Jumat, 10 Oktober 2014

FUNDAMENTALISME KEKUASAAN


Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
 
            Pengetahuan dan keputusan adalah dua persoalan yang tidak dapat dipisahkan dalam mengetahui persoalan nilai. Terlebih dalam mengetahui persoalan nilai di negeri ini yang semakin rancu, dimana antara etika dan moral saling tumpang tindih tak beraturan. Dapat kita lihat ketika keputusan yang diambil oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nir-pengetahuan tentang filsafat etika dan moral dalam mengambil keputusan saat pembahasan RUU Pilkada berlangsung dan pada akhirnya terputuskan Pilkada melalui DPRD. Belum lagi selesai dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, dimana masih ada kesempatan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kini publik dikejutkan oleh pengambilan keputusan yang terkesan politik-pencitraan oleh presiden SBY, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Entah apa yang menjadi landasan berfikir para penguasa negeri ini dalam pengambilan keputusan tersebut. Sehingga daulat rakyat teralienasi dalam tataran nilai (sesuatu yang beharga), dalam konteks ini adalah demokrasi; pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
            Suatu kondisi, besar atau kecil, akan pantas disebut tragedi kalau semua atau nyaris semua peserta dalam kondisi itu berada dalam kondisi beriman, bermaksud baik dan bermoral tinggi, tetapi diluar dugaan semua pihak, ternyata ujung akhir dari perjalanan bersama itu tak lain adalah bencana, malapetaka untuk kelompok itu (Dr. Emanuel Subangun: Kisah Katak dalam Belanga). Keadaan itu sangat relevan untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini dalam menatap masa depan demokrasi yang hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Hal itu semakin menegaskan watak tragedi dari hidup bersama kita sebagai bangsa, saat DPR mengetok palu Pilkada melalui DPRD. Pro dan kontra menjadi dialog publik yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. RUU Pilkada yang mengusung kepentingan tersurat tirani politik dan oligarkhi ekonomi harus tetap bercokol di negeri ini, menguasai alam sadar masyarakat Indonesia saat ini pasca pesta demokrasi (Pileg dan Pilpres), pasalnya salah satu pemain dalam kompetisi pesta demokrasi tersebut tidak ingin tinggal diam dalam membuat disintegrasi nasional.
            Nalar berfikir anggota DPR yang sepakat mengambil keputusan Pilkada melalui DPRD dengan berbagai alasan yang terkesan moralistis. Perlu dipertanyakan ke-nalar-annya, pertanyaan reflektifnya adalah, apakah betul korupsi yang dilakukan kepala daerah itu secara langsung disebabkan oleh pemilihan langsung? Begitupun sebaliknya, apakah pilkada melalui DPRD tidak ada korupsi? Saya yakin anggota DPR yang sepakat mengambil keputusan Pilkada melalui DPRD tidak bisa menjawab dan menjamin bahwa pemilihan melalui DPRD bebas dari korupsi. Begitu pun sama dengan pemilihan langsung yang berdampak pada maraknya korupsi. Karena pada dasarnya pemilihan langsung yang berakibat maraknya pada korupsi itu, penyebabnya adalah peran dan fungsi partai itu sendiri yang tidak berjalan dengan baik sesuai dengan etika politik-nilai. Apakah adil jika kesalahan akibat korupsi yang marak itu dibebankan pada sistem pemilihan langsung, yang mana pemilihan langsung (one man one vote) itu adalah hak konstitusional pemilih langsung (baca; rakyat) untuk memilih dan dipilih.
            Mengacu pada nalar berfikir anggota DPR yang sepakat Pilkada melalui DPRD, maka kita akan melihat bahwa landasan pengetahuan yang digunakan oleh anggota DPR tersebut, mengacu pada filsafat modern yang berlandaskan pada rasionalitas wahyu yaitu intelektualisme klasik, yang mana sebagai titik tolaknya, mengambil kehebatan akal, intuisi intelektual dan keunggulan pengetahuan teoritis (Rekonstruksi Nalar Kritis, Hans Albert: 2014). Yang mana bisa kita lihat melalui konsolidasi kekuasaan dengan kehebatan nalar politis yang sistematis, terstruktur dan massif untuk meraih suara terbanyak dalam pengambilan keputusan. Dan penggunaan kekuatan memanipulasi bahasa yang utopian-apolegetik dengan intuisi intelektual, yaitu dengan mendelegitimasi Pilkada langsung adalah maraknya korupsi akibat Pilkada langsung yang mengatasnamakan suara rakyat harus terjaga dari bahaya laten politik-uang. Serta kecerdikan dalam memilah dan memilih teori demokrasi yang irrasional dengan memperlihatkan keunggulan pengetahuan teoritis. Tak lain dan tak bukan adalah nalar berfikir yang dibangun oleh anggota DPR yang sepakat melalui DPRD, dan apabila pengetahuan dan keputusan sudah ditetapkan dalam bentuk komitmen maka yang terjadi adalah dogmatisme kebenaran dalam berdemokrasi.
            Tak berbeda dengan anggota DPR yang sepakat Pilkada tidak langsung yang memiliki landasan pengetahuan dan pengambilan keputusan yang irrasional. Presiden SBY seirama dengan anggota DPR yang sepakat Pilkada tidak langsung dalam menatap masa depan demokrasi kita, melainkan SBY lebih moderat dalam mengambil keputusan yaitu mengupayakan untuk menerbitkan Perppu. Tetapi sikap SBY tidak bisa dilepaskan dari partai pengusungnya begitu saja yaitu partai demokrat. Karena ia selain kepala negara dan kepala pemerintah juga ketua umum partai, yang mana kita ketahui bahwa partai demokrat dalam pembahasan RUU Pilkada walk-out dengan alasan kepentingan rakyat dikarenakan usulan bersyaratnya tidak diterima oleh anggota DPR yang lain. Perlu diketahui juga bahwa keluarnya anggota DPR dalam penentuan nasib demokrasi Indonesia adalah pengkhianatan suara rakyat. Melanjutkan landasan pengetahuan dan pengambilan keputusan presiden SBY yang seirama dengan anggota DPR yang sepakat Pilkada tidak langsung, sesungguhnya presiden SBY mengacu pada landasan berfikir empirisme klasik, yang mana lebih menekankan keunggulan observasi, persepsi indera, dan keunggulan fakta. Dapat kita tengok melalui spekulasi politik yang dilakukan oleh SBY sebagai komando negara dan komando partai. Kalkulasi politik yang ia mainkan dalam parlemen dan analisa politik-hukum yang ia putuskan dalam roda pemerintahan tak terlepasnya dari landasan pengetahuan yang empirisme klasik tersebut.
            Apabila pengetahuan dan keputusan sudah terkooptasi dengan keputusan fundamental yang mendukung prinsip justifikasi klasik, maka yang akan tercipta adalah fundamentalisme kekuasaan. Pada saat yang sama seluruh klaim tentang kemungkinan salah ditolak lalu mendukung tidak mungkin salah. Setiap orang yang melabelkan sifat tidak mungkin salah kepada sesuatu hal tertentu; akal, intuisi atau pengalaman, kepada kesadaran kepada keinginan atau perasaan; kepada person, kelompok atau kelas person, semacam pejabat negara; akan mengklaim bahwa otoritas ini tidak pernah keliru dalam kaitannya dengan masalah-masalah terkait. Karena sesungguhnya setiap tidak mungkin salah adalah bentuk puncak dari dogmatisme.
Kritisime Kekuasaan
            Dalam pengetahuan dan keputusan mengenai RUU Pilkada yang telah dilaksankan oleh DPR dan akan dilakukan oleh presiden, maka alangkah baiknya untuk kita kritisi, terlebih jika itu berkaitan dengan kekuasaan rakyat. karena pada dasarnya pengetahuan adalah unsur utama dalam masyarakat, atau dengan kata lain meletakkan pengetahuan dalam hubungan dengan masyarakat bangsa. Apalagi dalam persoalan menentukan format struktur ketatanegaraan yang demokratis. Sesungguhnya yang sedang dibicarakan adalah hubungan unsur dengan keseluruhan.
            Korelasinya dalam RUU Pilkada ini adalah pengetahuan yang dibangun oleh anggota DPR dan presiden harus tetap mempertimbangkan rakyat sebagai tuannya dan pejabat sebagai pelayannya dalam hubungan masyarakat bangsa. Oleh sebab itu makna pengetahuan tidak saja demi urusan penguasaan, tetapi terutama dalam hubungan dengan masyarakat kita adalah demi upaya meringankan beban, demi sebuah pembebasan. Maka keputusan yang diambil pun akan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya nyanyian-nyanyian pseudo-populis yang nir pemaknaan.
            Jika pengetahuan dan keputusan tujuan utamanya adalah demi meringankan beban dan kesengsaraan masyarakat, kaidah moral dan etik mana yang harus ditilik ulang atas nama etos berpengetahuan. Jika pengetahuan dan keputusan RUU Pilkada akhirnya melalui DPRD atau tidak langsung, apakah tujuan untuk membentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat tercapai? Dan apakah kaidah moral dan etik keputusan RUU Pilkada melalui DPRD atau tidak langsung sesuai dengan etos berpengetahuan? Pada akhirnya ketika kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka kita akan melampaui dogmatisme yang terbingkai dalam fundamentalisme kekuasaan. Mungkin begitu.
*Penulis adalah pembaca buku dan pegiat diskusi kebangsaan
Dan bergiat di Langgar Pena, Pabelan Kartasura Sukoharjo

1 komentar: