Minggu, 12 Oktober 2014

Surat Untuk Wakil Rakyat Solo



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
“Di hati dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar,  lalu sampaikan, jangan ragu-jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam”
(Surat Untuk Wakil Rakyat: Iwan Fals)
          Penggalan lagu Iwan Fals diatas yang berjudul surat untuk wakil rakyat mengingatkan kita pada gaya hidup dan perilaku wakil rakyat kita hari ini. Bagaimana tidak teringat coba? Sampai tulisan ini dibuat berita miring mengenai wakil rakyat sedang bermunculan di media massa.  Tak terkecuali berita tentang DPRD kota Solo yang menyelenggarakan orientasi tugas-tugas DPRD dengan menghabiskan dana Rp 4,5 juta/orang (Solopos, edisi 22/09/2014). Dan berita lain yang terkait yaitu wakil rakyat di daerah yang menggadaikan SK (Kompas, edisi 22/09/2014).  Hal ini sungguh ironis bukan, diawal masa kerjanya saja sudah terdapat berita-berita yang tidak menyenangkan hati rakyat. Bagaimana dengan pengabdiannya satu periode kedepan dalam mewakili suara-suara rakyat. Maka surat ini saya buat dengan niatan untuk mengingatkan wakil rakyat yang sedang lalai.
            Kilas balik sejarah wakil rakyat di Indonesia, maka kita akan mengetahui yang namanya volksraad. Kumpulan wakil rakyat abad XX ini yang sebagian anggotanya diangkat oleh pemerintahan kolonial Belanda banyak dikecam oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Semaoen dan Sosrrokondo. Karena menghasilkan produk peraturan yang anti perbaikan nasib rakyat. Semisal terkait dengan kebijakan anggota volksraad yang menolak pengurangan areal tebu. Maka tak heran jika Sosrokondo, seorang tokoh pergerakan nasional begitu kecewa dan menyatakan bahwa volksraad bukannya “menjadi” raad-nya rakyat (volks), melainkan raad-nya gula (suiker), suiker raad.
            Disebutkan selanjutnya dalam buku yang berjudul Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 (1999) karya Soe Hok Gie. beliau menyajikan uraian analisis Semaoen terhadap 19 anggota volksraad yang hampir rata-rata musuh kaum Kromo. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa wakil rakyat zaman dulu dan sekarang tidak ada bedanya sama sekali. Keprihatinan ini ditambah pula dengan gaya hidup dan perilaku kalap-rente wakil rakyat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pengemban suara rakyat. Hal ini bisa dibuktikan dengan latar belakang wakil rakyat pada zaman dulu sebagai saudagar kapitalis dan ningrat etisi.
            Dalam buku yang sama kritik Semaoen yang terakhir terhadap volksraad adalah supaya wakil rakyat sesungguhnya tidak perlu membuang waktu. Hal ini bisa kita lihat dari kegiatan orientasi yang dilakukan oleh anggota dewan kota Solo yang sangat mewah selama 4 hari berturut-turut di villa, daerah Tawangmangu Karanganyar. Kritik Semaoen diatas kiranya masih relevan untuk menyoalkan kegiatan orientasi DPRD Solo periode ini. Ironis memang, disaat persoalan rakyat semakin kompleks; dimana rakyat sudah hampir tidak percaya lagi dengan fungsi dan peran partai politik dan politikusnya, kini justru alokasi dana dan alokasi waktu ia gunakan untuk kegiatan rutin yang banyak dikecam oleh rakyat sendiri.
Perilaku Birokratis Wakil Rakyat
            Perilaku birokratis adalah perilaku birokrat dalam melaksanakan kebijaksanaan. Dalam kajian perilaku birokratis, terdapat perbedaan fokus kajian antara perilaku birokratis klasik dan neoklasik. Perilaku birokratis klasik lebih terfokus pada analisis dampak birokrasi sebagai suatu organisasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Birokrasi sendiri  cenderung dilihat berdasarkan fungsi formalnya sebagai perangkat pelaksana administrasi negara.
            Sedangkan perilaku birokratis neoklasik lebih memusatkan perhatian pada perilaku individu-individu yang berada dalam birokrasi itu sendiri. Menurut William A. Niskanen birokrat layaknya pebisnis, dimana letak bedanya kalau pebisnis atau pengusaha pada umumnya berjuang memaksimumkan laba ekonomi, sedangkan birokrat berusaha memenuhi kepentingan diri atau kelompoknya sendiri dengan cara memaksimumkan “seperangkat variabel” seperti gaji, kekuasaan, prestise, peluang sesudah pensiun, dan sebagainya.
            Kemudian bila kita bandingkan dengan wakil rakyat zaman dulu dan sekarang melalui kacamata perilaku birokratis. Maka kita akan menemukan bahwa wakil rakyat abad XX berperilaku birokratis klasik yang mana bisa kita lihat melalui kecaman-kecaman yang dilontarkan oleh Sosrokondo dan Semaoen, yaitu volksraad yang tidak memihak terhadap kepentingan rakyat, walau dalam membedah itu dua tokoh pergerakan nasional tersebut juga tidak meninggalkan sikap dan orientasi politik wakil rakyat tersebut. Contoh: Semaoen yang menganalisis sikap politik H.O.S Tjokroaminoto yang menjadi wakil rakyat pada saat itu sebagai wakil kaum Kromo dan seorang diplomat.
            Sedangkan kalau kita melihat wakil rakyat abad XXI ini, maka kita akan menemukan pola perilaku birokratis neoklasik, yang mana banyak dari anggota DPRD menggadaikan SK-nya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Entah itu untuk membayar utang kampanye maupun membiayai sekolah anak dan kebutuhan hidup sehari-hari. Atau sekedar mengikuti orientasi tugas-tugas DPRD yang tiap orang mendapatkan Rp 4,5 juta dengan mendapatkan fasilitas penginapan, makan-minum, alat tulis kantor dan pembicara yang bersertifikat dengan menggunakan dalih untuk kepentingan rakyat. Semua itu kembali lagi bahwa wakil rakyat kita hari ini ibarat pengusaha yang memaksimumkan laba ekonomi, bedanya wakil rakyat kita hari ini lebih memaksimumkan gaji, kekuasaan, prestise dan peluang sesudah pensiun yang sudah difasilitasi oleh pemerintah.
            Terakhir, suara tak selamanya wakil yang setia dari kenyataan. Suara tak selamanya dilahirkan lewat suara, melainkan bisa lewat pelbagai perilaku. Seperti diungkapkan Semaoen dan Sosrokondo diatas untuk zaman kolonial dan kita untuk zaman kita, suara arus bawah juga tampil dalam pelbagai bentuk. Jumlah suara tanpa suara dan suara yang tak mewakili menjadi berlipat ganda dalam sistem pemerintahan anarkis. Adalah tugas kita menerjemahkan yang pertama, dan meluruskan yang kedua. Mungkin begitu.

*Penulis adalah Pegiat Diskusi Pena
Dan Mahasiswa UMS
           
           
           

           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar