Jumat, 05 September 2014

Analisis Kritis Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)



(Tanggapan Terhadap Saudara M. Samsul Arifin)
Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Modal tidak mengenal bendera (capital cariers no flag) negara dan tidak mengenal ideologi. Di bidang perdagangan, melahirkan saling ketergantungan yang makin erat sehingga mengarah pada integrasi ekonomi dunia. Inilah sekiranya gambaran umum globalisasi ekonomi yang terbungkus rapi dalam bentuk liberalisasi, kapitalisasi dan neoliberalisasi di bidang ekonomi.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang di buat dalam Deklarasi Concord II di Bali, Indonesia, pada tanggal 7 Oktober 2003; pada KTT Asean ke-12 pada bulan Januari 2007, para pemimpin negara-negara ASEAN menegaskan komitmen kuat mereka untuk mempercepat komunitas ASEAN pada tahun 2015.
Hal ini menyisakan tanda tanya besar sampai sekarang bagi para pakar dan pemerhati ekonomi, politik, ekologi, dan soial budaya dalam menyikapi komunitas ASEAN secara kritis. Terlebih untuk keberlanjutan pembangunan ekonomi Indonesia, dimana Indonesia merupakan salah satu anggota komunitas tersebut. Secara umum pertanyaan mendasar dan mendalam yang mereka lontarkan adalah bagaimana implikasi ekonomi-politik Indonesia dalam menghadapi MEA, bagaimana dengan pemimpin baru (Jokowi-JK) dalam mengawal MEA, dan bagaimana imbasnya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Perlu di ketahui bahwa MEA menjadi tujuan dari integrasi ekonomi regional pada tahun 2015. MEA memiliki karakteristik utama sebagai berikut: (a) pasar tunggal dan basis produksi tunggal, (b) kawasan ekonomi yang kompetitif, (c) wilayah pembangunan ekonomi yang adil, dan (d) wilayah sepenuhnya terintegrasi kedalam ekonomi global.
Untuk mencapai karakteristik tersebut maka di perlukan ASEAN Conectivity melalui pembangunan infrastruktur yang menghubungkan antara sumber daya alam industri dan perdagangan yang akan memudahkan investasi internasional untuk berbisnis di kawasan ini.
Menurut saya terkait MEA, kawasan ASEAN memiliki dua potensi besar dalam perdagangan global, yang mana perdagangan global mengatur kapital besar dapat secara bebas masuk ke ranah produksi, distribusi, dan alokasi kawasan MEA. Meskipun kalau kita lihat kerangka kerja MEA adalah regionalisme, tetapi dalam praktiknya kelak adalah globalisme. Dua potensi kawasan ASEAN dalam perdagangan global tersebut yaitu sebagai penyedia bahan mentah (raw material) dan pasar bagi produksi industri negara maju termasuk barang-barang yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur itu sendiri.
Kemudian saya tidak sepakat pada saudara Samsul, yang menyatakan bahwa kedepan seharusnya MEA tidak lagi dipandang dengan perspektif “ancaman” yang akan mematikan produk-produk lokal di daerah-daerah. MEA justru harus dipandang sebagai peluang untuk mengenalkan segala potensi Indonesia dan menjalankan misi perdagangan, pariwisata dan investasi di lingkungan ASEAN. Bagi saya sendiri justru kita harus skeptis terlebih dahulu dengan akan masuknya era MEA. Analisa skeptis saya adalah pasar infrastruktur ASEAN yang sangat besar tampaknya akan menjadi pertarungan negara-negara industri dalam menyalurkan utang dan produk industri mereka yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur.
Bagaimana tidak terancam coba? Suatu yang diharapkan dapat memacu pertumbuhan, perkembangan dan pemberdayaan di kawasan ASEAN terutama dan Indonesia khususnya. Sebelum masuk era MEA saja pada tahun 2015, sudah dari potensi pariwisata kepulauan di Indonesia bagian Barat, pulau Kumbang di kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat di tawarkan untuk di jual secara daring oleh situs luar negeri www.privateislandonline.com senilai 1.880.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp. 22 Milliar. (Sumber: Kompas, Edisi 27/08/2014.) Sungguh ironis bukan? Belum lagi nasib perdagangan dan investasi di Indonesia.
Mengacu pada teori dependensia yang dikemukakan oleh Andre Gunder Frank, dia membuat tiga hipotesa; (1) dalam struktur hubungan antara negara-negara metropolis maju dengan negara satelit yang terbelakang, pihak metropolis akan berkembang dengan pesat sedangkan pihak satelit akan tetap dalam posisi keterbelakangan, (2) negara-negara miskin yang sekarang menjadi satelit, perekonomiannya dapat berkembang dan mampu mengembangkan industri yang otonom bila tidak terkait dengan metropolis dari kapitalis dunia, atau kaitannya sangat lemah, dan (3) kawasan-kawasan yang sekarang sangat terbelakang dan berada dalam situasi yang mirip dengan situasi dalam sistem feodal adalah kawasan-kawasan yang pada masa lalu memiliki kaitan yang kuat dengan metropolis dari sistem kapitalis internasional. Kawasan-kawasan ini adalah penghasil ekspor bahan mentah primer yang terlantar akibat adanya hubungan perdagangan internasional.

Hak Dasar Ekonomi dan Kebebasan Kawasan
Hak dasar ekonomi dan kebebasan ASEAN harus diterjemahkan sesuai kebutuhan mendesak kawasan mempersiapkan komunitas ekonomi sebagai proses integral hubungan bertetangga baik tanpa ada intervensi dari luar kawasan ASEAN. Hak-hak itu mencakup alokasi, produksi, distribusi dan konsumsi. Karena pada dasarnya masalah ekonomi adalah masalah kelangkaan (scarcity). Hak dasar ekonomi dan kebebasan kawasan maksudnya adalah negara-negara yang berada dalam kawasan komunitas berhak mengatur rumah tangga komunitas itu sendiri sesuai dengan kesepakatan anggota komunitas, hal ini menjamin terjadinya kesinambungan pembangunan ekonomi kawasan pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Terkait pemimpin baru dalam menghadapi MEA, Jokowi-JK harus tetap konsisten dengan visi dan misi yang ia bawa pada saat kampanye, harapannya visi-misi yang ia sampaiakan bukanlah omong kosong belaka melainkan dapat di realisasikan terutama dalam menghadapi MEA yang akan datang. Visi dan misi yang ia adopsi dari konsep Trisaktinya Bung Karno bukanlah main-main, yang mana isinya yaitu berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian yang berkebudayaan yang kuat. Jokowi-JK jangan sampai lengah dalam permainan kekuatan-kekuatan raksasa global yang bersembunyi di balik MEA, karena situasi domestik kita masih rapuh.
Menatap pada MEA, maka kita jangan sampai terjebak pada mindset yang dangkal. Justru ketika kita tidak berusaha keluar dari pusaran mindset neoliberalisme, maka yang terjadi adalah kita akan berputar mengelilingi lingkaran neoliberalisme, yang mana cara pikir kapitalis yang eksploitatif dan alienatif akan mengakar kuat dalam pola berfikir kita. Oleh sebab itu keluar dari kerangka berfikir yang kapitalis dengan cara mencari jalan keluar yang solutif-kritis ekonomi-politik adalah cara terbaik yang minimum dalam produktivitas ilmu pengetahuan guna menangkal neoliberalisme yang semakin menggurita di tanah air ini. Mungkin begitu.

*Penulis adalah Mahasiswa UMS
Ketua Bidang Hikmah
IMM Cabang kota Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar