(Tanggapan Terhadap Saudara M. Samsul Arifin)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Modal
tidak mengenal bendera (capital cariers
no flag) negara dan tidak mengenal ideologi. Di bidang perdagangan,
melahirkan saling ketergantungan yang makin erat sehingga mengarah pada
integrasi ekonomi dunia. Inilah sekiranya gambaran umum globalisasi ekonomi
yang terbungkus rapi dalam bentuk liberalisasi, kapitalisasi dan
neoliberalisasi di bidang ekonomi.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
yang di buat dalam Deklarasi Concord II di Bali, Indonesia, pada tanggal 7
Oktober 2003; pada KTT Asean ke-12 pada bulan Januari 2007, para pemimpin
negara-negara ASEAN menegaskan komitmen kuat mereka untuk mempercepat komunitas
ASEAN pada tahun 2015.
Hal
ini menyisakan tanda tanya besar sampai sekarang bagi para pakar dan pemerhati
ekonomi, politik, ekologi, dan soial budaya dalam menyikapi komunitas ASEAN
secara kritis. Terlebih untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia,
dimana Indonesia merupakan salah satu anggota komunitas tersebut. Secara umum
pertanyaan mendasar dan mendalam yang mereka lontarkan adalah bagaimana
implikasi ekonomi-politik Indonesia dalam menghadapi MEA, bagaimana dengan
pemimpin baru (Jokowi-JK) dalam mengawal MEA,
dan bagaimana imbasnya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Perlu
di ketahui bahwa MEA
menjadi tujuan dari integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. MEA memiliki karakteristik
utama sebagai berikut: (a) pasar tunggal dan basis produksi tunggal, (b)
kawasan ekonomi yang kompetitif, (c) wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan
(d) wilayah sepenuhnya terintegrasi kedalam ekonomi global.
Untuk
mencapai karakteristik tersebut maka di perlukan ASEAN Conectivity melalui
pembangunan infrastruktur yang menghubungkan antara sumber daya alam industri
dan perdagangan yang akan memudahkan investasi internasional untuk berbisnis di
kawasan ini.
Menurut
saya terkait MEA,
kawasan ASEAN memiliki dua potensi besar dalam perdagangan global, yang mana
perdagangan global mengatur kapital besar dapat secara bebas masuk ke ranah
produksi, distribusi, dan alokasi kawasan MEA.
Meskipun kalau kita lihat kerangka kerja MEA
adalah regionalisme, tetapi dalam praktiknya kelak adalah globalisme. Dua
potensi kawasan ASEAN dalam perdagangan global tersebut yaitu sebagai penyedia
bahan mentah (raw material) dan pasar bagi produksi industri negara maju
termasuk barang-barang yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur itu
sendiri.
Kemudian
saya tidak sepakat pada saudara Samsul, yang menyatakan bahwa kedepan
seharusnya MEA
tidak lagi dipandang dengan perspektif “ancaman” yang akan mematikan
produk-produk lokal di daerah-daerah. MEA
justru harus dipandang sebagai peluang untuk mengenalkan segala potensi
Indonesia dan menjalankan misi perdagangan, pariwisata dan investasi di
lingkungan ASEAN. Bagi saya sendiri justru
kita
harus skeptis terlebih dahulu dengan akan
masuknya
era MEA. Analisa skeptis saya adalah pasar infrastruktur ASEAN
yang sangat besar tampaknya akan menjadi pertarungan negara-negara industri
dalam menyalurkan utang dan produk industri mereka yang berkaitan dengan
pembangunan infrastruktur.
Bagaimana
tidak terancam coba? Suatu yang
diharapkan dapat memacu pertumbuhan, perkembangan dan pemberdayaan di kawasan
ASEAN terutama dan Indonesia khususnya. Sebelum masuk era MEA saja pada tahun
2015, sudah dari potensi pariwisata kepulauan di Indonesia bagian Barat, pulau
Kumbang di kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat di tawarkan untuk di jual
secara daring oleh situs luar negeri www.privateislandonline.com senilai
1.880.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp. 22 Milliar. (Sumber: Kompas, Edisi 27/08/2014.) Sungguh
ironis bukan? Belum lagi nasib perdagangan dan investasi di Indonesia.
Mengacu pada teori dependensia yang dikemukakan oleh
Andre Gunder Frank, dia membuat tiga hipotesa; (1) dalam struktur hubungan
antara negara-negara metropolis maju dengan negara satelit yang terbelakang,
pihak metropolis akan berkembang dengan pesat sedangkan pihak satelit akan
tetap dalam posisi keterbelakangan, (2) negara-negara miskin yang sekarang
menjadi satelit, perekonomiannya dapat berkembang dan mampu mengembangkan
industri yang otonom bila tidak terkait dengan metropolis dari kapitalis dunia,
atau kaitannya sangat lemah, dan (3) kawasan-kawasan yang sekarang sangat
terbelakang dan berada dalam situasi yang mirip dengan situasi dalam sistem
feodal adalah kawasan-kawasan yang pada masa lalu memiliki kaitan yang kuat
dengan metropolis dari sistem kapitalis internasional. Kawasan-kawasan ini
adalah penghasil ekspor bahan mentah primer yang terlantar akibat adanya
hubungan perdagangan internasional.
Hak Dasar
Ekonomi dan Kebebasan Kawasan
Hak dasar ekonomi dan kebebasan ASEAN harus
diterjemahkan sesuai kebutuhan mendesak kawasan mempersiapkan komunitas ekonomi
sebagai proses integral hubungan bertetangga baik tanpa ada intervensi dari
luar kawasan ASEAN. Hak-hak itu mencakup alokasi, produksi, distribusi dan
konsumsi. Karena pada dasarnya masalah ekonomi adalah masalah kelangkaan (scarcity). Hak dasar ekonomi dan
kebebasan kawasan maksudnya adalah negara-negara yang berada dalam kawasan
komunitas berhak mengatur rumah tangga komunitas itu sendiri sesuai dengan
kesepakatan anggota komunitas, hal ini menjamin terjadinya kesinambungan
pembangunan ekonomi kawasan pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Terkait pemimpin baru dalam menghadapi MEA, Jokowi-JK
harus tetap konsisten dengan visi dan misi yang ia bawa pada saat kampanye,
harapannya visi-misi yang ia sampaiakan bukanlah omong kosong belaka melainkan
dapat di realisasikan terutama dalam menghadapi MEA yang akan datang. Visi dan
misi yang ia adopsi dari konsep Trisaktinya Bung Karno bukanlah main-main, yang
mana isinya yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang
ekonomi dan berkepribadian yang berkebudayaan yang kuat. Jokowi-JK jangan
sampai lengah dalam permainan kekuatan-kekuatan raksasa global yang bersembunyi
di balik MEA, karena situasi domestik kita masih rapuh.
Menatap pada MEA, maka kita jangan sampai terjebak
pada mindset yang dangkal. Justru
ketika kita tidak berusaha keluar dari pusaran mindset neoliberalisme, maka yang terjadi adalah kita akan berputar
mengelilingi lingkaran neoliberalisme, yang mana cara pikir kapitalis yang
eksploitatif dan alienatif akan mengakar kuat dalam pola berfikir kita. Oleh
sebab itu keluar dari kerangka berfikir yang kapitalis dengan cara mencari
jalan keluar yang solutif-kritis ekonomi-politik adalah cara terbaik yang
minimum dalam produktivitas ilmu pengetahuan guna menangkal neoliberalisme yang
semakin
menggurita di tanah air ini. Mungkin begitu.
*Penulis adalah Mahasiswa UMS
Ketua Bidang Hikmah
IMM Cabang kota Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar