Jumat, 05 September 2014

Filsafat Mencari Jawaban Kebenaran



(Tanggapan Terhadap Saudara Udji Kayang Aditya Supriyanto)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Ada yang menarik yang perlu digarisbawahi dari opini saudara Udji Kayang Aditya Supriyanto (05/08/14) yang sekiranya dapat menimbulkan perdebatan panjang yang tak kunjung usai dari segala permasalahan yang ada di negeri ini. Yakni pernyataan bahwa bila seseorang terang-terangan mendukung kubu politik tertentu, banyak ruang dalam argumen yang termakan habis buat memuja dan memuji sosok ideal pilihannya. Namun, bila seseorang tak membela siapapun, atau dalam istilah yang jadi polemik dewasa ini disebut “netral”, ia punya cukup ruang buat kebenaran.
            Padahal ada yang mencolok untuk dikaji secara mendasar tentang perdebatan dan kebenaran. Hal yang mencolok tersebut adalah hampir semua filsuf besar di Barat sangat berminat akan politik. Dari Herakleitos yang menyebutkan perang sebagai bapak dari segala-galanya sampai Andre Glucksman yang mendukung penempatan roket pershing II di Republik Federal Jerman, kebanyakan mereka mengambil sikap-sikap yang secara politis relevan.
            Bahkan karya kecil Thomas Aquinas “De Regimine Principum” termasuk salah satu uraian etika politik yang paling tajam yang sampai hari ini ditulis; diskusinya apakah seorang penguasa yang menyalahgunakan kedudukannya demi kepentingan sendiri boleh dibunuh langsung oleh rakyatnya atau harus dicopot dari kedudukannya dan diadili, 700 tahun kemudian masih menjadi bahan pertimbangan bagi dari beberapa mereka yang akan mencoba untuk membunuh Adolf Hitler pada tanggal 20 Juli 1944. (Frans Magnis Suseno; Filsafat Sebagai Ilmu Kritis: 1992).
            Lantas, apa yang menjadi keresahan saudara Udji dalam melihat perdebatan pemilihan presiden (Pilpres) 2014, sehingga pada akhirnya beliau skeptis juga terhadap kebenaran yang tersampaikan dengan menggunakan dalil-dalil samawi. Sampai pada kesimpulan sementara beliau mengusulkan tradisi eksistensialisme Sartre sebagai proses pencarian kebenaran yang nir-dogmatisme (keakuan) dalam melihat kondisi politik Indonesia. Dan menyarankan kepada pembaca yang tepat adalah mungkin tidak secara terang-terangan menunjukkan politik keberpihakan yang di miliki oleh seorang intelektual dengan diwujudkan dalam sikap politiknya yang diam.
            Sebagai orang yang sama-sama resah dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Terlebih akhir-akhir ini penyebaran paham Islamic States of Irac and Syria (ISIS) marak sekali di  pelosok wilayah Nusantara, Solo dan sekitarnya terutama yang menjadi wilayah yang patut diawasi oleh aparat keamanan, yang pada akhirnya pemerintah kebakaran jenggot melarang ajaran ISIS beredar, dengan menggunakan kredo kebenaran Pancasila dan UUD 1945 dan usaha untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pemerintah menambah daftar panjang yang liku dalam mencari kebenaran hakiki dengan mengedepankan kesadaran palsu.
            Tidak selayaknya saudara Udji menyarankan pembatasan pilihan pada kebenaran yang diwujudkan dalam politik keberpihakan dari intelektual, filsuf, ilmuwan maupun rakyat sekalipun. Justru yang terjadi jika tidak secara terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada kebenaran, maka yang datang adalah sang tiran yang membersihkan puing-puing itu, dan dimana sebelumnya ada banyak rumah kecil, di situ tiran itu mendirikan sebuah penjara yang besar.
            Konteks Pilpres 2014, banyak orang yang berpihak pada salah satu pasangan Capres-Cawapres yang mengusung visi kerakyatan. Tak menutup kemungkinan bagi mereka yang memilih pasangan Capres-Cawapres tersebut untuk menjaga ruang-ruang publik kerakyatan tetap terjaga daripada datang seorang tiran yang curang dan kejam. Justru kelak membelenggu hak-hak kebebasan berpolitik warga negaranya.
            Yang perlu menjadi titik tekan adalah bukan pada saat salah satu pasangan Capres-Cawapres menang dan ditetapkan sebagai presiden RI ke-7. Kebenaran itu terungkap dan perdebatan usai. Melainkan hal tersebut untuk menjadi landasan pencarian kebenaran yang selanjutnya, karena pada hakikatnya kebenaran itu menyingkap tabir penindasan dan penjajahan antar manusia. Oleh sebab itu kebenaran yang dogmatisme layaknya selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi dalam pakaian yang alim. Segera menjadi agenda filsafat dalam membedah kesadaran palsu yang menyebarkan kebohongan, karena filsafat secara hakiki adalah ilmu kritis.

Filsafat Mencari Jawaban
            Politik keberpihakan intelektual, ilmuwan, filsuf yang diungkapkan melalui sikap politik masing-masing dengan menggunakan kredo kebenaran yang berbeda-beda, kemudian di debatkan dalam ranah kasus (Pilpres) bukan tanpa sebab. Semua memiliki dasar yang meyakinkan pada kebenaran. Maka dari itu filsafat masuk dalam ranah ini untuk menyingkap pertautan antara kepentingan dan pengetahuan yang dimiliki oleh masing-masing agent of change tersebut. Karena pada dasarnya filsafat menuntut cara berfikir yang mendasar, menyeluruh dan spekulatif.
            Usaha filsafat dalam mencari jawaban kebenaran mempunyai dua arah yaitu filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak memadai. Dan filsafat harus ikut mencari jawaban yang benar. Sebagai alat bukan tujuan yang berusaha mencari kebenaran, filsafat perlu di tegaskan berhadapan dengan kondisi faktual, agar dalam melakukan perenungan menyentuh kontekstualisasi masalah yang terjadi. Yang mana seakan-akan tugas filsafat menanyakan pertanyaan yang ragu. Melainkan tugas filsafat juga memberikan jawaban.
            Dan usaha filsafat ini yang menjadi landasan entah bagi seorang filsuf, ilmuwan, intelektual maupun rakyat sekalipun dalam melihat fenomena Pilpres 2014. Sehingga dalam perdebatan dapat memposisikan peranan yang tepat dalam politik keberpihakan yang tepat untuk mencari jawaban kebenaran.
            Pilpres telah usai, perdebatan baru mulai bermunculan, masalah baru mulai bertebaran, kondisi sudah berubah begitu dinamis, kebutuhan pada kehidupan banyak pilihannya. Yang jelas kehidupan modern bahkan postmodern sudah menanti peran kita dalam mencari jawaban kebenaran dari balik kesadaran palsu dan kebohongan yang di pelihara. Yang harus membedakan jawaban-jawaban filsafat dari jawaban-jawaban spontan ialah bahwa jawaban itu harus dapat di pertanggungjwabakan secara rasional.
            Pertanggungjawaban rasional pada pilihan Pilpres 2014 adalah ikut mengawal dan berpartisipasi aktif setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan baru. Agar kebenaran yang hakiki tanpa kebohongan dapat terungkap dengan baik. Dan untuk menanyakan siapa yang sebenarnya paling benar? Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS
Pendidikan Kewarganegaraan
Dan Kabid Hikmah IMM Cabang Kota Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar