Jumat, 05 September 2014

Rekonstruksi Teori, Restrukturisasi Aksi IMM untuk Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Indonesia



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Apa arti teori atau ilmu jika tidak dihadapkan pada realita? Ya, kebanyakan pasti akan menjawab teori atau ilmu tersebut akan melegitimasi eksploitasi, kebodohan, keterbelakangan, kerakusan, dan keterpinggiran. Maka tak heran jika si manusia yang bergulat dengan teori dan ilmu sering terjebak pada paradigma berfikir yang dangkal dan semu yang melanggengkan penindasan.
Teori yang cocok dengan realita dibangun dari realita yang sesungguhnya, dari praktik. Setelah itu tercapai, maka “teori yang cocok dengan realita” kita jadikan pemandu praktik atau aksi. Dengan kata lain, segala macam praktik dan aksi kita susun kembali secara strategis. 
Ada prioritas, ada kunci memulai, ada kait chain reaction-nya dengan kerangka “teori yang cocok dengan realita”. Dengan kata lain, setelah orang meninggalkan sarang kotak teori dan ilmu masing-masing, bukan sekedar teori atau ilmu itu yang membutuhkan di susun kembali, tetapi juga aksi dan praktiknya.
Maka tema dari pelantikan IMM cabang kota Solo periode ini adalah Rekonstruksi Teori, Restrukturisasi Aksi IMM untuk Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Indonesia.
Dalam ilmu gerakan sosial, dari L’action Populaire, Perancis pada perputaran abad-19 ke abad-20, disebutlah sebagai proses aksi-refleksi-aksi, dan seterusnya. Dalam teologi pembebasan disebut lingkaran hermeunitika dari aksi-refleksi-aksi-refleksi-aksi, dan seterusnya. Aksi perlu di kritisi dengan teori, sebaliknya teori di kritisi dengan aksi dan seterusnya.
Istilah serupa dirumuskan oleh Thomas S. Kuhn (1990 dalam edisi 2000:104) sebagai “berada dalam dunia” (being-in-the-world), maksudnya “didunia senyatanya” (real world) secara berseberangan dengan “dunia jadi-jadian” (invented world).
Jadi perjalanan menakar kebenaran dari teori atau ilmu di mulai dari usaha membongkar “dunia palsu” (deechantment of the world) yang kemudian diikuti dengan usaha membangun “dunia bermakna bagi manusia” (reechantment of the world).
Tugas ini tidak mudah, namun bukan mustahil. Para cendekia dapat mulai dengan menyelenggarakan aneka ragam fora saling belajar antara mereka yang datang dari latar belakang pandangan dan wilayah berbeda, yang harus pula memperhitungkan keterwakilan gender, ras, klas sosial-ekonomi, dan budaya kebahasaan (Gulbenkian Commission 1996:77).
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang merupakan bagian dari gerakan eksternal mahasiswa Islam Indonesia adalah salah satu organisasi pelopor, penggerak dan pengubah perubahan masyarakat yang ada disekitarnya. Selain daripada itu IMM yang bagian dari kampus dan pergolakan pemikiran, yang mana kampus adalah ladangnya ideologi. IMM diharuskan mampu memahami posisi, peranan dan fungsi serta tujuan organisasi dalam mengawal teori dan aksi yang berkepihakan kepada wong cilik.
Maka dari itu IMM mencoba mengawali gerakan sosial yang berlandaskan teori dan praktik ini, guna kebangkitan gerakan mahasiswa Indonesia. Walau sebenarnya IMM sudah mempunyai landasan kuat baik secara filosofis-ideologis maupun kritis-politis untuk membangkitkan gerakan mahasiswa Indonesia. Seperti misalnya landasan filosofis-ideologis IMM yaitu Trilogi IMM yang biasa disebutkan yaitu intelektualitas, religiusitas dan humanitas, dimana dari trilogi tersebut yang sifatnya seimbang dan selalu membentuk lingkaran yang mengolah hubungan dialogal antara aksi dan refleksi dalam proses perkaderan dan pergerakan IMM.
Tetapi lagi-lagi kalau tidak menjadi prioritas, tidak ada yang memulai, dan tidak ada kaitnya dengan chain reaction-nya terhadap kerangka “teori yang cocok dengan realita”. Dengan kata lain, gerakan mahasiswa akan tetap tertidur pulas menggeluti aktivitas-aktivitas akademis belaka yang nir-aksi politik keberpihakan mahasiswa. Demikian.
*Penulis adalah manusia yang sedang krisis imannya

1 komentar: