Minggu, 12 Oktober 2014

Seandainya Saya Anggota DPR



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
            Judul tulisan ini sesungguhnya terinspirasi dari artikel yang ditulis oleh R.M Soewardi Soerjaningrat atau biasa dikenal Ki Hadjar Dewantara yang berjudul seandainya saya orang Belanda. Dalam tulisannya tersebut Ki Hadjar Dewantara mengandaikan dirinya sebagai seorang Belanda yang berkulit putih dan berjiwa patriotisme. Tetapi dibalik pengandaiannya ia menjadi seorang Belanda, ia akan mengecam segala bentuk perayaan hari kemerdekaan kerajaan Belanda yang diselenggarakan di negeri terjajah, dan akan menolak segala bentuk penarikan sumbangan dana dari rakyat terjajah, serta akan memberikan kemerdekaan bagi bangsa yang terjajah untuk dapat merayakan hari kemerdekaannya sendiri.
            Ketika menilik peristiwa politik akhir-akhir ini yang memperlihatkan perilaku dan gelagat anggota DPR, yang mana dalam setiap pengambilan keputusan di parlemen selalu diiringi dengan senda-gurau dan canda-tawa tanpa cermat-hikmat dalam kebijaksanaan. Serta dalam setiap proses pengambilan keputusan yang selalu mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi dalam setiap pengambilan keputusan tidak sekali-sekali memihak kepada rakyat, bisa kita ambil contoh saat pembahasan RUU Pilkada. Hal ini membuktikan bahwa wakil rakyat kita hari ini layaknya badut-badut politik yang memainkan lelucon-lelucon politik untuk sebatas menggembirakan hati rakyat sesaat.
            Belum selesai pada tataran sikap politik anggota DPR yang kurang bisa diteladani, nir sikap kenegarawanan, kini kita dikagetkan dengan orientasi politik anggota DPR yang pragmatis. Orientasi politik anggota DPR yang terkesan pragmatis itu ditunjukkan dengan permintaan fasilitas sarana dan prasarana ini dan itu, guna menunjang kinerjanya. Seperti yang bisa kita lihat dari DPR (daerah) yang meminta tablet dan menggandaikan SK untuk membayar utang-utangnya selama kampanye. Ironis bukan, disaat rakyat kesusah-payahan mengais rezeki dengan ketidakpastian kondisi ekonomi negara, anggota DPR justru asyik mencari celah untuk menghabiskan anggaran negara untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
            Sesuai dengan perilaku birokratis yang diungkapkan oleh William A. Niskanen, birokrat (baca: anggota DPR) layaknya pebisnis, dimana letak bedanya kalau pebisnis atau pengusaha pada umumnya berjuang memaksimumkan laba ekonomi, sedangkan birokrat berusaha memenuhi kepentingan diri atau kelompoknya sendiri dengan cara memaksimumkan “seperangkat variabel” seperti gaji, kekuasaan, prestise, peluang sesudah pensiun, dan sebagainya. Walau tak menutup kemungkinan fakta yang ada dilapangan bahwa hampir sebagian anggota DPR adalah pengusaha dan jebolan fakultas ekonomi yang mengetahui dan memahami rumus laba-rugi, tetapi alangkah baiknya ketika sudah mendapatkan mandat dari rakyat kepentingan-kepentingan yang bersifat individualis dan primordial itu dikesampingkan dan digantikan oleh kepentingan yang bersifat nasionalis dan patriotis demi kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa-negara.
            Memang,  jika dilihat dari sudut kewajaran dan menggunakan akal sehat banyak hal yang patut dikecam mengenai tingkah politik anggota dewan kita hari ini. Karena pada dasarnya anggota dewan adalah wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat, konsekuensi logisnya jika dipilih langsung oleh rakyat, maka ia harus membawa kepentingan-kepentingan rakyat dalam setiap proses legislasi. Tetapi lagi-lagi memang kenyataan tidak sesuai dengan harapan, dalam proses perumusan undang-undang yang mempertaruhkan hajat hidup orang banyak, yang mana nantinya akan menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Anggota DPR kita justru memainkan peran penari topeng, mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi dalam tujuannya mementingkan diri dan kelompoknya.
            Oleh sebab itu saya sebagai mahasiswa tingkat akhir disalah satu perguruan tinggi swasta yang mengambil jurusan pendidikan kewarganegaraan. Dan bergiat aktif didalam organisasi kampus yang dalam kegiatannya seperti apa yang dilakukan oleh anggota DPR yaitu bersidang dan menentukan keputusan, tetapi masih menggunakan mekanisme dan etika persidangan. Saya mengandaikan diri saya sebagai anggota DPR yang juga membahas masalah-masalah bangsa dan negara secara hikmat dalam kebijaksanaan, layaknya kegiatan organisasi yang saya geluti di kampus.
            Sebelumnya, pengandaian saya ini berawal dari kekaguman, kebanggaan dan kesenangan saya terhadap mereka-mereka yang rela meluangkan waktunya untuk memikirkan masalah bangsa. Termasuk perasaan bahagia ini saya tujukan kepada anggota dewan yang terpilih dan yang sudah ditetapkan itu. Alasan pertama kali saya ingin menjadi anggota DPR adalah saya dengan sangat kagum dapat menyelami perasaan nasionalisme dan patriotisme anggota DPR yang ada pada mereka saat ini.
Bagaimana tidak kagum coba, dimana saat negara ini mengalami krisis kebangsaan dan kenegaraan yang meliputi banyak bidang; ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan kebudayaan. Mereka-mereka yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR dan akhirnya terpilih serta tertetapkan. Maka waktu mereka secara langsung akan tergadaikan untuk memikirkan  problematikan bangsa secara total, dan otomatis tidak sempat untuk berkumpul dengan sanak keluarga. Terbukti dengan waktu sidang DPR yang sampai larut malam bahkan sampai pagi. Bagi saya anggota DPR adalah manusia yang rela berkorban demi nusa dan bangsa, dan bagiku ini membutuhkan hati yang tulus dan ikhlas.
Kedua kalinya saya ingin menjadi anggota DPR adalah saya merasa bangga saat menyelami pikiran yang berkemajuan anggota DPR dalam usahanya memajukan kehidupan rakyat. Disaat bangsa ini minim orang-orang yang berpikiran kemajuan layaknya Ki Hadjar Dewantara, HOS Tjokroaminoto, Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Anggota DPR yang sudah tertetapkan itu berusaha menanggalkan pikiran-pikiran terbelakang yang mengkerdilkan usaha memajukan negerinya. Walau dalam hal ini anggota DPR tidak mungkin bisa menyamai pikiran-pikiran tokoh bangsa itu, setidaknya dalam usahanya berfikir untuk memerdekakan bangsanya sendiri, menjadikan satu nilai tambah mengapa saya merasa bangga untuk menjadi anggota DPR.
Ketiga kalinya kenapa saya ingin menjadi anggota DPR adalah saya merasa senang ketika mendengar dan melihat perkataan-perbuatan anggota DPR yang bombastis-revolutif menjanjikan harapan-harapan baru dan tindakan yang penuh perhatian kepada kaum pinggiran. Bagiku ketika anggota DPR sudah mampu beretorika dengan sangat lantang diatas podium layaknya singa podium julukan untuk Sukarno. Serta melakukan serap aspirasi dan pendidikan politik bagi rakyat layaknya Sjahrir dan Tan Malaka. Itu adalah modal besar  dalam melakukan perubahan sosial.
Seandainya saya anggota DPR, pada saat ini, maka saya akan memprotes   perasaan nasionalisme-patriotisme, pikiran yang berkemajuan untuk memerdekakan bangsa, dan perkataan-perbuatan bombastis-revolutif serta aspiratif itu. Saya akan menulis ke surat kabar seperti yang saya tulis ini dan konferensi pers ke semua televisi nasional maupun swasta bahwa perasaan, pikiran, perkataan dan perbuatan anggota DPR ini adalah suatu kebohongan publik dan kesadaran palsu.
Saya akan memperingatkan kepada sesama anggota DPR, bahwa berbahaya untuk meneruskan tradisi degradasi peran dan fungsi anggota DPR pada waktu ini, yang hanya untuk kepentingan diri dan golongannya. Akan saya nasihatkan semua anggota DPR untuk tidak menyakiti hati rakyat Indonesia yang sedang marah-marahnya hak memilih dan dipilih dibatasi, dan tidak membuat marah itu menjadi gelombang aksi protes yang besar. Sungguh, saya akan mengajukan protes dengan segala kekuatanku, dan tidak melakukan aksi walk-out.
Akan tetapi, saya bukan anggota DPR, saya hanya seorang mahasiswa semester akhir dari perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal seperti halnya UGM, UNS, ITB UI atau universitas mentereng yang lainnya, yang belum tentu setelah lulus dapat menduduki anggota DPR atau jabatan-jabatan pemerintah yang lain. Maka dari itu saya hanya bisa bermimpi disiang bolong menatap masa depan negeri ini lebih baik. Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS , Semester akhir
Bergiat aktif di Langgar Pena, Pabelan Kartasura, Sukoharjo

Surat Untuk Wakil Rakyat Solo



Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
“Di hati dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar,  lalu sampaikan, jangan ragu-jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diam”
(Surat Untuk Wakil Rakyat: Iwan Fals)
          Penggalan lagu Iwan Fals diatas yang berjudul surat untuk wakil rakyat mengingatkan kita pada gaya hidup dan perilaku wakil rakyat kita hari ini. Bagaimana tidak teringat coba? Sampai tulisan ini dibuat berita miring mengenai wakil rakyat sedang bermunculan di media massa.  Tak terkecuali berita tentang DPRD kota Solo yang menyelenggarakan orientasi tugas-tugas DPRD dengan menghabiskan dana Rp 4,5 juta/orang (Solopos, edisi 22/09/2014). Dan berita lain yang terkait yaitu wakil rakyat di daerah yang menggadaikan SK (Kompas, edisi 22/09/2014).  Hal ini sungguh ironis bukan, diawal masa kerjanya saja sudah terdapat berita-berita yang tidak menyenangkan hati rakyat. Bagaimana dengan pengabdiannya satu periode kedepan dalam mewakili suara-suara rakyat. Maka surat ini saya buat dengan niatan untuk mengingatkan wakil rakyat yang sedang lalai.
            Kilas balik sejarah wakil rakyat di Indonesia, maka kita akan mengetahui yang namanya volksraad. Kumpulan wakil rakyat abad XX ini yang sebagian anggotanya diangkat oleh pemerintahan kolonial Belanda banyak dikecam oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Semaoen dan Sosrrokondo. Karena menghasilkan produk peraturan yang anti perbaikan nasib rakyat. Semisal terkait dengan kebijakan anggota volksraad yang menolak pengurangan areal tebu. Maka tak heran jika Sosrokondo, seorang tokoh pergerakan nasional begitu kecewa dan menyatakan bahwa volksraad bukannya “menjadi” raad-nya rakyat (volks), melainkan raad-nya gula (suiker), suiker raad.
            Disebutkan selanjutnya dalam buku yang berjudul Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920 (1999) karya Soe Hok Gie. beliau menyajikan uraian analisis Semaoen terhadap 19 anggota volksraad yang hampir rata-rata musuh kaum Kromo. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa wakil rakyat zaman dulu dan sekarang tidak ada bedanya sama sekali. Keprihatinan ini ditambah pula dengan gaya hidup dan perilaku kalap-rente wakil rakyat dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pengemban suara rakyat. Hal ini bisa dibuktikan dengan latar belakang wakil rakyat pada zaman dulu sebagai saudagar kapitalis dan ningrat etisi.
            Dalam buku yang sama kritik Semaoen yang terakhir terhadap volksraad adalah supaya wakil rakyat sesungguhnya tidak perlu membuang waktu. Hal ini bisa kita lihat dari kegiatan orientasi yang dilakukan oleh anggota dewan kota Solo yang sangat mewah selama 4 hari berturut-turut di villa, daerah Tawangmangu Karanganyar. Kritik Semaoen diatas kiranya masih relevan untuk menyoalkan kegiatan orientasi DPRD Solo periode ini. Ironis memang, disaat persoalan rakyat semakin kompleks; dimana rakyat sudah hampir tidak percaya lagi dengan fungsi dan peran partai politik dan politikusnya, kini justru alokasi dana dan alokasi waktu ia gunakan untuk kegiatan rutin yang banyak dikecam oleh rakyat sendiri.
Perilaku Birokratis Wakil Rakyat
            Perilaku birokratis adalah perilaku birokrat dalam melaksanakan kebijaksanaan. Dalam kajian perilaku birokratis, terdapat perbedaan fokus kajian antara perilaku birokratis klasik dan neoklasik. Perilaku birokratis klasik lebih terfokus pada analisis dampak birokrasi sebagai suatu organisasi terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Birokrasi sendiri  cenderung dilihat berdasarkan fungsi formalnya sebagai perangkat pelaksana administrasi negara.
            Sedangkan perilaku birokratis neoklasik lebih memusatkan perhatian pada perilaku individu-individu yang berada dalam birokrasi itu sendiri. Menurut William A. Niskanen birokrat layaknya pebisnis, dimana letak bedanya kalau pebisnis atau pengusaha pada umumnya berjuang memaksimumkan laba ekonomi, sedangkan birokrat berusaha memenuhi kepentingan diri atau kelompoknya sendiri dengan cara memaksimumkan “seperangkat variabel” seperti gaji, kekuasaan, prestise, peluang sesudah pensiun, dan sebagainya.
            Kemudian bila kita bandingkan dengan wakil rakyat zaman dulu dan sekarang melalui kacamata perilaku birokratis. Maka kita akan menemukan bahwa wakil rakyat abad XX berperilaku birokratis klasik yang mana bisa kita lihat melalui kecaman-kecaman yang dilontarkan oleh Sosrokondo dan Semaoen, yaitu volksraad yang tidak memihak terhadap kepentingan rakyat, walau dalam membedah itu dua tokoh pergerakan nasional tersebut juga tidak meninggalkan sikap dan orientasi politik wakil rakyat tersebut. Contoh: Semaoen yang menganalisis sikap politik H.O.S Tjokroaminoto yang menjadi wakil rakyat pada saat itu sebagai wakil kaum Kromo dan seorang diplomat.
            Sedangkan kalau kita melihat wakil rakyat abad XXI ini, maka kita akan menemukan pola perilaku birokratis neoklasik, yang mana banyak dari anggota DPRD menggadaikan SK-nya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Entah itu untuk membayar utang kampanye maupun membiayai sekolah anak dan kebutuhan hidup sehari-hari. Atau sekedar mengikuti orientasi tugas-tugas DPRD yang tiap orang mendapatkan Rp 4,5 juta dengan mendapatkan fasilitas penginapan, makan-minum, alat tulis kantor dan pembicara yang bersertifikat dengan menggunakan dalih untuk kepentingan rakyat. Semua itu kembali lagi bahwa wakil rakyat kita hari ini ibarat pengusaha yang memaksimumkan laba ekonomi, bedanya wakil rakyat kita hari ini lebih memaksimumkan gaji, kekuasaan, prestise dan peluang sesudah pensiun yang sudah difasilitasi oleh pemerintah.
            Terakhir, suara tak selamanya wakil yang setia dari kenyataan. Suara tak selamanya dilahirkan lewat suara, melainkan bisa lewat pelbagai perilaku. Seperti diungkapkan Semaoen dan Sosrokondo diatas untuk zaman kolonial dan kita untuk zaman kita, suara arus bawah juga tampil dalam pelbagai bentuk. Jumlah suara tanpa suara dan suara yang tak mewakili menjadi berlipat ganda dalam sistem pemerintahan anarkis. Adalah tugas kita menerjemahkan yang pertama, dan meluruskan yang kedua. Mungkin begitu.

*Penulis adalah Pegiat Diskusi Pena
Dan Mahasiswa UMS
           
           
           

           

Jumat, 10 Oktober 2014

FUNDAMENTALISME KEKUASAAN


Oleh: Adhitya Yoga Pratama*
 
            Pengetahuan dan keputusan adalah dua persoalan yang tidak dapat dipisahkan dalam mengetahui persoalan nilai. Terlebih dalam mengetahui persoalan nilai di negeri ini yang semakin rancu, dimana antara etika dan moral saling tumpang tindih tak beraturan. Dapat kita lihat ketika keputusan yang diambil oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nir-pengetahuan tentang filsafat etika dan moral dalam mengambil keputusan saat pembahasan RUU Pilkada berlangsung dan pada akhirnya terputuskan Pilkada melalui DPRD. Belum lagi selesai dalam proses pengambilan keputusan di parlemen, dimana masih ada kesempatan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kini publik dikejutkan oleh pengambilan keputusan yang terkesan politik-pencitraan oleh presiden SBY, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Entah apa yang menjadi landasan berfikir para penguasa negeri ini dalam pengambilan keputusan tersebut. Sehingga daulat rakyat teralienasi dalam tataran nilai (sesuatu yang beharga), dalam konteks ini adalah demokrasi; pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
            Suatu kondisi, besar atau kecil, akan pantas disebut tragedi kalau semua atau nyaris semua peserta dalam kondisi itu berada dalam kondisi beriman, bermaksud baik dan bermoral tinggi, tetapi diluar dugaan semua pihak, ternyata ujung akhir dari perjalanan bersama itu tak lain adalah bencana, malapetaka untuk kelompok itu (Dr. Emanuel Subangun: Kisah Katak dalam Belanga). Keadaan itu sangat relevan untuk menggambarkan kondisi masyarakat Indonesia saat ini dalam menatap masa depan demokrasi yang hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Hal itu semakin menegaskan watak tragedi dari hidup bersama kita sebagai bangsa, saat DPR mengetok palu Pilkada melalui DPRD. Pro dan kontra menjadi dialog publik yang tiada habisnya untuk diperbincangkan. RUU Pilkada yang mengusung kepentingan tersurat tirani politik dan oligarkhi ekonomi harus tetap bercokol di negeri ini, menguasai alam sadar masyarakat Indonesia saat ini pasca pesta demokrasi (Pileg dan Pilpres), pasalnya salah satu pemain dalam kompetisi pesta demokrasi tersebut tidak ingin tinggal diam dalam membuat disintegrasi nasional.
            Nalar berfikir anggota DPR yang sepakat mengambil keputusan Pilkada melalui DPRD dengan berbagai alasan yang terkesan moralistis. Perlu dipertanyakan ke-nalar-annya, pertanyaan reflektifnya adalah, apakah betul korupsi yang dilakukan kepala daerah itu secara langsung disebabkan oleh pemilihan langsung? Begitupun sebaliknya, apakah pilkada melalui DPRD tidak ada korupsi? Saya yakin anggota DPR yang sepakat mengambil keputusan Pilkada melalui DPRD tidak bisa menjawab dan menjamin bahwa pemilihan melalui DPRD bebas dari korupsi. Begitu pun sama dengan pemilihan langsung yang berdampak pada maraknya korupsi. Karena pada dasarnya pemilihan langsung yang berakibat maraknya pada korupsi itu, penyebabnya adalah peran dan fungsi partai itu sendiri yang tidak berjalan dengan baik sesuai dengan etika politik-nilai. Apakah adil jika kesalahan akibat korupsi yang marak itu dibebankan pada sistem pemilihan langsung, yang mana pemilihan langsung (one man one vote) itu adalah hak konstitusional pemilih langsung (baca; rakyat) untuk memilih dan dipilih.
            Mengacu pada nalar berfikir anggota DPR yang sepakat Pilkada melalui DPRD, maka kita akan melihat bahwa landasan pengetahuan yang digunakan oleh anggota DPR tersebut, mengacu pada filsafat modern yang berlandaskan pada rasionalitas wahyu yaitu intelektualisme klasik, yang mana sebagai titik tolaknya, mengambil kehebatan akal, intuisi intelektual dan keunggulan pengetahuan teoritis (Rekonstruksi Nalar Kritis, Hans Albert: 2014). Yang mana bisa kita lihat melalui konsolidasi kekuasaan dengan kehebatan nalar politis yang sistematis, terstruktur dan massif untuk meraih suara terbanyak dalam pengambilan keputusan. Dan penggunaan kekuatan memanipulasi bahasa yang utopian-apolegetik dengan intuisi intelektual, yaitu dengan mendelegitimasi Pilkada langsung adalah maraknya korupsi akibat Pilkada langsung yang mengatasnamakan suara rakyat harus terjaga dari bahaya laten politik-uang. Serta kecerdikan dalam memilah dan memilih teori demokrasi yang irrasional dengan memperlihatkan keunggulan pengetahuan teoritis. Tak lain dan tak bukan adalah nalar berfikir yang dibangun oleh anggota DPR yang sepakat melalui DPRD, dan apabila pengetahuan dan keputusan sudah ditetapkan dalam bentuk komitmen maka yang terjadi adalah dogmatisme kebenaran dalam berdemokrasi.
            Tak berbeda dengan anggota DPR yang sepakat Pilkada tidak langsung yang memiliki landasan pengetahuan dan pengambilan keputusan yang irrasional. Presiden SBY seirama dengan anggota DPR yang sepakat Pilkada tidak langsung dalam menatap masa depan demokrasi kita, melainkan SBY lebih moderat dalam mengambil keputusan yaitu mengupayakan untuk menerbitkan Perppu. Tetapi sikap SBY tidak bisa dilepaskan dari partai pengusungnya begitu saja yaitu partai demokrat. Karena ia selain kepala negara dan kepala pemerintah juga ketua umum partai, yang mana kita ketahui bahwa partai demokrat dalam pembahasan RUU Pilkada walk-out dengan alasan kepentingan rakyat dikarenakan usulan bersyaratnya tidak diterima oleh anggota DPR yang lain. Perlu diketahui juga bahwa keluarnya anggota DPR dalam penentuan nasib demokrasi Indonesia adalah pengkhianatan suara rakyat. Melanjutkan landasan pengetahuan dan pengambilan keputusan presiden SBY yang seirama dengan anggota DPR yang sepakat Pilkada tidak langsung, sesungguhnya presiden SBY mengacu pada landasan berfikir empirisme klasik, yang mana lebih menekankan keunggulan observasi, persepsi indera, dan keunggulan fakta. Dapat kita tengok melalui spekulasi politik yang dilakukan oleh SBY sebagai komando negara dan komando partai. Kalkulasi politik yang ia mainkan dalam parlemen dan analisa politik-hukum yang ia putuskan dalam roda pemerintahan tak terlepasnya dari landasan pengetahuan yang empirisme klasik tersebut.
            Apabila pengetahuan dan keputusan sudah terkooptasi dengan keputusan fundamental yang mendukung prinsip justifikasi klasik, maka yang akan tercipta adalah fundamentalisme kekuasaan. Pada saat yang sama seluruh klaim tentang kemungkinan salah ditolak lalu mendukung tidak mungkin salah. Setiap orang yang melabelkan sifat tidak mungkin salah kepada sesuatu hal tertentu; akal, intuisi atau pengalaman, kepada kesadaran kepada keinginan atau perasaan; kepada person, kelompok atau kelas person, semacam pejabat negara; akan mengklaim bahwa otoritas ini tidak pernah keliru dalam kaitannya dengan masalah-masalah terkait. Karena sesungguhnya setiap tidak mungkin salah adalah bentuk puncak dari dogmatisme.
Kritisime Kekuasaan
            Dalam pengetahuan dan keputusan mengenai RUU Pilkada yang telah dilaksankan oleh DPR dan akan dilakukan oleh presiden, maka alangkah baiknya untuk kita kritisi, terlebih jika itu berkaitan dengan kekuasaan rakyat. karena pada dasarnya pengetahuan adalah unsur utama dalam masyarakat, atau dengan kata lain meletakkan pengetahuan dalam hubungan dengan masyarakat bangsa. Apalagi dalam persoalan menentukan format struktur ketatanegaraan yang demokratis. Sesungguhnya yang sedang dibicarakan adalah hubungan unsur dengan keseluruhan.
            Korelasinya dalam RUU Pilkada ini adalah pengetahuan yang dibangun oleh anggota DPR dan presiden harus tetap mempertimbangkan rakyat sebagai tuannya dan pejabat sebagai pelayannya dalam hubungan masyarakat bangsa. Oleh sebab itu makna pengetahuan tidak saja demi urusan penguasaan, tetapi terutama dalam hubungan dengan masyarakat kita adalah demi upaya meringankan beban, demi sebuah pembebasan. Maka keputusan yang diambil pun akan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya nyanyian-nyanyian pseudo-populis yang nir pemaknaan.
            Jika pengetahuan dan keputusan tujuan utamanya adalah demi meringankan beban dan kesengsaraan masyarakat, kaidah moral dan etik mana yang harus ditilik ulang atas nama etos berpengetahuan. Jika pengetahuan dan keputusan RUU Pilkada akhirnya melalui DPRD atau tidak langsung, apakah tujuan untuk membentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dapat tercapai? Dan apakah kaidah moral dan etik keputusan RUU Pilkada melalui DPRD atau tidak langsung sesuai dengan etos berpengetahuan? Pada akhirnya ketika kita mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka kita akan melampaui dogmatisme yang terbingkai dalam fundamentalisme kekuasaan. Mungkin begitu.
*Penulis adalah pembaca buku dan pegiat diskusi kebangsaan
Dan bergiat di Langgar Pena, Pabelan Kartasura Sukoharjo