Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
Judul tulisan ini
sesungguhnya terinspirasi dari artikel yang ditulis oleh R.M Soewardi
Soerjaningrat atau biasa dikenal Ki Hadjar Dewantara yang berjudul seandainya
saya orang Belanda. Dalam tulisannya tersebut Ki Hadjar Dewantara mengandaikan
dirinya sebagai seorang Belanda yang berkulit putih dan berjiwa patriotisme.
Tetapi dibalik pengandaiannya ia menjadi seorang Belanda, ia akan mengecam
segala bentuk perayaan hari kemerdekaan kerajaan Belanda yang diselenggarakan
di negeri terjajah, dan akan menolak segala bentuk penarikan sumbangan dana dari rakyat terjajah, serta akan memberikan
kemerdekaan bagi bangsa yang terjajah untuk dapat merayakan hari kemerdekaannya
sendiri.
Ketika menilik
peristiwa politik akhir-akhir ini yang memperlihatkan perilaku dan gelagat
anggota DPR, yang mana dalam setiap pengambilan keputusan di parlemen selalu
diiringi dengan senda-gurau dan canda-tawa tanpa cermat-hikmat dalam
kebijaksanaan. Serta dalam setiap proses pengambilan keputusan yang selalu
mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi dalam setiap pengambilan keputusan
tidak sekali-sekali memihak kepada rakyat, bisa kita ambil contoh saat
pembahasan RUU Pilkada. Hal ini membuktikan bahwa wakil rakyat kita hari ini
layaknya badut-badut politik yang memainkan lelucon-lelucon politik untuk
sebatas menggembirakan hati rakyat sesaat.
Belum selesai pada
tataran sikap politik anggota DPR yang kurang bisa diteladani, nir sikap kenegarawanan, kini kita dikagetkan dengan orientasi politik anggota DPR yang
pragmatis. Orientasi politik anggota DPR yang terkesan pragmatis itu
ditunjukkan dengan permintaan fasilitas sarana dan prasarana ini dan itu, guna
menunjang kinerjanya. Seperti yang bisa kita lihat dari DPR (daerah) yang
meminta tablet dan menggandaikan SK untuk membayar utang-utangnya selama
kampanye. Ironis bukan, disaat rakyat kesusah-payahan mengais rezeki dengan
ketidakpastian kondisi ekonomi negara, anggota DPR justru asyik mencari celah
untuk menghabiskan anggaran negara untuk
kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Sesuai
dengan perilaku birokratis yang diungkapkan oleh William A. Niskanen, birokrat
(baca: anggota DPR) layaknya
pebisnis, dimana letak bedanya kalau pebisnis atau pengusaha pada umumnya
berjuang memaksimumkan laba ekonomi, sedangkan birokrat berusaha memenuhi
kepentingan diri atau kelompoknya sendiri dengan cara memaksimumkan
“seperangkat variabel” seperti gaji, kekuasaan, prestise, peluang sesudah
pensiun, dan sebagainya. Walau tak
menutup kemungkinan fakta yang ada dilapangan bahwa hampir sebagian anggota DPR
adalah pengusaha dan jebolan fakultas ekonomi yang mengetahui dan memahami rumus
laba-rugi, tetapi alangkah baiknya ketika sudah mendapatkan mandat dari rakyat
kepentingan-kepentingan yang bersifat individualis dan primordial itu
dikesampingkan dan digantikan oleh kepentingan yang bersifat nasionalis dan
patriotis demi kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa-negara.
Memang,
jika dilihat dari sudut kewajaran dan
menggunakan akal sehat banyak hal yang patut dikecam mengenai tingkah politik
anggota dewan kita hari ini. Karena pada dasarnya anggota dewan adalah wakil
rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat, konsekuensi logisnya jika dipilih
langsung oleh rakyat, maka ia harus membawa kepentingan-kepentingan rakyat
dalam setiap proses legislasi. Tetapi lagi-lagi memang kenyataan tidak sesuai
dengan harapan, dalam proses perumusan undang-undang yang mempertaruhkan hajat
hidup orang banyak, yang mana nantinya akan menentukan arah kehidupan berbangsa
dan bernegara. Anggota DPR kita justru memainkan peran penari topeng,
mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi dalam tujuannya mementingkan diri dan
kelompoknya.
Oleh
sebab itu saya sebagai mahasiswa tingkat akhir disalah satu perguruan tinggi
swasta yang mengambil jurusan pendidikan kewarganegaraan. Dan bergiat aktif
didalam organisasi kampus yang dalam kegiatannya seperti apa yang dilakukan
oleh anggota DPR yaitu bersidang dan menentukan keputusan, tetapi masih
menggunakan mekanisme dan etika persidangan. Saya mengandaikan diri saya
sebagai anggota DPR yang juga membahas masalah-masalah bangsa dan negara secara
hikmat dalam kebijaksanaan, layaknya kegiatan organisasi yang saya geluti di
kampus.
Sebelumnya,
pengandaian saya ini berawal dari kekaguman, kebanggaan dan kesenangan saya
terhadap mereka-mereka yang rela meluangkan waktunya untuk memikirkan masalah
bangsa. Termasuk perasaan bahagia ini saya tujukan kepada anggota dewan yang
terpilih dan yang sudah ditetapkan itu. Alasan pertama kali saya ingin menjadi
anggota DPR adalah saya dengan sangat kagum dapat menyelami perasaan
nasionalisme dan patriotisme anggota DPR yang ada pada mereka saat ini.
Bagaimana tidak kagum coba, dimana saat
negara ini mengalami krisis kebangsaan dan kenegaraan yang meliputi banyak
bidang; ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan kebudayaan. Mereka-mereka yang
mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan akhirnya terpilih serta tertetapkan.
Maka waktu mereka secara langsung akan tergadaikan untuk memikirkan problematikan bangsa secara total, dan
otomatis tidak sempat untuk berkumpul dengan sanak keluarga. Terbukti dengan
waktu sidang DPR yang sampai larut malam bahkan sampai pagi. Bagi saya anggota
DPR adalah manusia yang rela berkorban demi nusa dan bangsa, dan bagiku ini
membutuhkan hati yang tulus dan ikhlas.
Kedua kalinya saya ingin menjadi anggota
DPR adalah saya merasa bangga saat menyelami pikiran yang berkemajuan anggota
DPR dalam usahanya memajukan kehidupan rakyat. Disaat bangsa ini minim
orang-orang yang berpikiran kemajuan layaknya Ki Hadjar Dewantara, HOS
Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Anggota DPR yang sudah
tertetapkan itu berusaha menanggalkan pikiran-pikiran terbelakang yang
mengkerdilkan usaha memajukan negerinya. Walau dalam hal ini anggota DPR tidak
mungkin bisa menyamai pikiran-pikiran tokoh bangsa itu, setidaknya dalam
usahanya berfikir untuk memerdekakan bangsanya sendiri, menjadikan satu nilai
tambah mengapa saya merasa bangga untuk menjadi anggota DPR.
Ketiga kalinya kenapa saya ingin menjadi
anggota DPR adalah saya merasa senang ketika mendengar dan melihat
perkataan-perbuatan anggota DPR yang bombastis-revolutif menjanjikan harapan-harapan
baru dan tindakan yang penuh perhatian kepada kaum pinggiran. Bagiku ketika
anggota DPR sudah mampu beretorika dengan sangat lantang diatas podium layaknya
singa podium julukan untuk Sukarno. Serta melakukan serap aspirasi dan
pendidikan politik bagi rakyat layaknya Sjahrir dan Tan Malaka. Itu adalah
modal besar dalam melakukan perubahan
sosial.
Seandainya saya anggota DPR, pada saat ini,
maka saya akan memprotes perasaan nasionalisme-patriotisme, pikiran yang
berkemajuan untuk memerdekakan bangsa, dan perkataan-perbuatan
bombastis-revolutif serta aspiratif itu. Saya akan menulis ke surat kabar
seperti yang saya tulis ini dan konferensi pers ke semua televisi nasional
maupun swasta bahwa perasaan, pikiran, perkataan dan perbuatan anggota DPR ini
adalah suatu kebohongan publik dan kesadaran palsu.
Saya akan memperingatkan kepada sesama
anggota DPR, bahwa berbahaya untuk meneruskan tradisi degradasi peran dan
fungsi anggota DPR pada waktu ini, yang hanya untuk kepentingan diri dan
golongannya. Akan saya nasihatkan semua anggota DPR untuk tidak menyakiti hati
rakyat Indonesia yang sedang marah-marahnya hak memilih dan dipilih dibatasi,
dan tidak membuat marah itu menjadi gelombang aksi protes yang besar. Sungguh,
saya akan mengajukan protes dengan segala kekuatanku, dan tidak melakukan aksi walk-out.
Akan tetapi, saya bukan anggota DPR, saya
hanya seorang mahasiswa semester akhir dari perguruan tinggi swasta yang tidak
terkenal seperti halnya UGM, UNS, ITB UI atau universitas mentereng yang
lainnya, yang belum tentu setelah lulus dapat menduduki anggota DPR atau
jabatan-jabatan pemerintah yang lain. Maka dari itu saya hanya bisa bermimpi
disiang bolong menatap masa depan negeri ini lebih baik. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS , Semester akhir
Bergiat aktif di Langgar Pena, Pabelan Kartasura,
Sukoharjo