Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Apa
arti teori atau ilmu jika tidak dihadapkan pada realita? Ya, kebanyakan pasti
akan menjawab teori atau ilmu tersebut akan melegitimasi eksploitasi,
kebodohan, keterbelakangan, kerakusan, dan keterpinggiran. Maka tak heran jika
si manusia yang bergulat dengan teori dan ilmu sering terjebak pada paradigma
berfikir yang dangkal dan semu yang melanggengkan penindasan.
Teori
yang cocok dengan realita dibangun dari realita yang sesungguhnya, dari
praktik. Setelah itu tercapai, maka “teori yang cocok dengan realita” kita
jadikan pemandu praktik atau aksi. Dengan kata lain, segala macam praktik dan
aksi kita susun kembali secara strategis.
Ada
prioritas, ada kunci memulai, ada kait chain
reaction-nya dengan kerangka “teori yang cocok dengan realita”. Dengan kata
lain, setelah orang meninggalkan sarang kotak teori dan ilmu masing-masing,
bukan sekedar teori atau ilmu itu yang membutuhkan di susun kembali, tetapi
juga aksi dan praktiknya.
Maka
tema dari pelantikan IMM cabang kota Solo periode ini adalah Rekonstruksi
Teori, Restrukturisasi Aksi IMM untuk Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Indonesia.
Dalam
ilmu gerakan sosial, dari L’action
Populaire, Perancis pada perputaran abad-19 ke abad-20, disebutlah sebagai
proses aksi-refleksi-aksi, dan seterusnya. Dalam teologi pembebasan disebut
lingkaran hermeunitika dari aksi-refleksi-aksi-refleksi-aksi, dan seterusnya.
Aksi perlu di kritisi dengan teori, sebaliknya teori di kritisi dengan aksi dan
seterusnya.
Istilah
serupa dirumuskan oleh Thomas S. Kuhn (1990 dalam edisi 2000:104) sebagai
“berada dalam dunia” (being-in-the-world),
maksudnya “didunia senyatanya” (real
world) secara berseberangan dengan “dunia jadi-jadian” (invented world).
Jadi
perjalanan menakar kebenaran dari teori atau ilmu di mulai dari usaha
membongkar “dunia palsu” (deechantment of
the world) yang kemudian diikuti dengan usaha membangun “dunia bermakna
bagi manusia” (reechantment of the world).
Tugas
ini tidak mudah, namun bukan mustahil. Para cendekia dapat mulai dengan
menyelenggarakan aneka ragam fora saling belajar antara mereka yang datang dari
latar belakang pandangan dan wilayah berbeda, yang harus pula memperhitungkan
keterwakilan gender, ras, klas sosial-ekonomi, dan budaya kebahasaan
(Gulbenkian Commission 1996:77).
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang merupakan bagian dari gerakan eksternal
mahasiswa Islam Indonesia adalah salah satu organisasi pelopor, penggerak dan
pengubah perubahan masyarakat yang ada disekitarnya. Selain daripada itu IMM
yang bagian dari kampus dan pergolakan pemikiran, yang mana kampus adalah
ladangnya ideologi. IMM diharuskan mampu memahami posisi, peranan dan fungsi
serta tujuan organisasi dalam mengawal teori dan aksi yang berkepihakan kepada wong cilik.
Maka
dari itu IMM mencoba mengawali gerakan sosial yang berlandaskan teori dan
praktik ini, guna kebangkitan gerakan mahasiswa Indonesia. Walau sebenarnya IMM
sudah mempunyai landasan kuat baik secara filosofis-ideologis maupun kritis-politis
untuk membangkitkan gerakan mahasiswa Indonesia. Seperti misalnya landasan
filosofis-ideologis IMM yaitu Trilogi IMM yang biasa disebutkan yaitu
intelektualitas, religiusitas dan humanitas, dimana dari trilogi tersebut yang
sifatnya seimbang dan selalu membentuk lingkaran yang mengolah hubungan
dialogal antara aksi dan refleksi dalam proses perkaderan dan pergerakan IMM.
Tetapi
lagi-lagi kalau tidak menjadi prioritas, tidak ada yang memulai, dan tidak ada
kaitnya dengan chain reaction-nya terhadap kerangka “teori yang cocok dengan
realita”. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa akan tetap tertidur pulas
menggeluti aktivitas-aktivitas akademis belaka yang nir-aksi politik
keberpihakan mahasiswa. Demikian.
*Penulis adalah manusia yang sedang krisis imannya
terimakasih infonya, kunjungi http://bit.ly/2RgBUQM
BalasHapus