Oleh: Prof. (Em). Dr. J.E Sahetapy, S.H., M.A
Pada
mula pertama, ketika saya memberikan “trase”
baru berupa orasi perpisahan dengan Saudara Made Darma Waeda, S.H., M.S sebagai
asisten saya, saya minta dipertimbangkan agar dirintis semacam tradisi orasi
perpisahan bagi seorang guru besar yang akan meninggalkan gelanggang keilmuan.
Orasi perpisahan itu, demikian penjelasan saya, hendaknya menyimak kembali apa
yang telah dikerjakan oleh guru besar yang bersangkutan, yang menyangkut
hal-hal yang esensial dan fundamental dari mimbar keilmuan yang dipercayakan
kepadanya. Diharapkan dalam orasi itu juga dikupas dalam segenggam kondisi keilmuan dewasa ini yang sedang diasuh dan yang
sedang diasah, terutama oleh para sejawatnya sebagai mantan murid-muridnya.
Itulah
sebabnya, pada kesempatan ini, saya hendak menyampaikan rasa terimaksih saya
kepada Saudara Dekan yang telah memungkinkan diadakan orasi ini sebagai suatu
trase baru, dan diharapkan agar dapat dipelihara dan diteruskan di masa depan.
Juga, kepada para sejawat dari jurusan hukum pidana yang telah berlelah
mengatur acara orasi ini, saya menyampaikan rasa terima kasih. Akan tetapi,
rasa terima kasih saya, terutama saya tujukan kepada para mahasiswa, bukan
(saja) karena mereka terlibat dalam perjuangan pergumulan keadilan dan
kebenaran melalui berbagai demonstrasi akhir-akhir ini, melainkan juga
merekalah yang secara tidak langsung sejak semula saya mulai berkecimpung di
dunia keilmuan, kehadiran mereka selalu merangsang saya untuk terus berbicara
dan menggugah decorum scholasticus tentang
keadilan dan kebenaran.
Dan
hal itu telah saya lakukan sejak 39 tahun yang lalu ketika untuk pertama kali
saya dipercayakan untuk mulai berhadapan dengan para mahasiswa sebagai asisten
dosen. Pada waktu itu, pada tahun 1959, masih dalam status mahasiswa tingkat
akhir, mahasiswa Doktoral II, saya mulai mengajar Asas-Asas Hukum Perdata.
Pada
tahun 1959 itulah, awal saya mulai memberi kuliah atau memberi asistensi, telah
mantap dalam diri saya, telah bulat dalam hati dan jelas dalam pikiran saya
bahwa selain saya akan berbicara bertalian dengan transfer of knowlwdge, saya juga harus dan terutama wajib berbicara tentang the truth, and the nothing but the truth
sebagai suatu conditio sine quo non.
Dalam
era permulaan orde lama itu, saya tidak bergeming meskipun dalam usia muda dan
tanpa pengalaman mengajar di perguruan tinggi untuk selalu membicarakan
keadilan dan kebenaran. Pada waktu itu, hanya dua orang, Robertus The dan saya,
yang ditugaskan untuk mengajar (Asas-Asas) Hukum Perdata. Kemudian, setelah
kembali dari Amerika Serikat pada akhir tahun 1962, saya mendapat tugas baru
sehubungan dengan meninggalnya Prof. Mr. R. Gondowardojo, untuk mengajar
Asas-Asas Ekonomi (1963). Di kala itu saya berhadapan secara vis-a-vis dengan para mahasiswa
beraliran komunis dengan mengajar mata kuliah Asas-Asas Ekonomi. Berhadapan
dengan mereka, saya tetap berpendirian bahwa keadilan dan kebenaran bukan milik
suatu golongan, apakah kelompok itu besar atau kecil, atau milik suatu aliran
atau komunitas tertentu. Demikian pula pendirian saya sekarang ini tetap tidak
berubah.
Keadilan
dan kebenaran berdimensi dan bersifat substansial universal. Di kemudian hari,
ketika saya dialihkan dengan pertimbangan politis ke hukum pidana dan setelah
itu masih diusahakan penjegalan oleh beberapa sejawat, saya tidak pernah
menyesal telah menempuh jalan itu. Jalan yang semula berkerikil itu, telah
mengasah insan kamil saya ke arah yang lebih peka terhadap hak asasi manusia
dan terhadap perjuangan keadilan dan kebenaran. Penjegalan dari beberapa
sejawat ternyata tidak berakhir di situ. Selama enam tahun lamanya saya
dihalangi dengan berbagai cara dalam rangka memperoleh gelar doktor ilmu hukum.
Akan tetapi, Allah Yang Maha Kuasa, Yang Rahmani, dan Yang Rahimi itu memiliki
rancangan-Nya sendiri. Begitulah firman Allah:
“Rancangan-Ku
bukanlah rancangan-mu. Jalan-Ku bukanlah jalan-mu. Setinggi langit dari bumi,
demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalan-Mu dan rancangan-Ku dari
rancangan-mu.”
Barang
yang busuk dikemas dengan kemasan yang sebagus apa pun, bahkan jika dikemasi
secara ritual sakral sekalipun, kemasan itu akan tetap berbau busuk dan akan
hancur pada waktunya.
Dengan
demikian, perjuangan keadilan dan kebenaran berdasarkan pergumulan dan yang
diterangi oleh Kasih Illahi, pada akhirnya saya berkesimpulan bahwa dalam
penjabarannya, perlu memberi kambi terhadap apa yang saya akronimkan sebagai
sobural, yaitu akronim dari skala nilai sosial, aspek budaya, dan faktor
struktural suatu masyarakat tertentu.
Sobural
memang pada mula pertama dipersiapkan untuk wadah atau sarana pendekatan
teoritik dalam rangka memahami kejahatan. Akan tetapi, karena kejahatan
merupakan kutub polarisasi terhadap keadilan dan kebenaran, maka dewasa ini
menurut hemat saya, sobural dapat pula digunakan sebagai kendaraan pemahaman
proses perubahan sosial untuk membedah dan mengkaji problematik implementasi
keadilan dan kebenaran. Mungkin hal pendekatan yang demikian akan sulit
diterima. Namun, dilihat secara sosio-filosofis dalam suatu legal setting dimana hukum harus
mengabdi pada keadilan dan kebenaran, dan bukan pada kekuasaan, apalagi kekuasaan
yang tidak berkedaulatan rakyat, dimana kehidupan itu selalu membentangkan dua
sisi dari suatu kehidupan bersama, ibarat dua sisi dari satu mata uang, maka
apa yang dikedepankan itu dalam kontekstualisasi sobural, bukan suatu hal yang
mustahil atau yang sulit dapat dicernakan.
Perbedaan
pendapat dalam hal ini adalah wajar. Dan demi kemajuan keilmuan, sudah waktunya
kita tinggalkan sifat “jumawa”
orde baru bahwa berbeda pendapat adalah haram dan destruktif. Sangat
disayangkan bahwa sampai saat ini, juga di kalangan perguruan tinggi, para
akdemisi acap kali dengan cara munafik berusaha merujuk pada nilai subkultur
yang kini tengah dominan, lalu merasa kurang “legowo”
bila ada perbedaan pendapat. Padahal, perbedaan pendapat adalah sehat selama ia
bertumpu pada argumentasi yang sehat, jujur, dan objektif. Perbedaan pendapat
dalam negara demokrasi justru menumbuhkan dan membina civil society atau
masyarakat terbuka hanya dalam suatu masyarakat yang fasistik, perbedaan
pendapat adalah subversi, makar, dan permusuhan.
Perbedaan
pendapat jangan sekali-kali dianggap sebagai sumber konflik dalam proses
destruktif. Konflik pendapat tidak boleh dipandang sebagai disfungsional.
Perbedaan pendapat dapat dijadikan basis kajian analisis yang bersifat
fungsional dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran. Seharusnya pendirian
yang demikian, yaitu menghargai pandangan orang lain, harus ditanam dan dipupuk
oleh para pendidik dalam rangka menuju dan membina suatu civil society atau suatu masyarakat terbuka. Dalam kontekstualisasi
yang demikian, kambi sobural itulah yang mewadahi keadilan dan kebenaran yang
transedental itu hendaknya diterjemahkan, dipraksiskan dalam pergumulan
aktualisasi interaksi di mana kemudian akan terlihat aspek keadilan dan
kebenaran itu akan membebaskan dirinya dari kungkungan kekuasaan yang penuh
rekayasa dengan dalih yang serba dicari-cari seperti dewasa ini.
Keadilan
dan kebenaran itu bersifat dan mempunyai jangkauan konsekuensi holistik secara
universal sebab kebebasan itu membebaskan. Kebebasan yang membebaskan itu
bukanlah suatu komoditas anarkis yang destruktif. Ia bukan pula yang harus
didasarkan atas postulat kekuatan (politik) yang besar ataupun kekuasaan
bersenjata. Keadilan dan kebenaran harus membebaskan orang dar rasa takut
meskipun secara manusiawi rasa takut itu wajar. Akan tetapi, takut terhadap
ketakutan itu sendiri justru sulit untuk dipahami dan dibenarkan. Sebab apakah
dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku harus menjadi musuhmu? Itulah
keadilan dan kebenaran. Oleh sebab itu, dalam buku yang disumbangkan oleh
kawan-kawan saya dari Forum Komunikasi Kristiani Indonesia (Surabaya) bertalian
dengan hari ulang tahun saya yang ke-65, saya minta untuk diberi judul buku itu
Jangan Menjual Kebenaran (1998).
Dalam
dunia Indonesia, sayang, sesudah tahun lima puluhan atau permulaan tahun enam
puluhan, banyak orang yang mau disuap, mau berakomodasi dengan melupakan
prinsip integritas dan objektivitas, mau menjual kepribadian dan jati dirinya,
bahkan bersedia menjadi Brutus untuk kemudian menjual keadian dan kebenaran
untuk sepiring bubur kacang merah. Lihat saja setelah Soeharto tumbang. Lebih
tepat kalau dikatakan Soeharto dikudeta secara terselubung dan bukan lengser
keprabon, apalagi mandeg pandito.
Dikatakan demikian sebab Soeharto bukanlah raja (Jawa) dan juga apa yang
diwariskan itu sungguh menyengsarakan rakyat Indonesia secara sosio-politis dan
secara struktural ekonomis. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan le roi est mort, vive le roi. Ternyata,
le roi baru adalah setali tiga uang. Ia masih melanjutkan pola dan alur pikir
orde baru. Para pembantunya sami mawon. Bahkan le roi yang baru ini berputar-putar ibarat kincir angin dalam
segala musim.
Di
depan sidang MPR (baca: Majelis Permusyawaratan Rezim) orde baru (1998),
Soeharto dengan membusungkan dada berucap, “Jangankan
harta, nyawa sekalipun saya bersedia memberi.”
“Rakyat
kini bertanya, mana konsekuensi ucapanmu itu, Soeharto!?”
Belum
lagi kalau membicarakan betapa Soeharto telah melakukan semacam genocide terhadap mental dan kultur
masyarakat dan bangsa Indonesia. Dan sebagai Pangti ABRI, bagaimana dengan
tanggung jawabmu terhadap pelbagai pelanggaran HAM di berbagai pelosok
Indonesia?
Sungguh
mengherankan dan masih menakutkan (sekelompok) orang yang begitu ngeri kalau
sampai Soeharto bangkit kembali. Namun, Soeharto tidak akan mungkin bangkit
kembali lagi, kecuali, sekali lagi, kecuali, bilamana sobural Indonesia sudah
dalam keadaan begitu bobrok dan busuk. Dan itu berarti hati nurani manusia
Indonesia sudah tidak berfungsi lagi. Dengan perkataan lain, masyarakat
Indonesia sudah terperosok dan terbenam dalam kancah Sodom dan Gomoro. Dan
meskipun tampaknya seolah-olah Soeharto berusaha untuk bangkit kembali,
begitulah ocehan media tulis, Soeharto telah tiba pada point of no return. Mungkin para Durno-nya yang sedang terus
berusaha, tetapi itu adalah usaha menjaring angin.
Soeharto
telah mengandangkan, membonzai, dan atau mengarbitkan manusia-manusia
Indonesia, termasuk segelintir para pengajar di dunia perguruan tinggi selama
tiga dekade lebih. Jadi, dapatlah dimengerti apabila politisi, apalagi politikus, yaitu kualifikasi yang diberikan
kepada anak dan istri para pejabat yang ingin berfungsi sebagai politisi yang
lalu berbicara bahasa abracadabra bertalian dengan penyalahgunaan kekuasaan dan
berbagai aspek kolusi, nepotisme, dan terutama tentang korupsi akhir-akhir ini.
Bahkan, para pengajar hukum tata negara dan tata pemerintahan belum juga muncul
dalam suatu analisis yang jitu, bermutu, ilmiah, serta bertanggung jawab
tentang peristiwa penyerahan kekuasaan dari Soeharto dengan berpakaian safari
dan bukan berjas sebagaimana lazimnya dalam proses penyerahan kekuasaan kepada
Habibie sebagai prototipe anak didiknya yang paling setia. Sesungguhnya saya
masih berharap agar pada suatu waktu yang tidak terlalu lama, pakar-pakar hukum
tata negara dan tata pemerintahan, akan mengkaji peristiwa 21 Mei 1998 dan
memberi suatu analisis yang rasional objektif demi klarifikasi sejarah hukum
ketatanegaraan bangsa kita.
Tidaklah
mengherankan kalau dewasa ini, dalam masyarakat Indonesia, dilihat dari
perspektif sobural, terutama yang menyangkut “skala
nilai sosial”, maka kita bukan saja dibingungkan dengan kosakata yang
eufimistik, melainkan juga ada pakar dari berbagai ilmu, termasuk ilmu hukum,
berbicara ibarat berposisi “di segala musim”.
Para dosen, terutama yang yunior, sudah harus meninggalkan arena “abracadabra” dan
mulai membicarakan dengan penuh rasa tanggung jawab terhadap bangsa, negara,
dan juga kepada Tuhan tentang mimbar kuliah di mana ia dipercayakan untuk
mengasuh, mengasah, dan sekaligus mengasihinya sebagai wujud rasa tanggung
jawab secara moral dan etis.
Jika
kontekstualisasi seperti sekarang ini masih terus berlaku, keadilan dan
kebenaran seperti sulit disuarakan dan perjuangkan. Apalagi fenomena kebenaran
dan keadilan ibarat sudah diperjualbelikan di pengadilan. Sangatlah ironis jika
sila pertama dari Pancasila, yaitu “Ketuhanan Yang
Maha Esa” sudah dipluntir menjadi “Keuangan Yang
Mahakuasa”. Tidaklah berlebihan kiranya kalau dalam kultur bisu dan yang
menakutkan itu dengan momok rekayasa label PKI dan digebuk (istilah Soeharto)
dan dilibas (istilah Faisal Tanjung), muncullah berbagai lelucon untuk
mengatasi ketegangan dan ketakutan dalam rangka semacam katarsis untuk
melemaskan otot-otot kekuatan dan kepedihan hidup. Sebagai sekadar contoh, anda
dapat membaca buku Mati Ketawa Cara
daripada Suharto (1998).
Dalam
pengamatan saya, Sumpah Pemuda (1928) yang menjadi landasan dan leitmotiv
filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara sudah di bumbui menjadi “Satu
Nusa” yang kini seperti sedang dalam proses disintegrasi, “Satu
Bangsa” dengan menambah huruf T di belakang kata bangsa, “Satu
Bahasa” ketakutan, dan akhir-akhir ini seperti hendak di tambah dengan
paksaan “Satu Agama”. Kerancuan dan
kerancuan sudah mulai melanda bangsa yang majemuk ini, di mana nilai-nilai
sakral telah dijadikan sarana dan komoditas sara sebagai kendaraan politik
dengan harga yang sangat murah. Beberapa preman putih yang berdasi di Jakarta
dengan kaki tangan mereka yang menurut media massa berambut khusus dan gesit
bagaikan “ninja” dan preman-preman biru berwajah sangar yang bersedia dipakai
dengan harga berapa saja, telah melecehkan harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah dengan perbuatan-perbuatan keji dan amoral mereka di
berbagai tempat di tanah air yang katanya begitu rukun dan damai.
Sangat
disayangkan bahwa dalam kultur kemunafikan yang dipelihara dengan baik melalui
subkultur tertentu di era orde baru, dan yang dinafirikan oleh kekuatan politik
yang pada waktu yang lalu membusungkan dada, kini seolah-olah mereka telah
melupakan kekerasan dan kenajisan yang mereka ciptakan sendiri dan yang telah
merusak hampir seluruh nilai dan mengobrak-abrik tata dan sendi budaya yang
dikatakan oleh orang luar negeri pada waktu yang lalu sebagai bangsa yang
(paling) beradab. Sayang, kini label bangsa yang paling beradab dan yang indah
itu sebagai het zachtste volk op aarde,
secara serta merta bertransformasi menjadi bangsa (bisa dengan menambah huruf T
di belakang kata bangsa) yang tidak beradab. Bahkan, tidak berlebihan kalau
dikatakan biadab terhadap para pengacau, para perusak dengan merekayasa melalui
kuda tunggangan SARA karena membumihanguskan gedung-gedung dan rumah-rumah
dengan nafsu dendam kesumat, memperkosa para perempuan dengan nafsu
kebinatangan, kendatipun persoalan kontroversi ini masih tetap dalam proses
saling menuduh. Para pengacau dan perusak yang direkayasa preman berdasi
menghancurkan rumah-rumah ibadah tanpa rasa berdosa dan takut kepada Allah.
Akibat rekayasa para preman intelek ini dengan menggunakan preman-preman bayaran,
tanpa merasa ada perasaan bersalah dan atau khawatir akan nilai-nilai sakral
yang dituntut oleh Tuhan terhadap siapa saja, dari agama mana saja, dan dari
komunitas mana pun. Sungguh aneh bin ajaib bahwa semua itu bisa berjalan sesuai
skenario para provokator tanpa disadari dan diketahui oleh aparat intelijen
yang katanya terbaik di Asia Tenggara.
Sobural
masyarakat yang seharusnya direformasi untuk menampung idee-idee yang luhur,
aspirasi-aspirasi yang jujur, adil, dan beradab sebab sudah begitu lama dipendam
dalam suatu struktur kekerasan (structureel geweld dari Johann Galtung), kini
mau dipaksakan juga dengan ukuran sepatu orde baru dengan berwajah rai gedek.
Kini reformasi bertransformasi deformasi tanpa disadari oleh tuan-tuan elit
yang berkuasa di Jakarta. Dan paksaan berselubungkan ungkapan gombal
konstitusional itu dijalankan dengan berbagai rekayasa disertai bau mesiau
bedil dengan tetap menggunakan semboyan pendekatan kestabilan dan keamanan.
Kalau demikian keadaannya, mengapa dibiarkan para mahasiswa, para pejuang
reformasi total itu memasuki gedung MPR/DPR, padahal sekarang tidak? Mengapa
mereka kini disambut dengan bau mesiau dan genangan darah?
Rekayasa
demi rekayasa seolah-olah dalam kerangka menutup kebusukan dwifungsi. Apakah
rakyat masih percaya terhadap dalih berselimutkan tugas dan panggilan ibu
pertiwi, di Aceh, Irian, Timor-timur, Lampung, Tanjung Priok, Madura,
Situbondo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, Banjarmasin, dan Kalimantan Barat. Para
mahasiswa dan rakyat masih sulit menerima argumentasi insiden Trisakti dan
insiden Semanggi. Skenario dari preman putih berdasi seperti insiden Ketapang
dan berulang di Kupang, penggunaan para pelaku pamswakarsa bagaikan Angkatan
Kelima di zaman Orde Lama, dan preman biru yang bersedia dibeli dengan taruhan
nyawa sekedar beberapa lembar uang, ternyata tetap dalam pola pikir dan alur
praksis skenario yang itu-itu juga.
Sayang,
sebagian dari dunia akademis perguruan tinggi masih tidur terlelap di menara
gading. Tidak ada teriakan tentang keadilan dan kebenaran. Juga, pembelaan
terhadap perlakuan yang buruk terhadap perempuan didiamkan. Bahkan,
diskriminasi gender makin dipolitisasi sampai ikut merembet ke posisi jabatan
presiden. Subkultur macho ingin dipertontonkan. Padahal, kondisi ang melecehkan
kaum perempuan, kondisi diskrimnasi justru diharamkan oleh agama dan HAM.
Bahkan,
ada pemimpin universitas yang sampai hati dengan tidak mau tahu tentang sepak
terjang para mahasiswanya. Namun, dunia akademis harus bersyukur dan
berterimaksih bahwa angkatan muda, generasi mahasiswa sekarang, bukan generasi
bebek dan tempe. Mereka bukan seperti angkatan sebelumnya yang mencari pangkat
dan kedudukan untuk kemudian bertransformasi menjadi brutus atau oportunis
ataupun benalu. Mahasiswa angkatan 1998 tidak mau diperkuda dan dikeledaikan.
Mereka bukan generasi yang tidak mengerti problematik masa kini. Mereka tidak
mau dan tidak bersedia direkayasa untuk makar. Makar adalah tuduhan serba murah
karena panik, ibarat maling teriak maling. Para mahasiswa beraktualisasi berdasarkan
kepekaan hati nurani dan tuntutan insan kamil yang murni. Mereka bergerak bukan
berdasarkan cadaver discipline alias disiplin bangkai seperti yang dikenal
dalam kalangan bersenjata. Acap kali ada disiplin bangkai juga di dunia
perguruan tinggi yang sudah dikebiri dan dijinakkan.
Yang
sangat mengherankan, mengapa para penguasa begitu takut untuk menuduh makar
kepada para mahasiswa. Mengapa para penguasa hanya berani membusungkan dada
kepada kelompok kaum lansia, yang nota bene adalah comrade in arms. Apakah ini tidak berarti ada diskriminasi atau
disfungsionalisasi dalam saptamarga akibat dari dianak emaskan para aide de
camp pada masa orba. Sungguh ironis sikap para penguasa. Itulah sebabnya orasi
ini ingin menyediakan tempat penghormatan pula bagi kepahlawanan para mahasiswa
yang gugur dalam insiden Trisakti, insiden Semanggi, dan entah insiden dimana
lagi. Orasi ini dipresentasikan pula sebagai tanda penghormatan dan duka cita
bagi para perempuan yang telah direnggut kehormatan kesucian mereka dengan
nafsu rekayasa kebuasan bagaikan binatang. Orasi ini juga ditujukan bagi rakyat
kecil yang didiskriminasi dalam berbagai bentuk karena mereka dilahirkan dalam
suatu kelompok etnis yang mereka sendiri tidak direncanakan. Juga, kepada
mereka yang rumah-rumah ibadah mereka dirusakkan, orasi kebenaran dan keadilan
ini disajikan. Para korban rekayasa keganasan dan ketidakadilan sesungguhnya
tidak dihina. Sebetulnya, tanpa sadar, para perusak, para pembakar, para
pemerkosa, dan para perekayasa sendirilah yang menghina Sang Pencipta mereka
sendiri. Mereka pada dasarnya menghina Tuhan Allah mereka sendiri yang mereka
puji dan sembah. Semua itu disebabkan meskipun mereka bermata, mereka tidak
melihat segala akibat perusakan mereka. Meskipun mereka bertelinga, mereka
tidak mendengar tangis dan doa yang disembahkan kepada Tuhan Allah ang sama,
Allah Yang Esa, Allah Yang Mahakuasa, Sang Pencipta langit dan bumi dengan
segala isinya. Oleh karena itu, dari tempat ini diserukan agar para akademisi
jangan lagi terus mengeluhkan gigi sakit, tetapi bukalah mulut demi keadilan
dan kebenaran.
Selama
32 tahun keadilan dan kebenaran sudah dipluntir dan diperjualbelikan. Bahkan,
acap kali diselesaikan dengan berbagai cara rekayasa. Juga, secara brutal
dengan cara kekerasan, dengan mengubah dan memutarbalikkan skala nilai sosial,
moral, dan etika. Dan bila perlu, mereka memperkuat infrasubkulturdan
membongkar pasang suprastruktur masyarakat (sobural) demi mempertahankan status
quo mereka. Bahkan, nilai-nilai sakral pun tidak tanggung-tanggung mereka
korbankan dan mereka sajikan secara ritual imitatif dan bukan secara sakral
substantif untuk kemudian ditampung dengan senyum Esau demi perut mereka
sendiri.
Sementara
itu, bagaimana dengan nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang seharusnya
ditegakkan dan dikembangkan serta diseminasi kepada anak-anak didik melalui
pelbagai mata kuliah yang pada hakikatnya memang secara inheren mengandung
problematik keadilan dan kebenaran, terutama kalau itu menyangkut mata kuliah
hukum an sich, bukan terhadap penguasa, jika para pengajar tidak menghayati
nilai-nilai keadilan dan kebenaran, ketika mengajar hukum kepada anak didik
mereka. Anak-anak didik mereka pasti akan menyimak sendiri bahwa yang diajarkan
itu cuma sekadar retorika yang mungkin karena ketakutan kepada penguasa
universitas atau penguasa kekuasaan dan atau penguasa politik.
Ketakutan
mereka juga karena tidak ada jaminan kebebasan dan HAM yang telah diatur dalam
pasal 28 UUD 1945. Para sejawat acap kali cuma berkutat dalam kontekstualisasi
struktural vertikal dan lupa untuk mengebrak dan mendobrak hambatan dan kendala
struktural horizontal, yang sesungguhnya lebih mudah ditangani dibandingkan
dengan yang vertikal struktural. Hal terakhir inilah yang tampak disadari benar
dan dikelola dengan baik oleh para birikrat dan aparatur kekuasaan sehingga
pada akhirnya keadilan dan kebenaran seolah-olah menjadi suatu komoditas yang
steril, tak bermakna, dan tak menarik yang pada akhirnya menjadi sekadar hiasan
tulisan dinding belaka. Sayang, hiasan tulisan dinding itu tidak ditulis dengan
pena kebebasan bertinta kebenaran. Tetapi digores dengan sangkur telanjang dan
dengan pentungan kekerasan yang mengucurkan darah dari mereka yang seharusnya
dilindungi.
Semboyan
dari para penguasa sepatu bot: berasal dari rakyat, untuk melindungi rakyat,
tampak seperti suatu slogan kosong belaka. Sungguh aneh, retorika semboyan itu
diucapkan berkali-kali seperti tanpa adanya perasaan bersalah atau guilty
feeling. Dalam hal yang demikian, bukan suatu keanehan kalau pada suatu waktu
anak didik dan para mahasiswa, bangkit melawan semua norma yang dipandang
bohong, artifisial, subkultur yang rancu, dan struktur yang palsu semu, dengan
memorak-porandakan tatanan sobural masyarakat dan yang ternayata telah rapuh
dimakan rayap ketidakadilan dan ketidakbenaran. Apakah dalam hal yang demikian
anak didik para mahasiswa ini harus dihadapi dengan pentungan, sangkur, dan
moncong bedil yang ternyata dalam berbagai insiden berdarah tidak bisa
membedakan lagi kekuasaan yang zalim dari keadilan dan kebenaran.
Kultur
kemunafikan yang masih membuka peluang untuk mengkritik secara eufimistik,
secara srimulat, atau secara terselubung dengan mengacu pada subkultural
dominan, ternyata tidak dapat pula digunakan dengan baik dan berkelanjutan
karena the king, the mighty man and the stars, can not do wrong. Mereka
bersembunyi terselubung di belakang penggalan-penggalan hukum seperti aspek
konstitusional. Mereka berapat di gedung mewah Dewan Perwakilan Rezim (DPR) dan
bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka menjaga dan membela kekuasan yang katanya
sah, tetapi sesungguhnya tidak memiliki legitimasi moral, etika, keadilan, dan
kebenaran. Sebaliknya, yang terjadi. Keadilan dan kebenaran dikesampingkan dan
digeletakkan membusuk sehingga ibarat bau busuknya ikan, sesungguhnya tidak
tercium di ekornya ikan, di kalangan rakyat, tetapi justru di kepalanya ikan.
Para
sejawat acap kali lebih suka berkutat dan mengangungkan teori-teori dari Barat
yang memang lahir dari interaksi dan stratifikasi sosial di dunia Barat, tanpa
menyadari bahwa teori-teori itu pun, apabila harus diserap dan dipraksiskan di
Indonesia, memerlukan akomodasi sobural sampai suatu tahap dan tingkat
tertentu. Sulitnya dan anehnya, ketika tiba pada substansi universal dan
mondial seprti hak asasi manusia, kebebasan beragama, kebebasan dari penindasan
dan penganiayaan, dan masih setumpuk deklarasi lainnya dari PBB, tiba-tiba ada
semacam Umwertung aller werte. Para pakar serta-merta yang seharusnya melihat
bahwa bukan jawaban akhir yang penting, tetapi pola dan alur pikir yang
membebaskan dari ketakutan terhadap kekerasan struktural, terjebak dan ikut
beramai-ramai dengan penguasa menyanyikan lagu nyanyian angsa yang palsu, bahwa
ada HAM universal dan HAM lokal atau yang kultural.
Tiba
di terowongan yang ujungnya seperti masih gelap, saya perlu menyimak kembali
mata kuliah kriminologi, terutama viktimologi dan penologi yang telah saya
rintis dan asuh kehadirannya di fakultas ini sebab kedua mata kuliah terakhir
ini pada mula pertama tidak ada kurikulum FH-Unair. Kalau di kemudian hari
diadakan pun, itu bukan anjuran ataupun instruksi yang berwenang. Berbeda
dengan mata kuliah klasik, seperti hukum pidana, hukum perdata, dan yang lain,
acap kali sulit berkembang karena kendara inherensi. Karena kendala
perkembangan eksternal, mata kuliah-mata kuliah hukum secara klasik dan dan
yang secara holistik kurang merangsang dan mendukung dalam perkembangan lebih
lanjut, maka viktimologi dibanding krimonolgi dan penologi, menjanjikan masa
depan yang lebih cerah dalam perjuangannya menegakkan keadilan dan kebenaran
serta memorakporandakan kezaliman penguasa. Kejahatan bukan lagi milik rakyat,
milik kaum hina, dan papa. Kejahatan bisa juga dimiliki dan dilakukan oleh
penguasa, secara sistematik serta berkelanjutan bertahun-tahun. Itulah
ciri-ciri penguasa yang fasistik di zaman orde baru.
Krimonologi,
terutama setelah muncul pemikir-pemikir beraliran marxistis, tampaknya seperti
akan tinggal landas dan memiliki masa depan yang cerah, ternyara kemudian
tinggal kandas. Proposisi yang dibangunkan dan yang disusun secara radikal
memiliki dasar yang rapuh. Bahkan, sebelum hancurnya marxisme di uni soviet,
krimonolgi marxistis itu sudah menggali kuburannya sendiri. Tidaklah
mengherankan kalau kemudian kriminologi seakan-akan menjadi kurang menarik
dilihat dalam konteks pemikiran realistik yang kontekstual. Studi-studi kasus
dan penelitian empirik yang segmental di dunia barat kemudian menjamur, tanpa
dapat dibangun dan disusun suatu teri generali yang memiliki jangkauan yang
berdasarkan proposisi-proposisi yang kokoh dan dapat diandaikan.
Ketidakberhasilan
krimonologi membangunkan proposisi-proposisi dengan jangkauan yang luas dan
menatap serta menggeneralisasi, untuk sebagian disebabkan bola dunia makin
menjadi kecil dan sempit. Akibat dari perkembangan teknologi yang begitu cepat,
kemajuan keilmuan yang makin menghapus batas-batas parokial dari berbagai ilmu
dan merebaknya globalisasi yang datang bagaikan air bah, menyapu segala
halangan dan kendala yang dibangunkan oleh sobural berbagai masyarakat lokal
dan mondial. Kampung yang pada waktu lalu terisolasi, kini berubah menjadi
kota. Kota kemudian berkembang metropolitan yang penuh dengan kaum rural
pelarian. Kota metropolitan selanjutnya meninggalkan ciri-ciri klasik lalu
berubah menjadi kota mondial. Kejahatan pun ikut bertransformasi dan tidak mau
ketinggalan.
Krimonologi
lalu terpaksa memfokuskan kembali sasarannya dan merivisi ulang paradigma
teoritiknya, terutama jika itu menyakngkut problematik yang menyangkut
kejahatan penguasa, kejahatan pencucian uang atau money laundering, kejahatn
(gonocide) antar- (suku) bangsa, dan perkosaan hak asasi manusia, terutama jika
itu dilaksanakan terhadap anggota komuniatsnya sendiri, baik oleh penguasa di
komunitas itu maupun oleh anggota komunitas itu terhadap sesamanya. Masalahnya
bertambahkompleks dan peka jika itu dikemas dengan bungkusan norma-norma
keagamaan, seperti yang dapat disaksikan di bebeerapa bagian di dunia ini, di
mana perspektif rule of law, demokrasi, dan hak asasi manusia masih merupakan
kendala yang terus berputar-putar ibarat kincir angin.
Dalam
perspektif konstelasi yang demikian, maka bukan hukum pidana dengan penologi,
bukan pula krimonologi dan sosiologi, melainkan viktimologi lalu menjadi sangat
relevan. Dengan demikian viktimologi lalu meninggalkan paradigma parokialnya
karena yang dikaji bukan lagi makna kejahatan klasik atau tradisional,
melainkan makna baru, seperti makna teror, arti penganiayaan tidak perlu lagi
dalam konteks fisik, makna kedamaian hati nurani, serta makna penindasan dan
perkosaan, baik yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok orang maupun oleh
penguasa berdasarkan motivasi dan pertimbangan yang melanggar norma-norma
kemanusiaan itu sendiri alias hak asasi manusia.
Itulah
sebabnya apabila tidak dibina atau diasuh mata kuliah hak asasi manusia,
diskriminasi gender, dan diskriminasi etnis dan agama, maka viktimologi harus
menampungnya, memberi landasan yang zakelijk dan objektif terhadap motivasi dan
paradigma yang benar, sehat, adil, dan jujur agar mereka yang mempelajari
viktimologi dapat diandalkan menjadi pejuang-pejuang hak asasi manusia di
kemudian hari. Kita tidak boleh lupa bahwa manusia boleh saja menguasai dan
menggunakan bedil tanpa peri kemanusiaan, tetapi mereka tidak mungkin menguasai
dan mengatur pikiran manusia yang selalu mendambakan kebebasan, keadilan, dan
kebenaran. Merantai dan memenjarakan rakyat yang tidak berdaya akan
membangkitkan the power of the powerless. Semoga para tuan berbintang menyadari
hal ini.
Penologi
tidak boleh lagi berkutat dengan teori-teori pemindanaan yang klasik. Penology harus menyorot dan menganalisis
putusan-putusan pengadilan yang mengadili tuduhan-tuduhan murah dari penguasa
yang fasistik bertalian dengan kejahatan-kehatan politik. Pasal-pasal KUHP
tidak boleh dikaji lagi dengan teori-teori Belanda yang memiliki justifikasi
konsiderasi kolonial. Harus ada keberanian berdasarkan keadilan dan kebenaran
untuk menerangi pasal-pasal apa saja dalam KUHP, bahkan harus menerangi pula
hati nurani sang pengajar bahwa yang dipertaruhkan bukan lagi, apakah itu betul
atau tidak, melainkan apakah itu benar dan adil. Jangan dilupakan bahwa
keadilan dan kebenaran itu membebaskan dari penindasan kekuasaan yang fasistik.
Ia membebaskan dari taruhan berapa yang siap anda bayar agar menang dalam
berperkara di pengadilan. Ia membebaskan dari kecurigaan dan
prasangka-prasangka buruk yang acap kali dikemas dengan norma-norma sacral yang
bukan substansi. Harus ada keberanian untuk mengatakan apakah dengan mengatakan
kebenaran kepadamu, aku harus menjadi musuhmu?
Pengalaman, terutama pada waktu penulis
mengajar program pasca sarjana, membuktikan bahwa banyak dosen yang kurang
sekali menguasai bahasa asing casu quo bahasa Inggris. Itu terbukti ketika
dilaksanakan ujian terbuka (openbook exam) dimana semua catatan dapat digunakan
secara terbuka untuk menjawab pertanyaan ujian. Meskipun demikian, hasil ujian
sangat mengecewakan. Tidaklah mengherankan kalau dengan modal penguasaan bahasa
asing yang sangat sumir dan memprihatinkan itu, bagaimana mungkin mereka dapat
membaca literature asing dalam rangka mempersiapkan bahan perkuliahan mereka
dengan baik, bermutu, dan bertanggung jawab. Selama bahasa asing masih menjadi
kendala, selama itu pula sulit diharapkan perkuliahan akan berkembang dan
bermutu. Yang dikhawatirkan justru akan terjadi hambatan pengelolaan keilmuan
sehingga yang disajikan itu adalah bahan-bahan basi berupa pengalaman semata,
terutama ketika mereka masih menjadi mahasiswa atau berupa jiplakan aspal. Peningkatan
mutu keilmuan dengan penambahan gelar melalui program pascasarjana, berdasarkan
pengalaman saya, masih belum cukup dan memadai, kecuali ada peningkatan
penguasaan bahasa asing meskipun tidak dalam konteks penguasaan secara aktif.
Apa yang dikemukakan di atas merupakan
suatu tragedy dan ironi yang dewasa ini belum dapat melepaskan diri, terutama
oleh dunia hukum kita yang sudah babak belur ini. Dan meskipun ada gebrakan
moral dari petinggi kehakiman, ternyata dengan gebrakan moral itu disambut dengan
senyum sinis dan praktik usang KKN tetap terus merajalela. Perlu diketahui
Australia dengan kultur lugas dan transparan membutuhkan 25 tahun untuk
mendandani problematik korupsi. Sulitnya di Indonesia, yaitu maling teriak
maling. Tiba-tiba, persada bumi pertiwi diramaikan dengan suara tuduhan maker.
KUHP yang ibarat celana kakek Perancis dan bapak penjajah Belanda yang penuh
tambal sulam itu, ketika hendak diperagakan dalam arena reformasi terasa
hambar, menyakitkan, dan membangkitkan kenangan-kenangan dari orde baru yang
penuh dengan bahasa kekerasan structural, seperti libas saja, digebuk, nggege
mongso, waton suloyo, sekaligus ungkapan feudal yang artificial yang diciptakan
untuk I’etat c’est moi, kendatipun kini sudah lengser keprabon tanpa suatu kepemilikan
darah biru.
Perjalanan yang membebaskan demi keadilan
dan kebenaran masih panjang. Dewasa ini seperti tidak terlihat terang di ujung
terowongan. MPR alias Majelis Permusyawaratan Rakyat sudah ditransformasikan
oleh sisa-sisa kekuatan orde baru menjadi Majelis Permusyawaratan Rezim.
Soeharto masih tetap presiden de jure. Tidak ada usaha untuk mencabut keputusan
MPR dalam hal tersebut. Ketetapan untuk memberantas korupsi diserobot oleh
ketetapan itu sendiri sebab masih perlu pengaturan oleh undang-undang yang
baru. Dan lagu orde baru yang munafik dipuji setinggi langit oleh presiden de
facto. Itulah ironi dan tragedy dewasa ini. Kehidupan konstitusional sudah
berwayuh dan hanya mempresentasikan seolah-olah kebenaran dan keadilan menjadi
miliknya sendiri. Penguasa dapat meludahi siapa saja yang tidak disenangi. Akan
tetapi, penguasa tidak berani kepada para mahasiswa yang kini adalah primadona
keadilan dan kebenaran yang masih harus diasah, diasuh, dan diasih. Mengasuh,
mengasah, dan mengasihi adalah tugas kita bersama, baik yang masih dalam kancah
keilmuan akademis maupun karena tuntutan usia, harus memberikan tempat dengan
penuh kelegaan kepada yang lebih muda.
Pada bagian akhir dari orasi ini, bukan
sekadar basa-basi, melainkan dari ketulusan dan kasih sejati, saya ingin
menyampaikan permohonan maaf kepada siapa saja dari civitas akademica FH-Unair,
yang mungkin selama saya bertugas, baik sebagai dosen maupun sebagai dekan
pernah membuat anda tidak sejahtera. Khusus kepada para asisten saya, saya tetap
berharap agar kalian terus bekerja keras dan tekun sebagaimana biasanya dalam
rangka mengasuh, mengasah, dan mengasihi para anak didik kalian agar mereka
dikemudia hari dapat menjadi manusia-manusia yang berhati nurani dan yang
mengasihi sesama, dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran dengan tetap
berpegang pada: “apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu, aku harus menjadi
musuhmu?” Selamat berjuang!!!