dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, dimana masih ada
kesempatan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kini publik
dikejutkan oleh pengambilan keputusan yang terkesan politik-pencitraan oleh
presiden SBY, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Entah apa yang menjadi landasan berfikir para penguasa negeri ini dalam
pengambilan keputusan tersebut. Sehingga daulat rakyat teralienasi dalam
tataran nilai (sesuatu yang beharga), dalam konteks ini adalah demokrasi;
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Suatu kondisi, besar atau kecil,
akan pantas disebut tragedi kalau semua atau nyaris semua peserta dalam kondisi
itu berada dalam kondisi beriman, bermaksud baik dan bermoral tinggi, tetapi
diluar dugaan semua pihak, ternyata ujung akhir dari perjalanan bersama itu tak
lain adalah bencana, malapetaka untuk kelompok itu (Dr. Emanuel Subangun: Kisah Katak dalam Belanga). Keadaan itu
sangat relevan untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini dalam
menatap masa depan demokrasi yang hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Hal itu semakin menegaskan watak tragedi dari hidup bersama kita
sebagai bangsa, saat DPR mengetok palu Pilkada melalui DPRD. Pro dan kontra
menjadi dialog publik yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. RUU Pilkada
yang mengusung kepentingan tersurat tirani politik dan oligarkhi ekonomi harus
tetap bercokol di negeri ini, menguasai alam sadar masyarakat Indonesia saat
ini pasca pesta demokrasi (Pileg dan Pilpres), pasalnya salah satu pemain dalam
kompetisi pesta demokrasi tersebut tidak ingin tinggal diam dalam membuat
disintegrasi nasional.
Nalar berfikir anggota DPR yang
sepakat mengambil keputusan Pilkada melalui DPRD dengan berbagai alasan yang
terkesan moralistis. Perlu dipertanyakan ke-nalar-annya, pertanyaan
reflektifnya adalah, apakah betul korupsi yang dilakukan kepala daerah itu secara
langsung disebabkan oleh pemilihan langsung? Begitupun sebaliknya, apakah
pilkada melalui DPRD tidak ada korupsi? Saya yakin anggota DPR yang sepakat
mengambil keputusan Pilkada melalui DPRD tidak bisa menjawab dan menjamin bahwa
pemilihan melalui DPRD bebas dari korupsi. Begitu pun sama dengan pemilihan
langsung yang berdampak pada maraknya korupsi. Karena pada dasarnya pemilihan
langsung yang berakibat maraknya pada korupsi itu, penyebabnya adalah peran dan
fungsi partai itu sendiri yang tidak berjalan dengan baik sesuai dengan etika
politik-nilai. Apakah adil jika kesalahan akibat korupsi yang marak itu
dibebankan pada sistem pemilihan langsung, yang mana pemilihan langsung (one man one vote) itu adalah hak
konstitusional pemilih langsung (baca; rakyat) untuk memilih dan dipilih.
Mengacu pada nalar berfikir anggota
DPR yang sepakat Pilkada melalui DPRD, maka kita akan melihat bahwa landasan
pengetahuan yang digunakan oleh anggota DPR tersebut, mengacu pada filsafat
modern yang berlandaskan pada rasionalitas wahyu yaitu intelektualisme klasik,
yang mana sebagai titik tolaknya, mengambil kehebatan akal, intuisi intelektual
dan keunggulan pengetahuan teoritis (Rekonstruksi Nalar Kritis, Hans Albert:
2014). Yang mana bisa kita lihat melalui konsolidasi kekuasaan dengan kehebatan
nalar politis yang sistematis, terstruktur dan massif untuk meraih suara
terbanyak dalam pengambilan keputusan. Dan penggunaan kekuatan memanipulasi
bahasa yang utopian-apolegetik dengan intuisi intelektual, yaitu dengan mendelegitimasi
Pilkada langsung adalah maraknya korupsi akibat Pilkada langsung yang
mengatasnamakan suara rakyat harus terjaga dari bahaya laten politik-uang.
Serta kecerdikan dalam memilah dan memilih teori demokrasi yang irrasional
dengan memperlihatkan keunggulan pengetahuan teoritis. Tak lain dan tak bukan
adalah nalar berfikir yang dibangun oleh anggota DPR yang sepakat melalui DPRD,
dan apabila pengetahuan dan keputusan sudah ditetapkan dalam bentuk komitmen
maka yang terjadi adalah dogmatisme kebenaran dalam berdemokrasi.
Tak berbeda dengan anggota DPR yang
sepakat Pilkada tidak langsung yang memiliki landasan pengetahuan dan
pengambilan keputusan yang irrasional. Presiden SBY seirama dengan anggota DPR
yang sepakat Pilkada tidak langsung dalam menatap masa depan demokrasi kita,
melainkan SBY lebih moderat dalam mengambil keputusan yaitu mengupayakan untuk
menerbitkan Perppu. Tetapi sikap SBY tidak bisa dilepaskan dari partai
pengusungnya begitu saja yaitu partai demokrat. Karena ia selain kepala negara
dan kepala pemerintah juga ketua umum partai, yang mana kita ketahui bahwa
partai demokrat dalam pembahasan RUU Pilkada walk-out dengan alasan kepentingan
rakyat dikarenakan usulan bersyaratnya tidak diterima oleh anggota DPR yang
lain. Perlu diketahui juga bahwa keluarnya anggota DPR dalam penentuan nasib
demokrasi Indonesia adalah pengkhianatan suara rakyat. Melanjutkan landasan
pengetahuan dan pengambilan keputusan presiden SBY yang seirama dengan anggota
DPR yang sepakat Pilkada tidak langsung, sesungguhnya presiden SBY mengacu pada
landasan berfikir empirisme klasik, yang mana lebih menekankan keunggulan
observasi, persepsi indera, dan keunggulan fakta. Dapat kita tengok melalui
spekulasi politik yang dilakukan oleh SBY sebagai komando negara dan komando
partai. Kalkulasi politik yang ia mainkan dalam parlemen dan analisa
politik-hukum yang ia putuskan dalam roda pemerintahan tak terlepasnya dari
landasan pengetahuan yang empirisme klasik tersebut.
Apabila pengetahuan dan keputusan
sudah terkooptasi dengan keputusan fundamental yang mendukung prinsip
justifikasi klasik, maka yang akan tercipta adalah fundamentalisme kekuasaan.
Pada saat yang sama seluruh klaim tentang kemungkinan salah ditolak lalu
mendukung tidak mungkin salah. Setiap orang yang melabelkan sifat tidak mungkin
salah kepada sesuatu hal tertentu; akal, intuisi atau pengalaman, kepada
kesadaran kepada keinginan atau perasaan; kepada person, kelompok atau kelas
person, semacam pejabat negara; akan mengklaim bahwa otoritas ini tidak pernah
keliru dalam kaitannya dengan masalah-masalah terkait. Karena sesungguhnya
setiap tidak mungkin salah adalah bentuk puncak dari dogmatisme.
Kritisime Kekuasaan
Dalam pengetahuan dan keputusan
mengenai RUU Pilkada yang telah dilaksankan oleh DPR dan akan dilakukan oleh
presiden, maka alangkah baiknya untuk kita kritisi, terlebih jika itu berkaitan
dengan kekuasaan rakyat. karena pada dasarnya pengetahuan adalah unsur utama
dalam masyarakat, atau dengan kata lain meletakkan pengetahuan dalam hubungan
dengan masyarakat bangsa. Apalagi dalam persoalan menentukan format struktur
ketatanegaraan yang demokratis. Sesungguhnya yang sedang dibicarakan adalah
hubungan unsur dengan keseluruhan.
Korelasinya dalam RUU Pilkada ini
adalah pengetahuan yang dibangun oleh anggota DPR dan presiden harus tetap
mempertimbangkan rakyat sebagai tuannya dan pejabat sebagai pelayannya dalam
hubungan masyarakat bangsa. Oleh sebab itu makna pengetahuan tidak saja demi
urusan penguasaan, tetapi terutama dalam hubungan dengan masyarakat kita adalah
demi upaya meringankan beban, demi sebuah pembebasan. Maka keputusan yang
diambil pun akan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya
nyanyian-nyanyian pseudo-populis yang nir pemaknaan.
Jika pengetahuan dan keputusan
tujuan utamanya adalah demi meringankan beban dan kesengsaraan masyarakat,
kaidah moral dan etik mana yang harus ditilik ulang atas nama etos
berpengetahuan. Jika pengetahuan dan keputusan RUU Pilkada akhirnya melalui
DPRD atau tidak langsung, apakah tujuan untuk membentuk pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat tercapai? Dan apakah kaidah moral
dan etik keputusan RUU Pilkada melalui DPRD atau tidak langsung sesuai dengan
etos berpengetahuan? Pada akhirnya ketika kita mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu maka kita akan melampaui dogmatisme yang terbingkai
dalam fundamentalisme kekuasaan. Mungkin begitu.
*Penulis adalah pembaca buku dan
pegiat diskusi kebangsaan
Dan bergiat di Langgar Pena,
Pabelan Kartasura Sukoharjo
keren gan
BalasHapus