(Tanggapan
Terhadap Saudara Udji Kayang Aditya Supriyanto)
Oleh:
Adhitya Yoga Pratama*
Ada yang menarik yang perlu
digarisbawahi dari opini saudara Udji Kayang Aditya Supriyanto (05/08/14) yang
sekiranya dapat menimbulkan perdebatan panjang yang tak kunjung usai dari
segala permasalahan yang ada di negeri ini. Yakni pernyataan bahwa bila
seseorang terang-terangan mendukung kubu politik tertentu, banyak ruang dalam
argumen yang termakan habis buat memuja dan memuji sosok ideal pilihannya.
Namun, bila seseorang tak membela siapapun, atau dalam istilah yang jadi
polemik dewasa ini disebut “netral”, ia punya cukup ruang buat kebenaran.
Padahal ada yang mencolok untuk
dikaji secara mendasar tentang perdebatan dan kebenaran. Hal yang mencolok
tersebut adalah hampir semua filsuf besar di Barat sangat berminat akan
politik. Dari Herakleitos yang menyebutkan perang sebagai bapak dari
segala-galanya sampai Andre Glucksman yang mendukung penempatan roket pershing
II di Republik Federal Jerman, kebanyakan mereka mengambil sikap-sikap yang
secara politis relevan.
Bahkan karya kecil Thomas Aquinas “De Regimine Principum” termasuk salah
satu uraian etika politik yang paling tajam yang sampai hari ini ditulis;
diskusinya apakah seorang penguasa yang menyalahgunakan kedudukannya demi
kepentingan sendiri boleh dibunuh langsung oleh rakyatnya atau harus dicopot
dari kedudukannya dan diadili, 700 tahun kemudian masih menjadi bahan
pertimbangan bagi dari beberapa mereka yang akan mencoba untuk membunuh Adolf
Hitler pada tanggal 20 Juli 1944. (Frans
Magnis Suseno; Filsafat Sebagai Ilmu Kritis: 1992).
Lantas, apa yang menjadi keresahan
saudara Udji dalam melihat perdebatan pemilihan presiden (Pilpres) 2014,
sehingga pada akhirnya beliau skeptis juga terhadap kebenaran yang tersampaikan
dengan menggunakan dalil-dalil samawi. Sampai pada kesimpulan sementara beliau
mengusulkan tradisi eksistensialisme Sartre sebagai proses pencarian kebenaran
yang nir-dogmatisme (keakuan) dalam melihat kondisi politik Indonesia. Dan
menyarankan kepada pembaca yang tepat adalah mungkin tidak secara
terang-terangan menunjukkan politik keberpihakan yang di miliki oleh seorang
intelektual dengan diwujudkan dalam sikap politiknya yang diam.
Sebagai orang yang sama-sama resah
dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Terlebih akhir-akhir ini penyebaran
paham Islamic States of Irac and Syria
(ISIS) marak sekali di pelosok wilayah Nusantara,
Solo dan sekitarnya terutama yang menjadi wilayah yang patut diawasi oleh
aparat keamanan, yang pada akhirnya pemerintah kebakaran jenggot melarang
ajaran ISIS beredar, dengan menggunakan kredo kebenaran Pancasila dan UUD 1945
dan usaha untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
pemerintah menambah daftar panjang yang liku dalam mencari kebenaran hakiki
dengan mengedepankan kesadaran palsu.
Tidak selayaknya saudara Udji
menyarankan pembatasan pilihan pada kebenaran yang diwujudkan dalam politik
keberpihakan dari intelektual, filsuf, ilmuwan maupun rakyat sekalipun. Justru
yang terjadi jika tidak secara terang-terangan menunjukkan keberpihakan pada
kebenaran, maka yang datang adalah sang tiran yang membersihkan puing-puing
itu, dan dimana sebelumnya ada banyak rumah kecil, di situ tiran itu mendirikan
sebuah penjara yang besar.
Konteks Pilpres 2014, banyak orang
yang berpihak pada salah satu pasangan Capres-Cawapres yang mengusung visi
kerakyatan. Tak menutup kemungkinan bagi mereka yang memilih pasangan
Capres-Cawapres tersebut untuk menjaga ruang-ruang publik kerakyatan tetap
terjaga daripada datang seorang tiran yang curang dan kejam. Justru kelak
membelenggu hak-hak kebebasan berpolitik warga negaranya.
Yang perlu menjadi titik tekan
adalah bukan pada saat salah satu pasangan Capres-Cawapres menang dan
ditetapkan sebagai presiden RI ke-7. Kebenaran itu terungkap dan perdebatan
usai. Melainkan hal tersebut untuk menjadi landasan pencarian kebenaran yang
selanjutnya, karena pada hakikatnya kebenaran itu menyingkap tabir penindasan
dan penjajahan antar manusia. Oleh sebab itu kebenaran yang dogmatisme layaknya
selubung ideologis pelbagai kepentingan duniawi, termasuk yang tersembunyi
dalam pakaian yang alim. Segera menjadi agenda filsafat dalam membedah
kesadaran palsu yang menyebarkan kebohongan, karena filsafat secara hakiki
adalah ilmu kritis.
Filsafat Mencari Jawaban
Politik
keberpihakan intelektual, ilmuwan, filsuf yang diungkapkan melalui sikap
politik masing-masing dengan menggunakan kredo kebenaran yang berbeda-beda,
kemudian di debatkan dalam ranah kasus (Pilpres) bukan tanpa sebab. Semua
memiliki dasar yang meyakinkan pada kebenaran. Maka dari itu filsafat masuk
dalam ranah ini untuk menyingkap pertautan antara kepentingan dan pengetahuan
yang dimiliki oleh masing-masing agent of
change tersebut. Karena pada dasarnya filsafat menuntut cara berfikir yang
mendasar, menyeluruh dan spekulatif.
Usaha filsafat dalam mencari jawaban
kebenaran mempunyai dua arah yaitu filsafat harus mengkritik jawaban-jawaban
yang tidak memadai. Dan filsafat harus ikut mencari jawaban yang benar. Sebagai
alat bukan tujuan yang berusaha mencari kebenaran, filsafat perlu di tegaskan
berhadapan dengan kondisi faktual, agar dalam melakukan perenungan menyentuh
kontekstualisasi masalah yang terjadi. Yang mana seakan-akan tugas filsafat
menanyakan pertanyaan yang ragu. Melainkan tugas filsafat juga memberikan
jawaban.
Dan usaha filsafat ini yang menjadi
landasan entah bagi seorang filsuf, ilmuwan, intelektual maupun rakyat
sekalipun dalam melihat fenomena Pilpres 2014. Sehingga dalam perdebatan dapat
memposisikan peranan yang tepat dalam politik keberpihakan yang tepat untuk
mencari jawaban kebenaran.
Pilpres telah usai, perdebatan baru
mulai bermunculan, masalah baru mulai bertebaran, kondisi sudah berubah begitu dinamis,
kebutuhan pada kehidupan banyak pilihannya. Yang jelas kehidupan modern bahkan
postmodern sudah menanti peran kita dalam mencari jawaban kebenaran dari balik
kesadaran palsu dan kebohongan yang di pelihara. Yang harus membedakan
jawaban-jawaban filsafat dari jawaban-jawaban spontan ialah bahwa jawaban itu
harus dapat di pertanggungjwabakan secara rasional.
Pertanggungjawaban rasional pada
pilihan Pilpres 2014 adalah ikut mengawal dan berpartisipasi aktif setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan baru. Agar kebenaran yang hakiki
tanpa kebohongan dapat terungkap dengan baik. Dan untuk menanyakan siapa yang
sebenarnya paling benar? Mungkin begitu.
*Penulis adalah mahasiswa UMS
Pendidikan Kewarganegaraan
Dan Kabid Hikmah IMM Cabang Kota Surakarta