Oleh: Adhitya Yoga
Pratama*
“Di hati dan lidahmu
kami berharap, suara kami tolong dengar,
lalu sampaikan, jangan ragu-jangan takut karang menghadang, bicaralah
yang lantang jangan hanya diam”
(Surat Untuk Wakil
Rakyat: Iwan Fals)
Penggalan lagu
Iwan Fals diatas yang berjudul surat untuk wakil rakyat mengingatkan kita pada
gaya hidup dan perilaku wakil rakyat kita hari ini. Bagaimana tidak teringat
coba? Sampai tulisan ini dibuat berita miring mengenai wakil rakyat sedang
bermunculan di media massa. Tak
terkecuali berita tentang DPRD kota Solo yang menyelenggarakan orientasi
tugas-tugas DPRD dengan menghabiskan dana Rp 4,5 juta/orang (Solopos, edisi 22/09/2014). Dan berita
lain yang terkait yaitu wakil rakyat di daerah yang menggadaikan SK (Kompas, edisi 22/09/2014). Hal ini sungguh ironis bukan, diawal masa
kerjanya saja sudah terdapat berita-berita yang tidak menyenangkan hati rakyat.
Bagaimana dengan pengabdiannya satu periode kedepan dalam mewakili suara-suara
rakyat. Maka surat ini saya buat dengan niatan untuk mengingatkan wakil rakyat
yang sedang lalai.
Kilas balik sejarah wakil rakyat di
Indonesia, maka kita akan mengetahui yang namanya volksraad. Kumpulan wakil
rakyat abad XX ini yang sebagian anggotanya diangkat oleh pemerintahan kolonial
Belanda banyak dikecam oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Semaoen dan
Sosrrokondo. Karena menghasilkan produk peraturan yang anti perbaikan nasib
rakyat. Semisal terkait dengan kebijakan anggota volksraad yang menolak pengurangan areal tebu. Maka tak heran jika
Sosrokondo, seorang tokoh pergerakan nasional begitu kecewa dan menyatakan
bahwa volksraad bukannya “menjadi” raad-nya rakyat (volks), melainkan raad-nya gula (suiker), suiker raad.
Disebutkan selanjutnya dalam buku
yang berjudul Di Bawah Lentera Merah:
Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 (1999) karya Soe Hok Gie. beliau
menyajikan uraian analisis Semaoen terhadap 19 anggota volksraad yang hampir rata-rata musuh kaum Kromo. Hal ini
membuktikan dengan jelas bahwa wakil rakyat zaman dulu dan sekarang tidak ada
bedanya sama sekali. Keprihatinan ini ditambah pula dengan gaya hidup dan
perilaku kalap-rente wakil rakyat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai
pengemban suara rakyat. Hal ini bisa dibuktikan dengan latar belakang wakil
rakyat pada zaman dulu sebagai saudagar kapitalis dan ningrat etisi.
Dalam buku yang sama kritik Semaoen
yang terakhir terhadap volksraad
adalah supaya wakil rakyat sesungguhnya tidak perlu membuang waktu. Hal ini
bisa kita lihat dari kegiatan orientasi yang dilakukan oleh anggota dewan kota
Solo yang sangat mewah selama 4 hari berturut-turut di villa, daerah
Tawangmangu Karanganyar. Kritik Semaoen diatas kiranya masih relevan untuk
menyoalkan kegiatan orientasi DPRD Solo periode ini. Ironis memang, disaat
persoalan rakyat semakin kompleks; dimana rakyat sudah hampir tidak percaya
lagi dengan fungsi dan peran partai politik dan politikusnya, kini justru
alokasi dana dan alokasi waktu ia gunakan untuk kegiatan rutin yang banyak
dikecam oleh rakyat sendiri.
Perilaku Birokratis
Wakil Rakyat
Perilaku birokratis adalah perilaku
birokrat dalam melaksanakan kebijaksanaan. Dalam kajian perilaku birokratis,
terdapat perbedaan fokus kajian antara perilaku birokratis klasik dan
neoklasik. Perilaku birokratis klasik lebih terfokus pada analisis dampak
birokrasi sebagai suatu organisasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik masyarakat. Birokrasi sendiri
cenderung dilihat berdasarkan fungsi formalnya sebagai perangkat
pelaksana administrasi negara.
Sedangkan perilaku birokratis
neoklasik lebih memusatkan perhatian pada perilaku individu-individu yang
berada dalam birokrasi itu sendiri. Menurut William A. Niskanen birokrat
layaknya pebisnis, dimana letak bedanya kalau pebisnis atau pengusaha pada
umumnya berjuang memaksimumkan laba ekonomi, sedangkan birokrat berusaha
memenuhi kepentingan diri atau kelompoknya sendiri dengan cara memaksimumkan
“seperangkat variabel” seperti gaji, kekuasaan, prestise, peluang sesudah
pensiun, dan sebagainya.
Kemudian bila kita bandingkan dengan
wakil rakyat zaman dulu dan sekarang melalui kacamata perilaku birokratis. Maka
kita akan menemukan bahwa wakil rakyat abad XX berperilaku birokratis klasik
yang mana bisa kita lihat melalui kecaman-kecaman yang dilontarkan oleh
Sosrokondo dan Semaoen, yaitu volksraad
yang tidak memihak terhadap kepentingan rakyat, walau dalam membedah itu dua
tokoh pergerakan nasional tersebut juga tidak meninggalkan sikap dan orientasi
politik wakil rakyat tersebut. Contoh: Semaoen yang menganalisis sikap politik H.O.S
Tjokroaminoto yang menjadi wakil rakyat pada saat itu sebagai wakil kaum Kromo
dan seorang diplomat.
Sedangkan kalau kita melihat wakil
rakyat abad XXI ini, maka kita akan menemukan pola perilaku birokratis
neoklasik, yang mana banyak dari anggota DPRD menggadaikan SK-nya untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya. Entah itu untuk membayar utang kampanye
maupun membiayai sekolah anak dan kebutuhan hidup sehari-hari. Atau sekedar
mengikuti orientasi tugas-tugas DPRD yang tiap orang mendapatkan Rp 4,5 juta
dengan mendapatkan fasilitas penginapan, makan-minum, alat tulis kantor dan
pembicara yang bersertifikat dengan menggunakan dalih untuk kepentingan rakyat.
Semua itu kembali lagi bahwa wakil rakyat kita hari ini ibarat pengusaha yang
memaksimumkan laba ekonomi, bedanya wakil rakyat kita hari ini lebih
memaksimumkan gaji, kekuasaan, prestise dan peluang sesudah pensiun yang sudah
difasilitasi oleh pemerintah.
Terakhir, suara tak selamanya wakil
yang setia dari kenyataan. Suara tak selamanya dilahirkan lewat suara,
melainkan bisa lewat pelbagai perilaku. Seperti diungkapkan Semaoen dan
Sosrokondo diatas untuk zaman kolonial dan kita untuk zaman kita, suara arus
bawah juga tampil dalam pelbagai bentuk. Jumlah suara tanpa suara dan suara
yang tak mewakili menjadi berlipat ganda dalam sistem pemerintahan anarkis.
Adalah tugas kita menerjemahkan yang pertama, dan meluruskan yang kedua. Mungkin
begitu.
*Penulis adalah Pegiat
Diskusi Pena
Dan Mahasiswa UMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar